Danau Suoh, yang berada di pekon (desa) Sukamarga, Kecamatan Suoh, merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di Kabupaten Lampung Barat. Danau Suoh terletak di dalam zona pemanfaatan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, seluas ± 1.350 Ha. Berwisata di kawasan danau Suoh, tidak hanya menyuguhkan eksotisme alam dari empat danau yang berada di dalam zona ini, akan tetapi juga fenomena vulkanologis yang menjadi jejak geologi yang pernah terjadi.
Depresi Suoh, kawah Nirwana, pasir kuning, kawah Gumurak, Keramikan, kawah Kopi, padang Savana, danau Lebar, danau Asam, danau Minyak, dan danau Belibis, menjadi warisan geologi yang tidak hanya menambah khazanah kebumian, namun berpeluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Van Bemmelen (1934), seorang pakar geologi Belanda, mengelompokkan dataran rendah Suoh (depresi Suoh) kedalam depresi Vulkano-Tektonik, dimana prosesnya diperkirakan terjadi sejak Era Kenozoikum di akhir Zaman Neogen dan awal periode Kuarter - berdasarkan skala waktu geologi. Hasil survey geologi yang dilakukan Van Bemmelen pada tahun 1930, mendeskripsikan bahwa dataran rendah Suoh merupakan hamparan rawa-rawa yang menjadi area limpasan banjir sungai Way Semangka, dimana terdapat hanya satu zona solfatara di Way Peros yang terletak di barat laut cekungan Suoh.
Baca juga: Warisan Geologi itu bernama Suoh
Peristiwa gempa bumi hebat dengan kekuatan diatas 7.0 M, pernah terjadi di dataran tinggi Liwa pada tanggal 25 Juni 1933 (secara rinci pernah dilaporkan oleh Berlage, 1934). 14 hari paska gempa bumi, memicu peristiwa vulkanik yang dahsyat, sehingga merubah landskap cekungan Suoh, seperti keadaannya yang sekarang terlihat. Banyak yang belum mengetahui, bahwa karena peristiwa itulah, danau Asam dan danau Lebar mula-mula terbentuk.
Pada postingan kali ini, jejakerwinanta mencoba meresume catatan dari ekspedisi Dr. CH. E. Stehn, seorang pakar vulkanologi Belanda yang melaporkan pertama kalinya perisitiwa erupsi vulkanik di depresi Suoh melalui Jurnal berbahasa Belanda yang terbit tahun 1934.
Di bagian awal dari laporannya, Stehn menceritakan bahwa kejadian bermula pada tanggal 10 Juli 1933 sekitar pukul 05.40 waktu Sumatera Selatan (tanggal 9 Juli 1933 pukul 22.40 waktu Greenwich). Penduduk di selatan Sumatera (Lampung) dan bagian barat pulau Jawa (Banten), dihebohkan dengan suara dentuman keras, dan diikuti keadaan langit yang tiba-tiba berubah menjadi gelap.
Suasana yang tidak biasanya ini, terutama dirasakan oleh penduduk yang bermukim di wilayah Teluk Betung (Bandar Lampung) hingga Kota Agung (Tanggamus). Apalagi pada pukul 09.30 mulai turun hujan abu halus berwarna putih kelabu menutupi segalanya, bahkan kawasan Kota Agung seolah diselimuti oleh lapisan salju.
Keadaan ini mengingatkan penduduk akan peristiwa meletusnya Krakatau pada 27 Agustus 1883 silam. Tidak mengherankan jika suasana alam yang terjadi di pagi hari itu, menimbulkan kepanikan. Banyak penduduk yang kemudian bersiap-siap untuk mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Hujan abu berlanjut hingga pukul 14.00, kemudian kembali lagi turun pada pukul 16.00 sampai pukul 21.00.
Petugas Pengamat Vulkanologi Pasauran di pantai barat Banten (Selat Sunda), mencatat sejak pukul 06.10 pagi telah mendengar sebanyak 7 kali suara dentuman keras yang menyerupai rentetan tembakan meriam kapal perang, dari arah yang tidak diketahui. Arah suara bukan berasal dari gunung Krakatau, namun dari daratan pulau Sumatera dengan awan fumarol yang nampak samar-samar dari jarak yang jauh.
Kantor Royal Magnetic and
Meteorological Observatory (lembaga BMKG milik kerajaan Belanda) di Batavia
menerima sejumlah besar laporan kejadian suara letusan dari Sumatera, pulau
Bangka, pulau Enggano dan Jawa.
Perangkat seismograf di observatorium meteorologi Batavia mencatat
adanya gempa bumi yang tidak diketahui asalnya antara pukul 05:03 - 05:10, yaitu
sebelum peristiwa ledakan terjadi, dan antara pukul 06.00 - 06:15, dengan pola
karakter yang tidak biasa, yakni berupa enam kali guncangan pendek yang tidak
kuat. Pola ini menunjukan bahwa getaran yang tercatat disebabkan karena
pengaruh tekanan udara, akibat gelombang ledakan yang sangat dahsyat. Suara
ledakan terdengar hingga di Kuala Tungkal (Jambi - Sumatera) yang berjarak
sekitar ± 510 km, dan di Kebumen (pulau Jawa) yang berjarak ± 660 km dari sumber
ledakan.
Penggambaran fenomena ledakan secara jelas, pertama kalinya
disampaikan oleh Tuan H. WIJNSTOK, kapten kapal uap “van der Hagen” dari Royal
Packetfahrt Company (KPM), yang tengah berlayar dari Bengkulu menuju Batavia. WIJNSTOK, mengilustarikan awan letusan
seperti “Kembang Kol Raksasa” yang
muncul dari balik punggung bukit Barisan. Masyarakat di Krui meyakini asal awan letusan
dan abu vulkanik berasal dari letusan (erupsi) kawah Belirang gunung api
Sekincau.
![]() |
Lokasi depresi Suoh, asal suara letusan dan awan vulkanik (Stehn, 1934) |
Baca juga: Danau Suoh : Jejak Erupsi Freatik pada JalurTektonik
Pada tanggal 14 Juli 1933, - 4 hari setelah peristiwa letusan - Stehn tiba di Krui, menumpang kapal uap KPM “van Neck”. Kedatangan Stehn adalah untuk melakukan penyelidikan tentang erupsi kawah Belirang yang menghasilkan letusan dahsyat pada tanggal 10 Juli 1933. Atas informasi dari pegawai KPM Krui dan beberapa laporan yang disampaikan dari pejabat pemerintah di Liwa, diketahui bahwa lokasi munculnya awan berbentuk “kembang kol raksasa” diyakini dan dikonfirmasi berasal dari cekungan Suoh.
Perjalanan ekspedisi menuju Suoh, - Stehn - didampingi oleh komandan detasemen gendarmerie perusahaan KPM, tuan J. JAHN dengan beberapa personilnya. Pada hari pertama, ekspedisi batal dilaksanakan karena banyaknya tanah longsor, batang pohon tumbang, dan lain-lain akibat gempa tanggal 25 Juni, belum sepenuhnya dibersihkan, sehingga menghalangi rute perjalanan.
Atas bantuan pejabat Pemerintah Krui: tuan H.
HAHMANN, Tuan J. JAHN dan personil pasukannya dan pengawas pekerjaan umum
(B.O.W.) Tuan SETIA, dengan susah payah pada akhirnya mereka dapat mengatasi
persoalan tersebut dan meneruskan perjalanan menuju Suoh.
"Setiba di daerah Kubu Tengah (wilayah pekon Tebaliokh, Kecamatan Batu Brak) yang berjarak ± 28 km dari Liwa dan ± 23 km dari cekungan Suoh, kami menemukan bukti pertama kejadian erupsi gunung berapi, berupa material padat (eflata) vulkanik, berumur tua, berwarna putih seukuran buah kenari, dan gampang lapuk. Di lokasi inilah, kami kemudian mendirikan bivak pertama yang difungsikan pula sebagai Basecamp Perantara”.
“Semakin mendekati dataran Suoh, semakin sering kami menjumpai material ejecta (partikel-partikel yang terlempar pada saat terjadi letusan gunung berapi), namun Kami tidak menjumpai adanya serpihan lava segar (bom vulkanik) dan juga partikel lapili, yang merupakan material penciri umum suatu erupsi magmatik gunung berapi”.
“Di pertengahan antara Kubu Tengah dan Antatai untuk pertama kalinya, kami mendengar suara ledakan. Mantri MARHASSAN yang pada saat itu berangkat pulang dari Kubu Tengah menuju Liwa, mencatat ada beberapa kali suara ledakan, antara pukul 11.39 hingga 12.54, dimana 6 diantaranya merupakan yang paling kuat”.
“Memasuki “Horst” Antatai (sekarang bernama pekon Bumi Hantatai), mulai terdengar suara-suara riuh, layaknya suara deburan ombak yang bergemuruh. Asal usul suara masih belum terlihat secara jelas, karena di bagian selatan antara horst Antatai dan cekungan Suoh terhalang oleh punggung bukit".
"Atas saran penduduk setempat, kami menyeberangi sungai Way Semangka ke arah sisi timur laut dari cekungan Suoh dan menemukan lokasi ideal untuk menempatkan teropong pengamatan, di sebuah bukit berketinggian ± 300 m, yang terletak di atas dusun Negeri Ratu (sekarang pekon Suoh). Di tempat ini, kami kemudian mendirikan bivak sebagai Pos Pengamatan. Jarak antara pos pengamatan dengan area letusan ± 5 km".
A. Cekungan Suoh Sebelum Peristiwa Letusan
Menurut peta topografi terbitan Batavia tahun 1922, cekungan Suoh (depresi Suoh), terletak pada ketinggian 240 m di atas permukaan
laut, pada koordinat di 5o 14' LS dan 104o 16' BT. Sebelum peristiwa letusan,
hamparan Suoh berbentuk seperti belah ketupat, mengikuti diagonal dengan arah
Barat Laut – Tenggara sepanjang ± 13 Km dan Timur Laut – Barat Daya sepanjang ±
8 km. Ditengah-tengahnya mengalir sungai Way Semangka dari arah utara ke selatan.
Hamparan dataran Suoh merupakan rawa-rawa yang luas, sebagai kantong banjir dan sedimen sungai Way Semangka, sebagian besar areanya ditutupi oleh semak belukar dan vegetasi rawa-rawa, kecuali di bagian barat laut dimana sumber air panas Way Peros berada. Tanahnya yang menghasilkan fumarol, solfatara, dan sinter Silika, menyebabkan lahan di sekitar Way Peros menjadi gundul dan tidak ada satupun vegetasi dapat tumbuh diatasnya.
Mata
air panas Wai Peros memiliki kisaran suhu 97oC - 98oC, yang tersebar dalam jarak satu
kilometer di sepanjang teras tebing patahan dan mengandung endapan Sinter
Silika. Kadang-kadang air panas menyembur seperti air mancur (geyser). Pada
teras sinter Silika, khususnya arah selatan Way Peros, dijumpai banyak endapan
belerang.
![]() |
Teras Sinter Silika Way Peros (Van Bemmelen, 1930) |
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh VAN BEMMELEN di hamparan Suoh tahun 1930, tidak menemukan material magmatik segar atau berbentuk layaknya gunung api berkaldera. Van Bemmelen melihat hamparan Suoh layaknya lapangan solfatar, seperti Kawah Kamojang atau Kawah Ciwidey di Pulau Jawa, atau mirip dengan lapangan solfatar Ulubelu yang letaknya ± 36 km di tenggara Suoh (VAN BEMMELEN, 1931).
Pada tahun 1910, PHILIPPI melakukan Survei Topografi di dataran rendah Suoh, termasuk area pegunungan disekitarnya. Ia menyebutkan adanya sebuah gunung berapi kecil di bagian tenggara dari bukit Penetoh, dan menghasilkan sumber air panas (1917).
Permukaan kalderanya hanya berdiameter
beberapa dekameter saja. Lapisan belerang
muncul di sisi luar menghadap ke
arah timur. Oleh penduduk setempat
gunung api kecil ini disebut sebagai “Gunung
Belirang”. Namun nama ini tidak dicantumkan pada peta Topografi tahun 1922.
Inilah yang kemudian menjadi penyebab terjadinya kekeliruan dugaan terhadap
gunung berapi Sekincau-Belirang pada saat pertama kali pelaporan erupsi
disampaikan.
Tidak pernah ada laporan wabah penyakit yang menyerang penduduk di dataran Suoh, namun menurut penyelidikan PHILLIPI (1911), bahwa penduduk yang ada saat ini, bukanlah masyarakat lama yang turun temurun mendiami daerah ini.
Pendapat PHILLIPI didasari dari temuan relief prasejarah berbentuk "buaya" di Antatai, dan masyarakat setempat mengatakan bahwa relief tersebut sudah ada ditemukan pada saat mereka mendirikan pemukiman di lokasi ini.
Oleh karena itu, PHILLIPI berasumsi bahwa dahulunya tempat ini
pernah didiami oleh penduduk kuno dan karena suatu sebab mereka meninggalkan
permukimannya. Kemungkinan besar penyebabnya adalah karena adanya faktor
bencana akibat aktivitas vulkanik yang pernah terjadi di dataran Suoh
sebelumnya.
“Selain Gunung Belirang, sebelum erupsi terdapat “gunung api kecil” lainnya di lapangan solfatar Suoh, yaitu Pematang Bata, Gunung Ratu, dan Gunung Agung. Pematang Bata berada di tengah-tengah, karena alasan tersebut, nama ini, Saya gunakan sebagai kompleks letusan Pematang Bata”.
B. Cekungan Suoh Setelah Letusan.
Tampilan cekungan Suoh, menjadi sangat berbeda setelah letusan terjadi. Sebagian besar datarannya menjadi hamparan terbuka, porak poranda, dan tertutup lapisan lumpur serta batu vulkanik yang berwarna keabu-abuan.
Aliran sungai Way Semangka tertimbun material letusan, sehingga membentuk aliran baru di sisi timur laut. Menggerus dan merusak persawahan dan membanjiri pemukiman dengan lumpur yang mengandung pasir dan kerikil. Sungai Semangka mengalami sedimentasi parah, berbahaya, dan merusak.
Sawah, ladang dan kebun di
tempat lainnya juga mengalami kerusakan akibat tertimbun lumpur dan material
yang terlontar saat letusan terjadi. Di
bagian paling utara, dimana aliran air sungai Way Semangka memasuki hamparan
Suoh, mengalami sumbatan, sehingga membentuk genangan air seperti telaga yang
menyebabkan hutan-hutan yang berada di sekitar lembah horst Antatai terendam.
Penduduk yang rumahnya telah rusak saat gempa tanggal 25 Juni, kini kondisinya semakin parah dan tidak lagi dapat dihuni. Sebagian besar pemukiman dan ladang yang berada di selatan dataran Suoh, sudah banyak ditinggalkan oleh penduduknya, mengungsi dan berpindah ke wilayah Kota Agung (Kabupaten Tanggamus).
![]() |
Cekungan Suoh sebelum letusan (kiri) dan setelah letusan (kanan) (sumber; Stehn, 1934) |
Peristiwa letusan yang terjadi di hamparan Suoh, menyajikan fenomena vulkanologi yang menakjubkan. Observasi yang dilakukan oleh Stehn pada tanggal 16-19 Juli, memberikan catatan penting tentang fenomena tersebut.
“Aktivitas vulkanis yang ditampilkan pada medan letusan, menyajikan atraksi alam yang sangat luar biasa. Kesan pertama yang saya lihat, bahwa keadaan ini mirip sekali dengan atraksi vulkanik yang ada di “Lembah Seribu Uap” gunung berapi Katmai di Alaska yang sangat terkenal itu. Hamparan Suoh seperti miniatur dari penggambaran lembah tersebut".
"Banyak terbentuk ventilasi, yakni lubang atau rekahan di tanah dimana gas vulkanik keluar kepermukaan tanah. Gas vulkanik yang keluar dari ventilasi, berupa kolom uap berwarna putih (fumarol) dan massa air panas (geyser) berukuran kecil maupun besar, bermunculan dipermukaan daratan lebih dari seratus tempat. Massa uap dan air panas berhembus keluar dari lubang-lubang ventilasi dengan tekanan yang kuat seperti air mancur, dan menghasilkan suara gemuruh yang keras”.
“Diantara ratusan ventilasi tersebut, ada tujuh diantaranya yang menghasilkan kolom uap air terbesar dan paling menonjol, yang saya tandai dengan angka I-VII, dimana nomor urut I-V berada di dalam area kawah besar, nomor VI berada di dalam area kawah kecil, dan nomor VII berada di antara kawah besar dan kawah kecil”.
Aktivitas vulkanik ini terlihat jelas di dalam area berukuran panjang ± 5 km dan lebar rata-rata ± 1,5 km. Letusan yang terjadi telah menyisakan dua lubang besar membentuk kawah besar diatas permukaan tanah.
Kawah yang terbesar, berada di sebelah
barat, berukuran panjangnya ± 2 km (dari Barat ke Timur) dan lebar ± 1,5 km
(kini menjadi danau Asam). Permukaan
dasar kawah besar tertutup lumpur, dan didalamnya banyak terbentuk
ventilasi-ventilasi kolom uap air baru yang menyebabkan ledakan uap terjadi di
sana-sini antara tanggal 16 dan 19 Juli 1933.
Kawah yang berukuran lebih kecil, terletak membentang sejajar dengan dinding
sesar barat daya dan timur laut cekungan Suoh, dengan ukuran panjangnya ± 1,5
km lebar ± 500 m (kini menjadi danau Lebar).
Permukaan dari dasar kawah yang lebih kecil tidak terlihat. Di sisi
utaranya terbentuk tebing setinggi ± 50
- 60 m (saat ini menjadi area savana alang-alang). Di sini pun massa uap muncul
di berbagai tempat. Pada perpanjangan ujung selatan kawah ke arah tenggara
bermunculan sejumlah fumarol yang berbeda.
Gempa sebelumnya telah menyebabkan retakan lapisan kerak bumi yang memanjang di sisi
barat daya cekungan Suoh, sejajar dengan dinding sesar Pematang Sawah.
Sepanjang jalur retakan ini ditandai dengan kemunculan deretan fomarol. Fumarol
yang cukup kuat terlihat di daerah kaki bukit Horst Antatai di bagian Utara
kawah besar (Ventilasi II) dan di antara kawah besar
dan kawah kecil (Ventilasi VII).
Pada tanggal 16 Juli 1933 pukul 13.19 dari ventilasi
II, III dan VII terjadi fenomena unik
dengan keluarnya gas belerang yang menyebabkan terjadinya api berwarna biru
(Ketika gas belerang dari dasar kawah naik ke permukaan dan teroksidasi di
udara, terjadilah reaksi kimia yang menghasilkan nyala api berwarna biru yang
indah, mirip api biru gunung Ijen).
Selama mengamati zona letusan, kolom uap ledakan tertinggi terjadi pada tanggal 17 Juli yang melontarkan material lumpur basah berwarna kelabu tua setinggi 1100 m, sedangkan uap air berbentuk awan putih bergulung hingga ketinggian lebih dari 2000 m (saat ini menjadi danau Minyak).
Letusan besar pada tanggal 17 Juli terjadi
pada pukul 20.00, mengirimkan material lumpur basah dan awan letusan hingga mencapai bivak pengamatan yang berjarak ± 5 km,
seperti hujan gerimis membawa lumpur basah yang lengket, menempel di dedaunan,
piring, perkakas masak, dan tenda. Ledakan dahsyat tersebut disertai dengan
getaran pada tanah yang terasa dengan jelas.
![]() |
letusan tanggal 17 Juli 1933, melontarkan lumpur basah setinggi ± 1.100 m dengan ketinggian uap ± 2.000 m (area letusan kini menjadi danau Minyak) |
"Pada tanggal 19 Juli, Kami putuskan untuk melakukan pengamatan lebih dekat ke zona letusan. Setelah berjalan sekitar 3 jam melintasi semak dan mengikuti jalur-jalur perlintasan gajah, kami tiba di kaki bukit Horst Antatai. Dihadapan kami mulai tampak tanda-tanda kehancuran, seperti terkena suatu tenaga hempasan yang sangat kuat."
Semak-semak di sepanjang tebing Horst Antati hancur dan porak poranda. Pohon-pohon berukuran besar seolah tercabut dari tanah dan tumbang bersama akar-akarnya, dan ada pula yang tinggal menyisakan tunggul-tunggul pohon dengan kulit kayu yang tercabik-cabik, yang dikelilingi oleh tumpukan patahan tajuk tanaman, ranting, liana, dan rumpun bambu yang berserakan disekitarnya.
"Tekanan udara dan lumpur yang terlontar akibat ledakan menghasilkan daya rusak yang hebat. Hal ini dapat dilihat dari kerusakan yang dihasilkannya, semak belukar yang porak poranda, posisi pohon tumbang dengan arah yang sama, dan kulit-kulit pohon yang terkoyak, serta paparan material lumpur setebal 30 cm yang menempel di antara tunggul dan akar dari pohon sejenis Ficus yang kami jumpai di lokasi ini. Namun tidak satupun batang pohon yang kami temui rusak karena hangus atau terbakar."
Kini dihadapan kami terbentang lebar hamparan terbuka yang
penuh dengan lapisan lumpur tebal dan bebatuan berwarna abu-abu kecoklatan
menutupi tanah dan batang pohon yang tumbang. Bau aneh tanaman busuk bercampur
lumpur vulkanik tercium dari sana. Batang-batang pohon yang tumbang, tersusun
sejajar satu sama lain dengan arah rebah yang sama yakni ke arah barat laut.
"Susah payah kami melewati hamparan lumpur dingin ini, karena lumpur yang nampak keras dipermukaannya, pada kenyataannya memiliki rongga yang dalam dibawahnya, sehingga tidak jarang kami terperosok ke dalam lumpur, yang untungnya bukan lumpur panas. Kami membekali dengan tongkat kayu sepanjang ± 1,25 m, guna memandu langkah kami menemukan jalan yang aman, karena adakalanya kami mendapati titik dimana tongkat kami tidak mencapai tanah padat di bawah lapisan lumpur yang akan kami lalui!"
“Mendekati area pusat letusan yang berukuran panjang 7 km dan lebar 5 km, semakin sulit untuk dilalui, karena massa lumpur yang terlalu lunak dan dalam. Tidak ada pepohonan maupun semak yang terlihat di dalam hamparan ini. Kami terpaksa berhenti di tepi hamparan pusat ledakan, dikarenakan kondisi medan yang tidak memungkinkan untuk diteruskan. Oleh karena itu, pengukuran mengenai dimensi kawah dan zona paparan tidak dapat dilakukan secara terperinci dan hanya berdasarkan pendugaan”.
Diperkirakan kedalaman kawah besar mencapai ± 20 m, dan di sisi timur terendam oleh air. Kedalaman alas kawah kecil tidak dapat dilakukan pendugaan, karena sulit dijangkau. Luas permukaan lahan yang tertutup lumpur (zona kerusakan) sekitar 35 km2.
Jika sekarang diasumsikan bahwa tinggi air di bagian timur dari kawah besar
sama dengan tinggi muka air permukaan dataran rawa sebelum ledakan, maka
ketebalan massa ± 20 m (sedalam cincin alas kawah besar). Jika kita asumsikan
lebih lanjut, ketebalan material dari pusat letusan (kawah besar) hingga tepi
luar dari zona paparan letusan, diperoleh rata-rata material yang menimbun
daerah ini setebal ± 6 m, sehingga dapat dihitung jumlah material yang
dimuntahkan dari letusan diperkirakan
mencapai ± 210 juta m3.
Sumber ledakannya mungkin tidak terlalu dalam. Hal ini
didukung dari posisi arah rebah pepohonan yang mengarah ke sisi barat dan barat
laut dari kawah. Sayangnya, kondisi dataran tersebut tidak memungkinkan
dilakukan penyelidikan dalam jarak terdekatnya. Guna mengetahui apakah fenomena
tumbangan pohon secara radial juga terjadi di bagian barat daya dan selatan
dari pusat ledakan.
Menghitung kedalaman titik ledakan berdasarkan permukaan
dua kawah ledakan dan jumlah material yang dikeluarkan secara rinci sangat beresiko karena berbagai faktor tidak pasti atau tidak diketahui. Luas permukaan kawah besar diduga ± 1.600.000
m2 (160 Ha) dan kawah kecil sekitar 400.000 m2 (40 Ha).
Jadi perbandingan kedua permukaan tersebut adalah 4:1.
Jika sekarang kita berasumsi bahwa titik ledakan di bawah kedua kawah terletak pada material yang homogen dan pada kedalaman yang sama, maka volume material vulkanis yang dikeluarkan dari pembentukan kawah besar sebanyak ± 144.000.000 m3 dan ± 36.000.000 m3 dari kawah kecil.
"Untuk memudahkan perhitungan kedalaman pusat ledakan, diasumsikan bahwa kedua kawah yang terbentuk seperti corong (kerucut) dengan memiliki permukaan atas berbentuk melingkar. Kemudian berdasarkan dugaan volume yang dikeluarkan, maka titik letusan diperkirakan sedalam ± 270 m".
Meski rajin melakukan pengintaian di malam hari, tidak dijumpai adanya bara api yang terdeteksi, bahkan dari ledakan tertinggi dan terkuat sekalipun. Berbagai laporan sebelumnya bahwa peristiwa letusan yang disertai adanya bara api atau awan panas, kini mulai terkoreksi, karena faktanya, justru masyarakat yang bermukim di sisi utara depresi Suoh tidak pernah melihat adanya bara api, bahkan saat ledakan besar terjadi pada tanggal 10 Juli 1933.
Namun masyarakat setempat
mengakui melihat adanya kilatan cahaya
yang tidak terhitung jumlahnya, sebagai akibat proses elektrifikasi, yang
dikenal sebagai petir vulkanis. Bukti lapangan juga menunjukan bahwa vegetasi
yang hancur di punggung bukit di sisi barat laut dekat dengan kawah besar tidak
menunjukkan sedikitpun bekas hangus atau terbakar oleh bara api, atau awan
panas.
![]() |
hamparan di timur laut cekungan Suoh yang hancur, terlihat pohon yang tumbang ke arah barat laut (Foto Stehn, 19 Juli 1933) |
"Fenomena yang diamati selama ledakan dan fakta bahwa, tidak ditemukan partikel lava segar dan tidak dijumpai adanya tanda-tanda terbakar (pengaruh panas tinggi) terhadap vegetasi yang tumbang, mengarah pada kesimpulan bahwa letusan yang terjadi pada cekungan Suoh termasuk kedalam jenis letusan atau erupsi semivulkanik atau freatik."
Ledakan uap semivulkanik juga diketahui terjadi di tempat
lain di Hindia Belanda. Letusan uap dan lumpur (letusan freatik) dengan ukuran
yang lebih kecil pernah beberapa kali terjadi di ladang solfatar Kawah
Kamojang, dan Kawah Cibeureum (Gunung Salak) (Buletin 1927-1933). Di antara
yang lebih besar, ledakan freatik terjadi
di Kawah Baru (gunung Papandayan), yang terjadi pada tahun 1923-1925.
Peristiwa tersebut telah dilaporkan secara
rinci oleh TAVERNE (1925).
Pada tanggal 28 Juli ada laporan di Liwa bahwa ketinggian letusan dan intensitas kebisingan telah menurun. Residen Bengkulu Tuan W. GROENEVELDT berkunjung ke Suoh pada tanggal 30 dan 31 Juli 1933. Angin mendorong gas dan uap vulkanik ke arah barat laut sehingga rombongan di lokasi bencana terhindar dari terpaan uap vulkanik.
Dari lokasi bivak Pengamatan di atas Negeri Ratu, terlihat sebanyak 49 tempat yang menghasilkan fumarol. Sebagian besar letusan yang terjadi
selama residen berkunjung pada tanggal 30 Juli adalah letusan yang relatif
kecil, tertinggi mencapai± 600 m.
Terjadi dua kali ledakan kuat pada tanggal 31 Juli 1933 di
Suoh. Di Antatai, tempat rombongan
bermalam, terlihat awan letusan membubung tinggi di atas Horst Antatai. Ledakan
tersebut disertai gempa dahsyat yang juga dirasakan di Liwa dan Kruï.
"Pada tanggal 5 Agustus 1933, laporan terkini dari Antatai diterima di Liwa. Deru ledakan menjadi jauh lebih lemah, namun letusan kecil tetap terjadi. Penduduk terakhir yang ada di Antatai bermigrasi ke dataran tinggi Liwa, sehingga seluruh permukiman yang berada dalam radius 18 km dari zona letusan kini tidak lagi berpenghuni."
"Sulit dibayangkan betapa besar dampak ledakan tanggal 10 Juli bagi masyarakat yang tinggal hanya 4 km jauhnya di sisi timur laut dataran tersebut. Ledakan dahsyat, desisan, raungan dan terpaan badai, hembusan uap dan sejumlah besar batu serta lumpur hingga ketinggian yang sangat tinggi, batu dan pasir yang berjatuhan, pelepasan listrik statis (kilat), suara serta tekanan udara ledakan, serta gempa bumi, seolah mengejar dan mengintimidasi penduduk hingga ke tempat-tempat tinggi."
"Menurut keterangan masyarakat, tekanan udara dari gelombang ledakan terasa begitu kuatnya menyebabkan berbagai rumah yang terlanjur rusak akibat gempa tanggal 25 Juni menjadi ambruk total."
Letusan semivulkanik di Pematang Bata yang mula-mula
terjadi pada tanggal 10 Juli 1933 termasuk yang paling dahsyat di dunia dari
jenis erupsi freatik, seperti yang terlihat dari luas zona letusan, dan radius suara ledakan
yang terdengar.
Ekspedisi yang dilakukan Stehn dalam mengamati fenomena
letusan Suoh, bisa jadi menjadi alur tracking yang dapat memperkaya nilai
Geopark Suoh. Mulai dari spot di Kubu Tengah, “Horst” Antatai, lokasi Teropong
Pengamatan di “Negeri Ratu”, dan air panas way Kunjir, akan menjadi moment
napak tilas guna turut merasakan kembali bagaimana dahulunya Stehn dan warga setempat mengamati fenomena erupsi
freatik di Cekungan Suoh, dengan adrenalin tinggi.
Salam Lestari.
Referensi:
Merangkum dari jurnal berjudul Die Semivulkanischen
Explosionen Des Pematang Bata In Der Soeoh – Senke (Süd-Sumatra) Im Jahre 1933,
oleh Dr. CHE STEHN, 1934.