Senin, 09 Oktober 2023

Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian I)

“Ngupi pai Abang kahud...!” - Ajakan teman sejawat setiap pagi, disaat  Portable Computer  baru saja loading untuk memulai aktivitas pekerjaan rutin. Rasanya jika belum mencium aroma,  dan rasakan pahitnya kopi, syaraf motorik dan pikiran seakan mogok dan enggan untuk melakukan sesuatu. Robusta memang selalu menjadi pengungkit inspirasi dan penghangat suasana kerja.

Kabupaten Lampung Barat merupakan produsen utama kopi dengan branding geografis “Kopi Lampung”. Kopi Lampung dihasilkan dari tanaman jenis kopi robusta  dengan nama botani Coffea canephora Pierre ex A. Froehner. Rata-rata produksi kopi di Propinsi Lampung mencapai ± 117.676 ton/tahun, dimana sekitar 43,7% atau  ± 51.405,7 ton/tahun berasal dari Kabupaten Lampung Barat (Provinsi Lampung Dalam Angka tahun 2022).  

Jika dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya, pada tahun 2021 kopi robusta asal Lampung Barat mengalami penurunan sebesar ± 43.714,5 ton.  Penurunan produksi kopi ini, disebabkan karena adanya krisis iklim dan pengaruh el-Nino yang melanda di dua tahun terakhir ini. 

Namunpun begitu Kabupaten Lampung Barat masih tetap unggul sebagai produsen kopi robusta di Propinsi Lampung yang dibuktikan dengan nilai Location Quotien (LQ) kopi yang mencapai 5,3.  Lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Tanggamus, Lampung Utara dan Way Kanan yang juga sebagai produsen Kopi Lampung.  

Konsumsi  kopi perkapita penduduk Lampung Barat, juga mengalami peningkatan. Rata-rata konsumsi kopi perkapita di Kabupaten Lampung Barat tahun 2021 mencapai 0,641 kg/perkapita/minggu atau sekitar 30,7 kg/perkapita/tahun, diatas rata-rata propinsi Lampung yakni sebesar 19 kg/perkapita/tahun. 

Ruang wilayah Kabupaten Lampung Barat secara umum terbagi menjadi 3 (tiga) peruntukan kawasan, yaitu kawasan hutan seluas ± 103.355 Ha, kawasan pertanian seluas ± 91.790 Ha, dan kawasan permukiman seluas ± 5.655 Ha.  Dari peruntukan kawasan pertanian tersebut sekitar  ± 54.674  Ha atau sekitar 59,5% merupakan perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat, atau 35% dari luas total perkebuan kopi se-Propinsi Lampung. Kebun kopi tersebut menjadi sumber kesejahteraan sekitar ± 35,737 KK yang tergabung kedalam 995 kelompok tani  (sumber: Disbunak Lampung Barat 2019).  

Selain berasal dari kawasan budidaya pertanian, produksi kopi juga dihasilkan dari kawasan hutan melalui Skema Perhutanan Sosial. Diperkirakan lahan “kebun kopi campuran” yang berada dalam izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) mencapai luasan ± 27.412,20 Ha. Produksi kopi yang dihasilkan dari lahan Hkm tersebut mencapai ± 20.560 ton/tahun, yang dikelola oleh 50 Gapoktan HKm dengan jumlah anggota mencapai ± 12.233 KK.   

Kopi robusta telah menjadi entitas dan sekaligus pilar perekonomian bagi Kabupaten Lampung Barat yang dijuluki sebagai Negeri Sekala Brak dengan motto Beguai Jejama (bekerja bersama-sama).  Kondisi agroklimat yang cocok ditambah dengan kultur masyarakatnya, menjadikan semua kecamatan di Lampung Barat adalah penghasil kopi robusta. Dilihat dari produksi dan produktivitasnya, paling tidak terdapat 5 kecamatan di Kabupaten Lampung Barat yang dianggap sebagai sentra penghasil kopi robusta, yaitu Kecamatan Pagar Dewa, Way Tenong, Belalau, Sekincau, dan Air Hitam. 

Kebijakan dan pembinaan yang telah dilakukan oleh Pemkab Lampung Barat selama ini, nampaknya telah membuahkan hasil yang semakin baik. Membangun kopi yang lestari memang harus diiringi pula dengan pengelolaan sumber daya lahan (landscape) yang juga harus dilakukan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.

Statistik Kopi Indonesia tahun 2021, BPS Indonesia 2022

 Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar ke-3 dunia, dengan produksi mencapai 786,2 ribu ton/tahun, dibawah negara Vietnam yang menempati urutan ke-2 dengan produksi mencapai 1,6 juta ton/tahun. Negara Brazil masih menempati urutan pertama penghasil kopi di dunia dengan produksi mencapai rata-rata 2,9 juta ton/tahun.  Propinsi Lampung merupakan propinsi ke-2 penyumbang terbesar kopi nasional dengan nilai kontribusi sebesar 15% dari total produksi. 5 (lima) propinsi penghasil kopi terbesar nasional selain Lampung adalah Sumatera Selatan sebesar 27%, Sumatera Utara 10%, Aceh 9% dan Bengkulu 8%.

A. SEJARAH MASUKNYA TANAMAN KOPI DI NUSANTARA

Tanaman kopi bukanlah tanaman endemik  dari bumi Nusantara. Tanaman dari famili Rubiaceae ini berasal dari benua Afrika dan menjadi salah satu komoditas perdagangan penting dunia sejak awal abad ke-17. Mulanya, perdagangan kopi masih menjadi monopoli para pedagang Arab hingga beberapa tahun lamanya, yang diperdagangkan melalui pelabuhan Mocha (Mukha) di Yaman.  

Bangsa arab menyebut kopi sebagai “qahwa” yang diartikan sebagai “kuat”. Bangsa China menyebutnya dengan nama “Kia-fey”. Prancis menyebutnya dengan “Cafe”,  dan  bangsa Belanda menyebutnya sebagai “Koffie”.  Bangsa Indonesia menyebutnya sebagai Kopi, mengikuti bahasa Belanda, yang memperkenalkan pertama kalinya tanaman ini di Nusantara. 

International Coffee Organization (ICO), mengidentifikasi ada 4 jenis kopi yang diperdagangkan secara global pada saat ini, yakni kopi arabika, kopi robusta, kopi liberika, dan kopi excelsa. Keempat jenis kopi tersebut berasal dari 3 (tiga) spesies tanaman kopi. 

Arabika dihasilkan oleh tanaman dengan nama botani Coffea arabica. Robusta dihasilkan tanaman dengan nama botani Coffea canephora. Liberika dan Excelsa dihasilkan dari tanaman Coffea liberica, dimana untuk Liberika berasal dari varian  Coffea liberica var. Liberica dan untuk kopi excelsa berasal dari varian Coffea liberica var. Dewevrei

Kopi liberika di Way Lima, 1892 (Sumber: Dig. Coll. Univ. Leiden)

Berdasarkan buku yang ditulis oleh GJF Biegman, yang berjudul “Enambelas Tjeritera Pada Menjatakan Hikajat Tanah Hindia”, terbitan Batavia (1894), menceritakan bahwa  Walikota Amsterdam yang bernama Nicholas Witsen, memiliki peran penting dalam penyebaran tanaman kopi di Nusantara.  Pada tahun 1696, Nicholas Witsen memerintahkan komandan Benteng Belanda di Malabar, Hindustan (India) yang bernama Adriaan van Ommen, membawa bibit kopi arabika untuk dibudidayakan di Batavia yang pada saat itu diperintah oleh Gubernur Jenderal VOC bernama Van Outhoorn (1691-1704). Bibit kopi dari jenis Coffea arabica tersebut mula-mula ditanam di bantaran sungai Ciliwung di lahan perkebunan yang bernama “Kedaung” di dekat  Batavia.     

Pada tanggal 4-5 Januari 1699 terjadi erupsi gunung Salak, yang menyebabkan banjir lumpur di sungai Ciliwung.  Terpaan banjir lumpur gunung Salak ini, menyebabkan tanaman kopi yang baru berumur sekitar 3 tahun tersebut mengalami kerusakan, sehingga oleh pemerintah Belanda dilakukan relokasi dan penanaman kembali tanaman kopi di daerah yang lebih aman, dengan mendatangkan kembali bibit kopi arabika yang ada di Malabar.  

Lokasi penanaman kedua, berada di lahan pribadi milik Gubernur Jenderal Van Outhoorn di Desa Kopi (sekarang bernama Pondok Kopi, Jakarta Timur), pada sekitar pertengahan tahun 1699.  Barulah pada penanaman kedua ini, tanaman kopi arabica yang berasal dari Malabar tersebut, berhasil tumbuh subur dan baik. 

Tahun 1706, dimasa pemerintahan Gubernur Jenderal VOC Van Hoorn (1704-1709), tanaman kopi yang ditanam di Batavia menghasilkan biji pertamanya, yang kemudian dibawa ke negara Belanda untuk diperkenalkan kepada Raja Belanda dan sekaligus ditanam di Kebun Raya Amsterdam sebagai tanaman koleksi.  

Pada tahun 1712, ekspor perdana biji kopi yang berasal dari jawa, mulai memasuki pasar Eropa dan mendapatkan harga lelang tertinggi di pasar lelang Amsterdam. Sejak itu kopi dari nusantara ini mulai  terkenal di pasar dunia, dengan merk dagang “java coffee” atau “kopi jawa”,  dan Belanda menjadi  satu-satunya negara di Eropa sebagai pengekspor kopi di luar bangsa Arab, yang sebelumnya memonopoli dan menguasai perdagangan kopi. 

Keberhasilan budidaya kopi di Batavia dan diterimanya “Kopi Jawa” di pasar Eropa, mendorong Kompeni (VOC) untuk mulai memperluas budidaya tanaman kopi arabika di pulau Jawa.  Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Batavia Zwaardekroon (1715-1725), “Kopi Jawa” banyak ditanam di tanah Parahyangan (Sunda), melalui sistem Preangerstelsel (Sistem Parahyangan), yaitu sistem tanam paksa kopi yang diberlakukan di wilayah Parahyangan oleh VOC. Kopi dengan cepat  menyebar hingga di luar Batavia, mulai dari Cianjur hingga kewilayah Kesultanan Cirebon. 

Selain menerapkan sistem Preangerstelsel -  Zwaardekroon - menerapkan pula aturan untuk memberlakukan kopi sebagai upeti terhadap daerah-daerah taklukan VOC,  digunakan sebagai upah pembayaran atas jasa  militer, mengangkat bupati setempat sebagai pengumpul kopi, mewajibkan menjual kopi hanya kepada VOC,  menentukan dan menetapkan harga jual beli kopi, serta memberlakukan bea kopi yang tinggi bagi para pedagang China. 

Upaya ini telah mendorong meningkatnya produksi kopi di bumi Pasundan. Pada tahun 1712 produksi kopi sebanyak 894 pikul (1 pikul = 60,5 kg). Tahun 1722 meningkat menjadi 200.000 pikul, pada 1739 hampir 3 juta pikul dan pada tahun 1740 mencapai empat juta pikul.  Untuk harga beli perpikul kopi dari pribumi ditetapkan oleh VOC sebesar 6 -14 duiten (mata uang VOC saat itu, dimana 1 gulden sama dengan 30 stuiver atau sekitar 120 duiten). 

(Pernah dengar perumpaan “Mata Duitan?”, nah mungkin kata “duit” diambil dari mata uang VOC ini)

Tata niaga kopi yang diterapkan ini, semakin memperkuat posisi VOC sebagai eksportir tunggal Kopi Jawa, dan mendorong ekstensifikasi kopi yang cepat. VOC mampu  menguasai setengah sampai tiga perempat perdagangan kopi di dunia. Rata-rata Keuntungan yang diperoleh Belanda setiap tahun dari hasil ekspor “kopi jawa” mencapai lebih dari 10 juta gulden.

Lahan kopi di jawa tahun 1884 (sumber: Dig. Coll. Univ. Leiden)


Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808 -1811), kopi mulai tersebar tidak hanya di tanah Pasundan (Priangan) akan tetapi sampai juga Pasuruan, Jawa Timur.  Di masa Daendels tidak hanya terbukanya akses penghubung antara Anyer (Banten) – Panurukan (Surabaya), tapi juga lebih dari 45 juta pohon kopi arabika telah ditanam di Pulau Jawa. 

Pada masa ini, kopi tidak hanya sebagai strategi ekonomi, dalam persaingan pasar global, akan tetapi digunakan pula sebagai strategi politik Belanda guna memperkuat eksistensinya di Pulau Jawa.


B. Penyebaran Kopi di Sumatera

Memasuki abad ke-19, Belanda tidak lagi menjadi eksportir tunggal kopi. Banyak kompetitor yang kemudian mempengaruhi pula penyebaran dan penguasaan kopi di nusantara.  Terutama persaingan dengan Maskapai Perdagangan Inggris (EIC) dan Kesultanan Palembang di Pulau Sumatera.  Tanaman kopi sudah ada dibeberapa daerah di Sumatera bagian selatan, dan menjadi komoditas perdagangan di pasar gelap, bahkan sebelum Belanda memberlakukan sistem cultuurstelsel pada tahun 1830.

Kultur pertanian yang berbeda antara masyarakat Sumatera dan Jawa, dan bentang alam yang berbukit-bukit menyebabkan tanaman kopi tidak banyak tersebar secara merata disemua distrik atau tempat. Penduduk asli Sumatera umumnya berladang, dengan membuka lahan hutan untuk dijadikan kebun. Ladang berisi banyak tanaman, ada untuk kebutuhan pangan sehari-hari, dan ada pula untuk dijual atau dibarter dengan komoditas lainnya, seperti lada, cengkeh, damar, kayu manis, dan sebagainya. 

Suku Jawa memiliki kultur budidaya pertanian yang lebih maju. Hal ini mendorong Sultan Muhammad Bahauddin (15 Maret 1729 - 2 April 1804) dari Kesultanan Palembang Darussalam, mendatangkan orang-orang dari Jawa untuk mengajarkan kepada rakyat Palembang cara bercocok tanam, termasuk didalamnya  budidaya tanaman kopi.  

Setelah Raffles menghapuskan  Kesultanan Banten pada tahun 1813, maka Kesultanan Palembang merupakan satu-satunya pesaing perdagangan kopi, lada, dan rempah-rempah di Selat Malaka. Kesultanan Palembang, menjadi perebutan pengaruh bagi Inggris maupun Belanda. 

Pengawas dan buruh kopi wanita, Kedondong, 1895 (Univ. Leiden)

Inggris merupakan negara yang memperkenalkan kopi pertama kalinya di Bengkulu.  Inggris pernah menerapkan tanam paksa kopi kepada rakyat Bengkulu, disaat Bengkulu dipimpin oleh Residen Sir Thomas Parr (1805-1807). Pendekatan yang otoriter, justru menyebabkan terjadinya pergolakan dan pertentangan oleh masyarakat Bengkulu yang berujung terbunuhnya Thomas Parr pada tanggal 23 Desember 1807.

Penyebaran tanaman kopi tidak melulu dilakukan dengan tindakan intimidasi. Kopi pernah digunakan sebagai media untuk mendapatkan simpati masyarakat di wilayah hulu (uluhan) Palembang. Ini yang dilakukan oleh Muntinghe seorang opsir militer Belanda, yang diberi tugas melaksanakan ekspedisi penyelesaian batas dengan wilayah Inggris di Bengkulu, pada tahun 1818-1819. Muntinghe mengajarkan menanam kopi kepada masyarakat di wilayah Komering, Banyuasin, Rawas, Rejang, Muara Bliti. Kemungkinan dari sinilah kemudian kopi tersebar hingga sepanjang Bukit Barisan,  bahkan pada tahun 1822 ditemukan banyak kebun-kebun kopi di daerah Ampat Lawang.

Kuda pembawa kopi di Lampung 1932 (Univ. Leiden) 


Pada tanggal 17 Maret 1824, dilakukan perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dikenal dengan Perjanjian London, dimana Inggris dan Belanda menyepakati pembagian wilayah atas kepulauan Hindia, dimana Belanda menguasai Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua, sedangkan Inggris menguasai Malaysia, Singapura, Borneo bagian Utara (serawak). Adanya perjanjian London ini Belanda memiliki kuasa penuh atas wilayah Nusantara, termasuk hasil bumi didalamnya. Pulau Sumatera pada saat itu, terbagi menjadi 10 keresidenan, yaitu Aceh, Pantai Timur Sumatera, Tapanuli, Pantai Barat Sumatera, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, Bangka Belitung, dan Lampung. 

Pada tanggal 29 Maret 1825, Belanda mendirikan perusahaan dagang pengganti VOC, yang bernama “Nederlandsche Handel Maatschappij” (NHM), dengan komoditas ekspor adalah kopi, gula, dan nila.  NHM mendapat hak istimewa dari Raja dan Pemerintah Belanda untuk mengangkut serta menjual hasil bumi Indonesia yang sebagian besar diperoleh dari hasil Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. 

Untuk mengatasi beban hutang dan “kebangkrutan” akibat perang, pada tahun 1830, gubernur jenderal Johannes Van den Bosch menerapkan undang-undang cultuurstelsel atau yang kemudian dikenal sebagai tanam paksa.  Undang-undang ini mewajibkan pribumi untuk menanam 1/5 luas lahan pertaniannya dengan tanaman yang diwajibkan oleh Belanda (Kopi, nira, tebu) dan wajib dijual kembali hanya kepada Belanda, dan bagi pribumi yang tidak memiliki lahan diwajibkan bekerja sebagai buruh tani diperkebunan milik Belanda selama 60-75 hari. 

Mulanya kopi tidak menjadi prioritas tanam paksa, namun seiring meningkatnya permintaan kopi dunia dan gagalnya penanaman nila, maka pada tahun 1833, Van den Bosch, memasukan kopi sebagai tanaman wajib dengan target 40 juta tanaman kopi per tahun.

Pemberlakuan undang-undang tanam paksa ini, semakin memperluas penyebaran tanaman kopi hingga ke pulau Sumatera.  Pada Tahun 1837, Kolonel Michiels diangkat menjadi Gubernur di Padang, dan memerintahkan masyarakat melayu mulai menanam kopi dan menjualnya hanya kepada Belanda dengan harga yang telah ditentukan. Tanaman kopi selanjutnya menyebar hingga Keresidenan Tapanuli. Pada tahun 1888 kopi mulai menyebar ke daerah Gayo.

Rumah tradisional & buruh kopi di Wai Lima, 1897 (Univ. Leiden)

Sistem tanam paksa (cultuurstelsel), walaupun kembali meningkatkan pendapatan Belanda dari  nilai ekspor, dan juga memperkenalkan dan memperluas komoditas komersial seperti kopi, namun sisi kelamnya adalah kian meningkatnya penderitaan pribumi, seperti kemelaratan, kelaparan, dan kesakitan.  Pelaksanaan tanam paksa dalam kenyataannya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku pada masa itu. Sistem tanam paksa lebih menguntungkan pemerintah kolonial dan semata-mata sebagai bentuk eksploitasi.

Tahun 1870, undang-undang sistem tanam paksa dihapuskan dan diberlakukan undang-undang agraria.  Sejak itu antara tahun 1870 – 1900, Belanda menerapkan politik etis dan menjalankan ekonomi liberal. Muncul perusahaan-perusahan perkebunan yang memperkerjakan pribumi sebagai buruhnya, dan pendekatan-pendekatan “balas budi” untuk mendapatkan simpati sekaligus mengurangi gejolak pemberontakan rakyat. 

Politik etis dilakukan dengan menjalankan tiga strategi, yaitu transmigrasi (kolonialisasi), irigasi (pertanian), dan pendidikan. Sejak tahun 1890 -1939, Belanda telah mengirimkan sekitar 32.956 orang asal Pulau Jawa ke Suriname sebagai tenaga kerja diperkebunan milik Belanda. Transmigrasi tidak hanya untuk pemenuhan tenaga kerja murah, dan mengurangi kekuatan rakyat di Jawa, namun mendorong pula terjadinya pertukaran dan penyatuan kebudayaan serta pengetahuan, termasuk agriculture kopi di luar Jawa. 

Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) juga mengalami penyesuaian sebagai penyedia dan penyalur  modal, serta berfungsi sebagai perbankan.  NHM merupakan cikal bakal dari Bank Mandiri Indonesia. (Gedung kantornya sekarang dijadikan Museum Bank Mandiri, yang berada di Kota Tua Jakarta). 

C. Sejarah Kopi di Lampung

Tanaman Kopi mula-mula diperkenalkan kepada marga Lampung sekitar tahun 1841, akan tetapi tidak begitu diminati, karena marga-marga Lampung lebih mempertahankan lada sebagai komoditas utama perdagangannya. Walaupun Lampung pernah ditaklukan oleh Daendels pada tanggal 22 November 1808,  namun bukan berarti Belanda mampu menguasai dan memonopoli perdagangan lada dan rempah-rempah. Antara tahun 1818 – 1856, merupakan masa perjuangan rakyat Lampung menolak kehadiran Belanda. Gejolak yang terjadi menyebabkan penyebaran kopi juga banyak mengalami hambatan.  

Barulah setelah Belanda mampu meredam pemberontakan rakyat Lampung pada tahun 1856, tanaman kopi mulai menyebar di Lampung, khususnya di daerah Teluk Betung, yang pada tahun 1857 ditetapkan sebagai ibu kota Keresidenan Lampung dan membangun kantor residen disana (sekarang menjadi kantor Polda Lampung).  Tidak hanya itu, Belanda pun meningkatkan fungsi pelabuhan panjang (Oesthaven) dan membangun jalur kereta api yang menghubungkan Lampung hingga Muara Enim (Keresidenan Palembang).  

Pada tahun 1878 terjadi serangan penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Hemileia vastatrix.  Penyakit karat daun ini pertama kali ditemukan di Sri Lanka pada tahun 1869, kemudian menyebar dengan cepat hingga ke Timor-Timor. 

Tanaman kopi yang terserang karat daun, ditandai dengan adanya bercak berwarna kuning pada daun, yang kemudian daun menjadi rontok sebelum waktunya, yang berlanjut menyebabkan kematian pada tanaman.  Sebagian besar kopi arabika yang ditanam di bawah 1000 mdpl, banyak terjangkit penyakit karat daun dan mengalami kematian. Hingga tahun 1880, kopi arabika yang ditanam pada dataran rendah hampir punah terserang penyakit ini. Serangan jamur karat daun, menyebabkan Belanda kehilangan potensi ekspor sekitar 120.000 ton kopi dari tanah Jawa. 

Untuk mengatasi merosotnya produksi kopi akibat serangan penyakit karat daun, Belanda mengintroduksikan kopi liberika, sebagai tanaman pengganti, namun ternyata kopi liberika pun tidak cukup kuat menghadapi serangan karat daun.  

Pada tahun 1883 terjadi bencana gunung Krakatau, yang menyebabkan tsunami di perairan Teluk Lampung dan Banten, menyebabkan beberapa kebun kopi yang ditanam di Teluk Betung, mengalami kerusakan parah, akibat tsunami maupun debu vulkanik.    

Sekitar tahun 1890, Belanda membuka lahan perkebunan kopi liberika di daerah-daerah yang lebih tinggi dan aman, sebagai upaya untuk perluasan dan peningkatan produksi kopi yang menurun akibat dampak penyakit karat daun dan bencana alam Krakatau.  lokasi pertama pembukaan baru lahan perkebunan kopi berada di Kedondong - Way Lima, yang dekat dengan Teluk Betung sebagai ibukota keresidenan Lampung. 

Barak pekerja kopi di Wai Lima, 1893 (Univ. Leiden)

Pada tahun 1910, pemerintah Belanda mengirimkan kopi robusta ke daerah Lampung, untuk mengganti kopi arabika maupun liberika yang mati terserang penyakit karat daun.  

Kopi robusta ditemukan di Kongo pada tahun 1898 oleh seorang Botani asal Belgia, bernama Louis Pierre. Kopi robusta baru mulai diintroduksikan di Nusantara sekitar tahun 1901 (awal abad ke-20). Bermula dari perusahaan perkebunan kopi Belanda “Soember Agoeng” di Jawa Timur membeli 150 benih kopi varian robusta dari Pembibitan Hortikultura di Brussels, Belgia.  Ternyata kopi robusta tahan terhadap penyakit karat daun.  Hingga tahun 1907, kopi robusta menyebar luas di jawa, menggantikan kopi arabika dan liberika yang mati akibat penyakit karat daun. 

Kopi robusta menjadi komoditas primadona dan menyebar dengan cepat khususnya di wilayah Sumatera Bagian Selatan.  Aromanya yang kuat, tahan terhadap penyakit, dan produktivitasnya yang dua kali lebih banyak dibanding kopi lainnya, menyebab kopi robusta lebih diminati dan disukai oleh masyarakat di Keresidenan Bengkulu, Keresidenan Lampung, dan Keresidenan Palembang, hingga kini.  Bahkan dibeberapa suku, kopi dipergunakan sebagai salah satu persyaratan untuk “barang seserahan” pada acara adat pernikahan.

Pola budidaya kopi juga mengalami perkembangan. Guna mencegah penularan karat daun, kopi tidak lagi ditanam secara monokultur.  Kopi ditanam secara tumpang sari (kebun campuran), baik dengan tanaman perkebunan lainnya seperti  karet, lada, kapuk randu, dan  tanaman pangan.

Karet dan kopi robusta di Redjosari, 1920 (Univ. Leiden)

Berdasarkan Walingkarst huitema de Bevolkingskoffiecultuur op Sumatra (Wageningen: H. Veenman & Zonen, 1935) dalam Kristian (2019), Sentra utama perkebunan kopi robusta di Keresidenan Lampung, meliputi 3 (tiga) wilayah, yaitu:

  1. Daerah Kotabumi hingga perbatasan Keresidenan Bengkulu dan Martapura (Keresidenan Palembang): seluruh daerah ditanami kopi robusta (monokultur) dari ketinggian 50-400 m.  Wilayahnya meliputi  Olok Rengas, Banjarmasin, Kasui, Blambangan Umpu, dan bagian Utara Bukit Punggur.
  2. Daerah utara Talang Padang dengan dataran Ulu Belu dan Ulu Semong hingga Way Tenong (Perbatasan Keresidenan Bengkulu).  Area ditanami campuran kopi robusta dan lada pada ketinggian 500 – 800 m.
  3. Daerah sepanjang Teluk Betung, Kalianda, Batu Serampok hingga Rajabasa, dengan ketinggian hingga 300 m.


Nah bagaimana dengan sejarah kopi di Lampung Barat sendiri? Apakah dipengaruhi pula oleh perkembangan kopi di Keresidenan Lampung?  Terkait ini akan Jejak Erwinanta ulas pada bagian berikutnya ya Sob. 

Baca Juga: Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian II)

Kopi memang diwariskan oleh Belanda di bumi Nusantara  sejak 324 tahun yang lalu, namun janganlah pula sifat-sifat bengis penjajahnya turut diwariskan hingga generasi saat ini.  

"Hitamnya warna kopi adalah cermin, harumnya aroma kopi adalah penuntun, dan pahitnya rasa kopi adalah kesadaran. Menikmati secangkir kopi adalah menuntun kita kembali bercermin, adakah kebaikan yang sudah kita perbuat untuk negeri ini?" 

Selamat Hari Kopi Internasional – 1 Oktober 2023.  Salam Lestari.


Referensi:

  • Yuli Kristian, 2019. Politik Ekonomi Belanda terhadap Lampung pada tahun 1800-1942. Penerbit: Uwais Inspirasi Indonesia, IKAPI.
  • "Preangerstelsel: Kala Kopi Menjadi Sumber Bencana", https://tirto.id/edSl
  • "NHM, "Kompeni Kecil" Cikal Bakal Bank Mandiri", https://tirto.id/cFxH
  • Pondok Kopi Jakarta Timur; Perkebunan Kopi Pertama di Nusantara ? (Link: https://www.pojokcerita.com/2020/05/pondok-kopi-jakarta-timur-perkebunan-kopi.html)
  • Wafiyatu Maslahah & Arif Wahyu Hidayat. Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat di Jawa 1830-1870. Jurnal Agastya Vol 6 No 2 Juli 2016
  • Farida R. Wargadalem Perebutan Kekuasaan di Kesultanan Palembang (1804—1825) – Disertasi
  • Sejarah Kopi (sumber: https://jurnalbumi.com/knol/sejarah-kopi/)
  • Kopi Robusta – Asal, Klasifikasi, Klon & Perdagangan (Sumber: https://rimbakita.com/kopi-robusta/#Asal_Usul_Kopi_Robusta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer