Rabu, 22 Februari 2023

11 Puisi berlatar alam yang penuh dengan makna hidup dan nilai-nilai moral


Tuhan menciptakan bumi dan langit dengan berbagai unsur biotik dan abiotik didalamnya.  Interaksi kedua unsur ini, menyajikan fenomena alam yang tidak hanya indah, tapi juga memberikan pelajaran penting bagi manusia untuk memahami makna hidup yang sesungguhnya.  Karenanya, Alam selalu menjadi sumber inspirasi bagi para penyair untuk menggambarkan ungkapan rasa (etik),  baik ekspresi emosional, rasa syukur, romantisme,  hingga nasihat dan kritik tajam, melalui untaian sastra.   Salah satu ragam sastra adalah puisi. 

Berikut karya Puisi dari beberapa Tokoh Pujangga tanah air, yang menjadikan  keindahan unsur-unsur alam sebagai ungkapan makna hidup dan nilai moral yang mendalam.  

SAJAK MATAHARI
Karya: W.S. Rendra (1976)


Matahari bangkit dari sanubariku.
Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin !
Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !


SAJAK TAFSIR
Karya: Sapardi Djoko Damono


Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api
yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.


PANTUN TERANG BULAN DI MIDWEST
Karya : Taufiq Ismail


Sebuah bulan sempurna
Bersinar agak merah
Lingkarannya di sana
Awan menggaris bawah
Sungai Mississippi
Lebar dan keruh
Bunyi-bunyi sepi
Amat gemuruh
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa dukana
Serangga mendengung
Sampaikah suara
Cuaca musim gugur
Bukit membisu
Asap yang hancur
Biru abu-abu
Danau yang di sana
Seribu burung belibis
Lereng pohon pina
Angin pun gerimis


PANCURAN 7 ABADI 
Karya: Dede Aditnya Saputra 


Desir angin sepoi menghembus perlahan 
Bersama nyanyian burung di pucuk dahan
Airmu menari-nari dalam nestapa 
Mencairkan luka oleh karena cinta
Tercium bau yang harum menawan 
Bau harum airmu memecahkan qalbu buana
Tahukah kau akan qalbu buana itu? 
Yaitu qalbu yang dirundung duka dan nestapa
Oh… nirwana puncak Gunung Slamet 
Kaulah tempat kami mengingat sang Kuasa
Melepaskan jiwa yang bermuram durja 
Dan merenungkan masa jaya
Selain air terjun mu yang menawan 
Terdapat mata air panas yang bersahaja
Membuat kita bersatu dengan malam 
Apalagi malam Jumat orang Jawa
Teruslah abadi kau Pancuran ketujuh 
Bersama keenam Pancuran di bawah sana
Pancarkan sinar keemasan dalam airmu! 
Untuk melupakan rasa sendu yang menggebu


HUTAN KARET 
Karya: Joko Pinurbo 


Daun-daun karet berserakan 
Berserakan di hamparan waktu 
Suara monyet di dahan-dahan 
Suara kalong menghalau petang 
Di pucuk-pucuk ilalang belalang berloncatan 
Berloncatan di semak-semak rindu 
Dan sebuah jalan melingkar-lingkar 
Membelit kenangan terjal 
Sesaat sebelum surya berlalu 
Masih kudengar suara bedug bertalu-talu


LERENG MERAPI 
Karya: Sitor Situmorang


Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini
Aku akan rindu balik pada semua ini
Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap
Pada cerita cemara berdesir
Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi
Pencipta candi Prambanan
Mengalun kemari dari dataran
Dan sekarang aku mengerti
Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia sendiri
Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu


TANAH AIR MATA 
Karya: Sutardji Calzoum Bachri (2002)


Tanah airmata tanah tumpah darahku
Mata air airmata kami 
Air mata tanah air kami 
Di sinilah kami berdiri 
Menyanyikan airmata kami 
Dibalik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami 
Dibalik etalase megah gedung-gedungmu 
Kami coba sembunyikan derita kami 
Kami coba simpan nestapa 
Kami coba kuburkan duka lara 
Tapi perih tak bisa sembunyi 
Ia merebak kemana-mana 
Bumi memang tak sebatas pandang 
Dan udara luas menunggu 
Namun kalian takkan bisa menyingkir 
Kemana pun melangkah 
Kalian pijak air mata kami 
Kemana pun terbang 
Kalian hinggap di air mata kami 
Kemana pun berlayar 
Kalian arungi air mata kami 
Kalian sudah terkepung 
Takkan bisa mengelak 
Takkan bisa kemana pergi 
Menyerahlah pada kedalaman air mata kami 


DERAI-DERAI CEMARA 
Karya: Chairil Anwar  (1949)


Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


BERDIRI AKU
Karya: Amir Hamzah (1941)


Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
dimabuk wama berarak-arak.
Dalam rupa maha sempuma
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.


DI BERANDA INI ANGIN TAK KEDENGARAN LAGI
Karya: Goenawan Muhammad (1966)


Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada


TANAH
Karya: Widji Thukul (1989)


Tanah mestinya di bagi-bagi
jika cuma segelintir orang
yang menguasai
Bagaimana hari esok kamu tani?
tanah mestinya ditanami
sebab hidup tidak hanya hari ini
Jika sawah diratakan
rimbun semak pohon dirubuhkan
apa yang kita harap
dari cerobong asap besi?
Hari ini aku mimpi buruk lagi
Seekor burung kecil menanti induknya
di dalam sarangnya yang gemeretak
dimakan sapi


Nah diantara Penyair di atas ini, manakah yang menjadi idola Sahabat?  

Puisi dengan berlatar alam seolah mengingatkan diri sendiri, supaya sadar posisi siapa yang sesungguhnya berhak untuk ditakuti. 


KABUPATEN KONSERVASI

Ditengah ...
panasnya Seminung,
dinginnya Pesagi, dan
gemuruhnya Sepapah,
Tegarlah engkau
Wahai Amorphophallus !

Kala ...
Sang Rigis, tak lagi mau peduli,
Tinggalkan Elephas tertunduk pilu,
Sisakan kabut, tutupi empati
Kukuhkan langkah, pupuskan ragu

Ingatlah ...
Kami bukanlah hari ini,
kami adalah masa depan,
kalian tak lagi mampu
menggapai embun di Taman Pelangi

Disanalah ... 
Nagari tersadar
arti  kami untukmu
Wahai tunas-tunas
Sekala Bghak !


Liwa, 22 Pebruari 2023
(Erick Erwinanta)


Tetap produktif ya Sobat ... Salam lestari

 

Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer