Jumat, 15 Desember 2023

Mengenal Tradisi Megalitikum di Lampung Barat (Bagian I)

"Kedatangan tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII (BPK VII) Bengkulu-Lampung pada akhir November 2023 yang lalu, seperti “energy drink” yang menambah gairah saya untuk menyelami kembali arsip-arsip tinggalan tradisi megalitikum yang sebelumnya pernah diteliti oleh seorang sahabat di BRIN pada tahun 2012, 2014, 2018 silam". 

Alangkah indahnya jika negeri ini dapat dijuluki sebagai “Negeri Seribu Megalitikum”. Julukan yang semakin memperkokoh bahwa benar etnis Lampung aslinya berasal dari wilayah ini.  

Situs Megalitikum Batu Berak (Sumber: JE, 2014)

Namun melihat kondisi tinggalan yang semakin rusak tak terawat, harapan itupun lantas pupus dan justru menyisakan banyak kekuatiran. Ibarat selembar arsip tak bernilai, yang ditumpuk-tumpuk dalam lemari yang usang. 

Lampung Barat pernah berkomitmen sebagai “Kabupaten Literasi”. Tidaklah sulit untuk menempatkan kekayaan arkeologisnya sebagai “literasi budaya”, agar semakin kokoh nilai-nilai kebhinekaan dan identitas daerah. Nilai-nilai ini penting agar kejayaan negeri ini dapat kembali diusung bersama-sama.

"Saya bukan seorang arkeolog apalagi antropolog, bahkan bertugaspun tidak ada terkait dengan urusan kebudayaan, namun saya tertarik untuk belajar memahami bagaimana suatu tradisi terbentuk.  Apalagi jika tradisi tersebut lahir sebagai makna dari proses adaptasi manusia terhadap sumber daya alamnya. Inilah yang saya sebut sebagai “kearifan lokal”. 

Tak elok rasanya, jika keinginan untuk mengembangkan potensi kearifan lokal, tidak disertai dengan pengenalan dan pemahaman atas eksistensi kebudayaan masyarakat lampau, dimana kearifan lokal tersebut terbentuk.

"Mempelajari tradisi megalitikum di bumi Lampung Barat, secara tidak langsung akan mengajak kita, mengenal dan memahami lebih jauh darimana nenek moyang kita berasal. Termasuk kebudayaan yang menyertainya”.    

Benarkah secara genetik kita berkerabat dengan manusia purba Pithecanthropus erectus, yang ditemukan fosilnya oleh Eugene Dubois di tahun 1891? Benarkah kita spesies Homo sapiens yang terbentuk karena teori evolusi Charles Darwin? 

Para ahli menyepakati bahwa perkembangan sejarah peradaban manusia, dikelompokan menjadi dua, yaitu masa prasejarah dan masa sejarah.  

Masa prasejarah merujuk pada istilah dimana manusia belum mengenal atau menggunakan tulisan atau aksara (pra artinya sebelum, dan sejarah artinya catatan tertulis tentang cerita atau kisah hidup manusia). 

Masa sejarah, tentunya kebalikannya dari pra sejarah, yakni zaman dimana manusia sudah mengenal aksara, dan mencatatkan peristiwa atau kejadian kehidupannya pada suatu media tulis.  

Masa prasejarah diistilahkan pula sebagai praaksara atau nirleka (nir = ketiadaan, dan leka = tulisan). Namunpun begitu manusia prasejarah atau praaksara sudah pandai membuat lambang-lambang, tanda-tanda, maupun gambar-gambar, serta memiliki bahasa pengantar atau tutur (lingua franca).

Masa prasejarah (praaksara), dikelompokan  kedalam 3 (tiga) zaman, yaitu zaman batu, zaman megalitikum, dan zaman perundagian. Adapula yang membaginya menjadi zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi, bahkan hanya dua zaman saja yaitu zaman batu dan zaman logam

Zaman Batu adalah periode di mana manusia praaksara hidup dengan peralatan yang terbuat dari batu. Periode ini berlangsung dalam waktu ratusan ribu tahun, yang terbagi menjadi zaman batu tua (paleolitikum), zaman batu tengah (mesolitikum), dan zaman batu muda (neolitikum).

Zaman Perundagian atau Zaman Logam: merupakan periode akhir prasejarah atau yang lazim disebut Zaman Logam. Pada zaman ini, peradaban sudah berkembang beragam dan cukup pesat. Manusia tidak hanya menggunakan bahan batu untuk membuat perkakas, tetapi juga sudah menggunakan bahan logam, seperti tembaga, perunggu dan besi. Zaman perundagian di Indonesia diperkirakan dimulai sejak 1000 SM – 400 M.

Zaman Megalitikum merupakan peralihan atau transisi kebudayaan antara periode akhir zaman batu muda (Neolitikum)  dan Zaman Perundagian. Tinggalan tradisi megalitikum tidak hanya bercirikan monumen batu berukuran besar saja, namun susunan batu berukuran kecilpun bisa dikatagorikan sebagai tinggalan megalitikum, selama difungsikan untuk tujuan sakral, seperti pemujaan atau penghormatan kepada roh leluhur.

Megalitikum” berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “Mega” yang artinya “besar”.  Kata “Litik” atau “Lithos” yang berarti “batu” dan kata “Kum” sebagai akhiran yang bermakna periode atau zaman.   Megalitikum secara umum dimaknai sebagai “Zaman Batu Besar”.

Pada zaman “batu besar” manusia sudah mulai mengenal teknologi pengolahan logam seperti tembaga dan perunggu. Namun masih tetap mempertahankan penggunaan batu-batu besar dalam mendukung sistem kepercayaan dan norma sosial lainnya (kematian dan pengakuan strata sosial).  Diperkirakan zaman megalitikum di Indonesia berada pada kisaran waktu 2.500 SM – 100 SM. 

Akhir masa prasejarah atau awal masa sejarah berbeda-beda disetiap wilayah kebudayaan, seperti bangsa Sumeria pendukung dari peradaban Mesopotamia, mengakhiri masa prasejarahnya setelah mengenal “aksara paku” atau “tulisan paku” (Cuneiform) yang dicetak pada lempengan tanah liat sebagai medianya (tablet).   

Aksara paku merupakan tulisan pertama di dunia yang dibuat oleh manusia sekitar tahun 3.200 SM – 3000 SM. Berkembang pesat di wilayah Mesopotamia hingga meredupnya pengaruh kekaisaran Babilonia pada tahun 2000 SM. 

Ingat kisah Nabi Ibrahim a.s dan raja Babilonia bernama Namrud? Nah peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 2150-2080 SM, dimana penggunaan aksara paku ini sudah meluas dan diadopsi hingga ke wilayah Mediteranian (Yunani Kuno) dan Mesir.

Di tenggang waktu yang sama, Indonesia masih berada pada fase prasejarah dari babak baru tradisi zaman batu besar (Megalitikum).

Akhir masa prasejarah di Indonesia, diperkirakan baru dimulai pada abad 1 – 5 M setelah diperkenalkannya tulisan Pallawa (aksara Jawa Kuno) yang diadopsi dari peradaban Industan melalui kisah yang kita kenal sebagai legenda Aji Saka (sekitar tahun 100 M), dan setelahnya dengan munculnya kerajaan-kerajaan tertua seperti Salakanegara (wangsakerta) di Jawa Barat (150 M) serta Kutai Martapura di Kalimantan Timur tahun 450 M.  Awal masa sejarah di Indonesia, umumnya dipengaruhi oleh peradaban Hindu-Budha.

Batu Bergores di Mutar Alam, 1919. (Digital Collection Univ. Leiden)

Bagaimana di Lampung Barat? Diperkirakan akhir masa prasejarah di Lampung Barat dimulai pada akhir abad ke-10, setelah ditemukannya prasasti Hujung Langit di umbul Bawang pekon Hanakau (Kecamatan Sukau). Prasasti ini bertuliskan aksara Jawa Kuno (Pallawa) dan berbahasa Melayu Kuno. 

Prasasti Hujung Langit bercorakan peradaban Hindu-Budha bertahun 919 saka atau 997 M, dan, berisikan 18 baris kalimat yang dipahat dipermukaan batu andesit. Pahatan tulisan tersebut memuat titah Raja Punku Yuwaraja Sri Haridewa (diperkirakan dari Kerajaan Sriwijaya) yang ditujukan kepada para “juru” (orang pandai) dan masyarakat di daerah yang bernama Hujung Langit

Prasasti ini berisikan tentang tanggal penetapan lokasi tanah sima bernama Hujung Langit sebagai tempat suci wihara, pembebasan pajak atas tanah sima, bunga pinang sebagai sesembahan untuk barang pusaka, kewajiban menjaga sima dan hutan sekitarnya, serta berisi sanksi berupa kutukan apabila larangan tersebut dilanggar. 

“Hal menarik bagi saya dari isi prasasti ini adalah disebut-sebutkannya tentang tanaman pinang (Areca catechu).  Ada apa ya dengan tanaman pinang ini? Sehingga begitu bernilai sakral pada masa itu dan apakah ada keterkaitan filosofi dengan tradisi Sekura Cakak Buah yang masih lestari hingga kini?” 

Penciri utama tradisi megalitikum berupa tinggalan susunan atau struktur bangunan berbahan dasar batu. Susunan batu-batu ini berfungsi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan kepada roh leluhur, pemakaman, dan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan pengaturan hidup secara kolektif (norma adat/hukum adat). 

Jika kita membayangkan bahwa masyarakat pengusung kebudayaan megalitikum seperti film animasi Mr. Flinstone, mungkin imajinasi kita perlu sedikit direvisi. Budaya dan penguasaan teknologi masyarakat megalitikum lebih maju dibandingkan era generasi zaman batu sebelumnya.

Masyarakat zaman Megalitikum sudah mengenal budidaya pertanian menetap (bercocok tanam), artinya pada zaman ini, masyarakatnya sudah memiliki kemampuan untuk memproduksi makanannya sendiri (Food Producing) dibandingkan generasi zaman batu sebelumnya yang hidup secara nomaden dan bertahan hidup dengan mengumpulkan makanan (Food Gathering).

Jenis tanaman budidaya yang dibawa pada zaman megalitikum di Indonesia terutamanya adalah jewawut (Setaria italica),  padi (Oryza sativa), enjelai atau jali (Coix lacryma), dan sorgum (Sorghum bicolor). Masyarakat megalitikum juga  sudah mengenal hewan ternak domestik, seperti kerbau, dan babi.

Permukiman dengan pola  pertanian menetap ini, menunjukan bahwa masyarakat megalitikum sudah memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang lebih maju. 

Beberapa pengetahuan yang berkembang pada masyarakat pra aksara zaman megalitikum antara lain pengetahuan astronomi dan iklim, kemampuan mengetahui tanah subur, teknologi pembangunan parit (irigasi), teknologi pengolahan makanan, pengobatan (tanaman obat), pembuatan pakaian, kerajinan tangan, mengenal seni, konstruksi bangunan tempat tinggal, sarana transportasi berupa sampan atau perahu, ketrampilan menjinakan hewan liar, penambangan dan pengolahan perunggu, memiliki bahasa pengantar (lingua franca) serta penerapan aturan-aturan atau norma yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa pada zaman megalitikum sudah mengenal pengangkatan pemimpin atau kepala suku. Pemilihan dilakukan dengan cara hukum rimba “siapa yang kuat dia yang berkuasa” (primus interpares). 

Situs Batu Tumpat (Padang Cahya), digunakan
untuk memanggil Roh Leluhur (JE, 2023)

Ciri terpenting dari tradisi megalitikum adalah adanya keyakinan animisme dan dinamisme, dengan  menggunakan monumen batu sebagai simbol religius dan media penghubung antara alam nyata dengan roh leluhur. 

"Animisme" berasal dari bahasa Latin yakni “anima” atau “animae” yang berarti jiwa atau roh. Penganut kepercayaan animisme meyakini bahwa semua objek di bumi dan langit memiliki jiwa atau roh yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia sehari-hari. 

Bahkan mereka percaya bahwa manusia yang mati, rohnya masih tetap ada dan menjelma atau berpindah menjadi entitas lain yang tinggal berdampingan dengan keturunannya yang masih hidup. Oleh karenanya bagi penganut kepercayaan ini, kematian seseorang menjadi sesuatu yang sakral.

Istilah “dinamisme” berasal dari bahasa latin “dunamos” yang berarti “kekuatan”. Penganut dinamisme meyakini bahwa benda-benda disekitarnya, memiliki kekuatan gaib atau supranatural yang dapat membantunya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. 

“Untuk memahami tinggalan tradisi megalitikum, ternyata tidak cukup hanya mempelajari fenotipanya saja, namun perlu memahami pula bagaimana tradisi ini membentuk suatu ekosistem kebudayaan”.

Ada 4 (empat) teori yang menjelaskan, darimana nenek moyang bangsa Indonesia berasal, yaitu: Teori Yunan yang didasari adanya kesamaan temuan arkeologis. Teori Nusantara yang didasari dari  temuan fosil manusia purba jawa. Teori Out of Taiwan yang didasari oleh adanya kemiripan tutur atau rumpun bahasa, dan  Teori Out Of Africa yang didasari keterkaitan secara genetika.

Namun dari ke-empat teori migrasi tersebut yang banyak dirujuk adalah apa yang dikemukakan oleh Von Heine Geldern (1945).  Menurutnya tradisi megalitikum yang tumbuh dan berkembang di Indonesia berasal dari kebudayaan bangsa Austronesia yang berada di Tiongkok Selatan. 

Von Heine Geldern pendukung Teori Yunan. Pendapatnya didasari dari hasil temuan arkeologis berupa kapak batu persegi dan kapak batu lonjong yang sama dengan tinggalan bangsa Austronesia di Tiongkok (China) Selatan.  

Migrasi masyarakat pengusung tradisi megalitikum di Indonesia menurut Von Heine Geldern, terbagi kedalam dua golongan, yaitu golongan Megalitikum Tua (older megalithic) dan Megalitikum Muda (younger megalithic).  

Megalitikum Tua, terjadi pada periode akhir zaman Neolitikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung kebudayaan kapak batu persegi (Proto Melayu). Ciri peninggalan tradisi Megalitikum Tua antara lain monumen batu dengan bentuk-bentuk yang statis. 

Monumen batu yang dipergunakan dipilih langsung dari alam dan belum ada sentuhan seni dan cipta rasa manusia. Tinggalan megalitikum tua antara lain monolit, dolmen, undak batu, limas berundak, pelinggih, patung simbolik, tembok batu, dan jalan batu. Contoh Tradisi Megalitikum Tua adalah punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat.

Tradisi Megalitikum Muda masuk dan menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000 SM - 100 M) dibawa oleh pendukung kebudayaan Dongson (Deutro Melayu) yang berasal dari lembah Song Hong, Vietnam Utara. Umumnya monumen batu yang dibuat tidak hanya menyajikan makna religius namun juga bernilai estetika.    

Ragam tinggalan megalitikum muda antara lain menhir, batu bergores, dolmen, batu lumpang, kubur batu, punden berundak, waruga, sarkofagus, perkakas terbuat dari logam perunggu, phallus (arca menyerupai alat kelamin pria) dan arca-arca dinamis (Von Heine Geldern menyebutkannya sebagai "strongly dynamic agitated").  Contoh tinggalan tradisi megalitikum muda adalah situs megalitikum Pasemah (Basemah) di Sumatera Selatan.

Diperkirakan tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat, berasal dari dataran tinggi Basemah (situs Pasemah). Artinya bahwa tinggalan megalitikum di Lampung Barat termasuk golongan megalitikum muda (younger megalithic) dan sama artinya bahwa leluhur etnis Lampung Barat diduga berasal dari bangsa Austronesia sub bangsa Deutro Melayu yang bermigrasi dari lembah Song Hong, Vietnam Utara.  

Salah satu garis hubung kesamaan antara situs megalitikum Pasemah dengan situs megalitikum di Lampung Barat, khususnya yang berada di dataran subur danau Ranau, adalah kesamaan tutur legenda rakyat (folklore) “si Pahit Lidah dan si Mata Empat” (Van der Hoop,- Megalitics Remains of Sumatera- 1932)

Sebaran tinggalan megalitikum di danau Ranau, berada di sisi utara hingga barat daya sempadan danau, membentuk pola bulan Sabit mulai dari Padang Ratu, Jepara, Surabaya, Subik, Kota Batu, Pagar Dewa (Kabupaten OKU Selatan), Lumbok, Sukabanjar dan Tawan Sukamulya (Kabupaten Lampung Barat).

Phallus (?) dan Figurine Buay Nyerupa (Badan Arkeologi Bandung, 2018)

Sebagian besar tinggalan megalitikum di Lampung Barat memiliki corak statis dan sedikit yang bercorak dinamis. Apakah karena adanya pencampuran budaya atau persaingan ruang hidup antara masyarakat pengusung megalitikum muda dengan masyarakat pengusung tradisi megalitikum tua?, ataukah karena keterbatasan bahan baku batu, dimana sebagian besar adalah batuan tuff yang kasar dan gampang hancur? Nampaknya perlu dikaji lebih lanjut.

Keunikan lainnya terletak pada tinggalan monumen batu, yang hanya dikhususkan untuk tujuan penghormatan kepada roh leluhur. Monumen batu tidak digunakan sebagai tempat penguburan mayat yang menjadi ciri umum tinggalan tradisi megalitikum muda. 

Keberadaan sungai-sungai besar yang ada, tidak hanya menyediakan lahan-lahan subur untuk bermukim dan bercocok tanam, namun berfungsi pula sebagai jalur migrasi penduduk kuno dalam membentuk dan mengembangkan kelompok sosialnya yang baru.

Paling tidak terdapat 4 (empat) zona tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat, yaitu:

(1) Zona danau Ranau

Sebaran situs megalitikum pada zona ini berada pada daerah tinggi sepanjang sempadan danau Ranau di Kecamatan Lumbok Seminung, mulai dari Tanjung Cumalagi pekon Lumbok hingga Tawan Sukamulya.  

Ragam tinggalan Megalitikum di zona ini antara lain: 

Situs punden berundak Batu Andak Way Kenihang (Tawan Sukamulya). Monolit dan batu datar Situs makam Sipahit Lidah dan si Mata Empat (Sukabanjar).  Situs Lumpang Batu (Sukabanjar). Batu datar dan parit Situs Johor (Lumbok). Punden berundak Situs Way Lumbok (Lumbok). Batu datar Situs Pesiwoan (Lumbok).  Punden berundak Situs Ujung Cumalagi (Lumbok). Batu bergambar (batu bertulis) dan Tumulus  situs Keramat Batin Katung (Sukamaju)

(2) Zona Dataran Tinggi Liwa (Liwa Plateau)

Sebaran situs megalitikum di zona ini, umumnya berada di wilayah sungai Way Warkuk dan Way Robok, hingga lembah Batu Brak. Meliputi Kecamatan Sukau, Balik Bukit dan Batu Brak.  

Situs megalitikum yang berada di Zona ini antara lain: 

Arca figurine Tanjung Raya (Sukau), figurine Buay Nyerupa (Sukau), Batu Monolit Tapak Siring (Sukau), Batu Bergores dan Dolmen Situs Cakar Macan Padang Cahya (Balik Bukit), Situs Batu Tumpat Padang Cahya (Balik Bukit), Umpak Batu dan Figurine situs Sukarami (Balik Bukit), Batu Bergores Canggu (Batu Brak), Batu Bergores Pekon Balak (Batu Brak), Menhir dan Dolmen situs Batu Kenyangan (Batu Brak).

Ragam batu umpak, kearifan lokal bangunan tahan gempa (Rusyanti, 2018)

(3) Zona Pesagi – Way Semaka  

Situs megalitikum pada zona ini tersebar dari hulu sungai Way Semaka (gunung Pesagi) hingga ke dataran rendah Suoh, meliputi Kecamatan Belalau, Batu Ketulis, Bandar Negeri Suoh (BNS) dan Suoh.  

Situs megalitikum yang terdata di wilayah ini antara lain: 

Batu bercabang situs batu Kepappang (Belalau), Tumulus Lamban Batin Hujung (Belalau), Umpak batu Kampung Tuha Hujung (Belalau), Batu tapak gajah Argomulyo (Batu Ketulis), Monolit batu Kebayan (Batu Ketulis), Relief (ukiran) batu Buaya Antatai (BNS), Menhir, batu datar, dolmen, figurine dan batu bergores di Situs Batu Sembilan Rowo Rejo (Suoh).

(4) Zona Dataran rendah Gedung Surian  

Situs megalitikum tersebar  di sekitar wilayah sungai Way Campang dan Way Besai, meliputi kecamatan Way Tenong, Air Hitam, Gedung Surian dan Kebun Tebu. 

Tinggalan megalitikum yang ditemukan di zona ini antara lain: 

Punden Berundak, Menhir dan Dolmen Situs Sukananti (Way Tenong). Batu bergores dan parit Mutar Alam (Way Tenong).   Situs Batu Berak Purawiwitan (Kebun Tebu), Batu Jagur Purajaya (Kebun Tebu), Batu Tameng (Kebun Tebu), Menhir dan dolmen Telaga Mukmin (Gedung Surian), Menhir dan Dolmen Situs Bungin (Gedung Surian), batu bergores Gentong ki Haji (Air Hitam).

Situs-situs tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat begitu melimpahnya.  Apa yang disajikan di atas, terkadang hanya tersisa namanya saja.  Banyak monumen-monumen batu yang berubah fungsi menjadi material bangunan, gedung pemerintah, pemukiman, dan bahkan diratakan sehingga tak tampak lagi bahwa disitu pernah ada tinggalan prasejarah penting.  

Desakan ekonomi ditambah ketidaktahuan membuat tinggalan-tinggalan tradisi megalitikum semakin cepat hilang. Melenyapkan bukti-bukti historis bahwa di wilayah ini pernah dihuni oleh masyarakat masa lampau yang cerdas dan tangguh. 

“Begitu banyaknya sebaran tradisi megalitikum sebagai suatu ekosistem kebudayaan terpajang di depan mata, namun nampak seperti “barang usang” yang dipandang tak ada harganya sama sekali. Sayang rasanya informasi tentang rekaman kearifan masa lalu yang harusnya dapat diputar kembali untuk membuktikan nilai-nilai luhur budaya bagi generasi kini, terancam punah tanpa menyisakan satupun kebanggaan untuk  jati diri”.

Semoga Geopark Suoh yang tengah digadang-gadang oleh Pemerintah Daerah Lampung Barat, mampu menyelamatkan aset penting kekayaan Cultural Diversity bumi ini, agar identitas dan jati diri tetap berjunjung kokoh layaknya gunung Pesagi.  Tabik Pun.

Salam Literasi dan Lestari

Referensi:

  • Rusyanti, dkk. 2021. Stay or Leave ? Dinamika Landskap Arkeologi di Sesar Semangko Provinsi Lampung. Karya Terpilih Program Akuisisi Pengetahuan Lokal. LIPI Press.
  • Prasetyo, Bagyo. 2015. Megalitik, Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Galang Press. Yogyakarta
  • Laili, Nurul. 2012. Penghunian, Pemanfaatan, dan Interaksi Pendukung Situs-situs di Kawasan Danau Ranau Lampung Barat. Jurnal Purbawidya Vol.1\No.1\Tahun 2012. Halaman 21-40
  • Sukendar, Haris. 1998. Album Tradisi Megalitik  di Indonesia. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Silaban, M. 1997. Sejarah Daerah Lampung. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilal-Nilai Budaya Lampung. Departemen P & K, Kanwil Propinsi Lampung. 


2 komentar:

  1. --Lampung Barat kaya akan sejarah-- tulisan yang indah, semoga warisan leluhur ditanah beguwai jejama bisa lebih dicintai dan dijaga oleh kita semua.

    BalasHapus
  2. salah satu pesona yg ada di Lampung Barat

    BalasHapus

Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer