Zonasi Gempa Indonesia, Sumber: Kemen PUPR (2017) |
Memang getaran gempa secara langsung bagi manusia hanya menimbulkan rasa kaget dan panik, namun yang wajib diwaspadai adalah dampak tidak langsungnya dari terpaan gelombang seismik yang menyebabkan kerusakan pada struktur bangunan dan tanah yang dilaluinya. Getaran gempa dapat merusak konstruksi bangunan, seperti retakan pada dinding, mematahkan pondasi dan tiang bangunan, hingga merubuhkan bangunan termasuk perabotan didalamnya, begitu juga terhadap tanah seperti rekahan, tanah amblas, gerakan tanah longsor hingga “likuifaksi”, bahkan gempabumi yang terjadi di lepas pantai, dapat mendatangkan gelombang tinggi air laut yang disebut “tsunami”. Kebanyakan korban gempa yang terluka hingga meninggal dunia adalah akibat panik, tertimpa reruntuhan material bangunan, tertimbun tanah longsor atau tersapu tsunami.
Gempabumi merupakan fenomena alam yang senantiasa terjadi dan tidak dapat terhindari, khususnya bagi daerah-daerah yang dilalui oleh jalur patahan atau sesar tektonik. Menurut Jejak Erwinanta ada 3 komponen penting yang perlu diperhatikan dalam membangun dan mengembangkan lingkungan yang adaptif dan responsif terhadap bencana gempabumi atau dikenal dengan istilah mitigasi dan sistem peringatan dini (early warning system), komponen penting tersebut yaitu: manusia, ketahanan bangunan, dan kondisi tapak lokal.
1. Komponen Manusia
Manusia bukan hanya individu, tapi juga mencakup keluarga, hingga rukun tetangga. Penekanan pada manusia adalah menyangkut pengetahuan dan respon emosi terhadap gempa. Jika terjadi gempa biasanya ada dua jeda waktu yang mempengaruhi sikap dan tindakan seseorang yaitu sikap tertegun / mengabaikan sejenak dan jika gempa mulai terasa kencang, muncul sikap panik yang diiringi dengan gerakan lari menghindar menyelamatkan diri secara sepontan. Nah justru dengan sikap tersebut peluang jatuhnya korban akan semakin besar. Panik yang sering terjadi pada saat kejadian gempa, misalnya tanpa sadar meloncat keluar jendela dari lantai dua, tiba-tiba merasa linglung dan bingung, meraih sesuatu yang membahayakan, berlindung ke tempat yang justru berbahaya dan lain sebagainya.
Guna meningkatkan daya adaptif dan responsif terhadap gempa, tidak cukup hanya membekali diri dengan pengetahuan saja, akan tetapi juga dibarengi dengan latihan atau simulasi. Mulailah dari dalam lingkungan keluarga, misalnya mengajak anggota keluarga simulasi mandiri di rumah jika terjadi gempa, membuat titik kumpul sebagai titik evakuasi yang diinformasikan kepada seluruh anggota keluarga, membiasakan untuk merapihkan barang atau perkakas setelah selesai digunakan, menjalin hubungan baik dengan tetangga, membangun kesepakatan dengan warga terkait titik kumpul dan pengamanan jalur evakuasi, mendorong sekolah-sekolah untuk memasukan kebencanaan gempabumi sebagai materi muatan lokal pelajaran, dan lain sebagainya.
Lantas apa saja tindakan yang dilakukan pada saat gempa terjadi? Silahkan ikuti keterangannya pada gambar di bawah ini ya Sob.
Tindakan penyelamatan dini saat gempabumi, sumber PMI (2019) |
Hal penting dalam membangun sumberdaya manusia yang adaptif dan responsif terhadap gempabumi adalah kepatuhan dan penguasaan teknologi dari sistem mitigasi bencana yang telah ditetapkan dan diterapkan. Sistem mitigasi menyangkut pula manajemen bencana yang ditunjukan dari kinerja dari masing-masing komponen atau unsur didalamnya. Ketidakpatuhan dan ketidakkonsistenan terhadap sistem mitigasi menyebabkan kepincangan bahkan mengalami kegagalan (failure).
2. Komponen Bangunan
Ada 3 hal utama yang harus diperhatikan dalam membangun bangunan komersil maupun hunian tahan gempa, yaitu kekuatan pondasi, beton, dan beton bertulang. Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menerbitkan standardisasi bangunan tahan gempa yaitu: SNI 1726:2019 tentang Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung sebagai revisi dari SNI. 1726:2012 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung, dan SNI 2847:2019 Persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung dan penjelasan sebagai revisi dari SNI 2847:2013 Persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung.
Menurut Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (2006), taraf keamanan minimum untuk bangunan gedung dan rumah tinggal katagori tahan gempa, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Bila terkena gempa bumi yang lemah, bangunan tidak mengalami kerusakan sama sekali
- Bila terkena gempa bumi sedang, bangunan boleh rusak pada elemen-elemen non struktural, tapi tidak boleh rusak pada elemen struktur.
- Bila terkena gempa bumi yang sangat kuat, bangunan tersebut tidak boleh runtuh baik sebagian atau seluruhnya, bangunan tersebut tidak boleh mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, bangunan tersebut boleh mengalami kerusakan tetapi kerusakan tersebut harus dapat diperbaiki dengan cepat sehingga dapat berfungsi kembali.
Memang tidak ada bangunan yang menjamin 100% tahan terhadap gempa, akan tetapi bukan berarti tidak ada yang dapat diperbuat guna memperkuat daya tahan terhadap kerusakan akibat guncangan atau getaran agar tersedia cukup waktu bagi seseorang guna mencari posisi aman menyelamatkan diri secara dini.
Desain sederhana rumah tahan gempa (sumber: student-activity.binus.ac.id) |
Tentunya membangun tempat tinggal atau rumah tahan gempa memerlukan konsekuensi pembiayaan yang tidak sedikit, dan adakalanya kita mendapatkan rumah hunian yang sudah terbangun. Lantas bagaimana kita mensikapi ini?
Ada saran yang tepat untuk mengatasinya, seperti yang disampaikan oleh Dr. Eko Yulianto, Kapuslit Geoteknologi LIPI (2019) yaitu dengan menyiapkan “Ruang Aman Gempa” di dalam rumah kita sendiri. “Ruang Aman Gempa” adalah ruangan dalam bagian rumah yang dibangun atau direkayasa sedemikian rupa agar aman terhadap guncangan gempa, berfungsi sebagai tempat perlindungan sementara atau evakuasi dini tanpa mengurangi fungsi utama ruangan.
“Ruang aman gempa” dapat berupa kamar tidur, ruang keluarga, ruang tamu, atau ruangan lain di rumah kita yang mudah diakses dan cukup menampung seluruh anggota keluarga. Ruang aman gempa disamping kontruksi bangunannya yang mampu menahan beban guncangan, juga dilengkapi dengan interior, perabotan atau furniture seperti meja, mebel, atau kursi yang tidak gampang roboh dan hancur serta mencederai saat kejadian gempa berlangsung, sehingga kita dapat berlindung dibagian bawahnya dengan aman.
Metode efektif keselamatan yang dapat diterapkan pada ruang aman gempa adalah “Triangle of Life” yang dikenal dengan nama “segitiga kehidupan”. Secara sederhana, saat bangunan runtuh, dan menimpa benda atau furniture, selama tidak menghancurkannya atau sedikit, akan membentuk celah atau ruang kosong di sebelahnya. Ruangan kosong ini lah yang disebut “segitiga kehidupan”.
Pencetus teori “segitiga kehidupan” bernama Doug Copp, Kepala Penyelamat dan Manajer Bencana dari America Rescue Team International (ARTI), pada tahun 2000. Terlepas dari kontroversial akan kehidupannya, namun teorinya tentang segitiga kehidupan, menjadi bahan pelajaran dan simulasi kebencanaan gempa hingga sekarang.
Ilustrasi terkait "segitiga kehidupan" sumber: emergency-live.com |
Belajar dari Jepang yang negaranya juga beresiko tinggi terhadap gempabumi dan tsunami, namun ternyata masyarakatnya tetap nyaman hidup berdampingan dengan ancaman bencana gempabumi yang sewaktu-waktu datang, ternyata rahasianya terletak pada konsistensi dan kepatuhan terhadap sistem mitigasi yang diterapkan, seperti penerapan aturan khusus bangunan tahan gempa, pendidikan gempa sejak usia dini, mewajibkan setiap warga memiliki survival kit yang diawasi secara berkala, melengkapi sistem transportasi massal dengan perangkat sensor gempa, dan aplikasi alarm gempa di smartphone sebagai sistem peringatan dini gempa dan tsunami dengan jeda waktu 5-10 detik sebelum kejadian.
edukasi kegempaan sejak dini di Jepang, sumber: journal.sociolla.com (2018) |
Menyadur dari situs hipwee.com, ada 11 cara masyarakat Jepang membangun rumah tahan gempa dan ruang aman gempanya, yang dapat menginspirasi dan diadopsi, apa saja caranya? silahkan disimak ya!
- Banyak rumah di Jepang yang berukuran kecil dengan pola ruang simetris. Selain untuk menghemat lahan, rumah mungil ini dipilih untuk mengurangi risiko kerusakan saat terjadi gempa.
- Bahan kayu sering dipilih untuk membangun rumah karena lebih ringan. Jadi seandainya roboh akibat gempa, tidak akan terlalu memberatkan seperti tembok dari batu bata
- Untuk meredam gempa, konstruksi rumah Jepang mengandalkan sambungan antar bagian bangunan yang fleksibel. Jadi getaran gempa bisa diserap dan berkurang kekuatannya. Prinsip kerjanya seperti menyentuh agar-agar, dimana jika terjadi gempa, getaran terdistribusi secara merata.
- Denah ruangan di dalam rumah dibuat sederhana. Jika terjadi gempa, dapat menyelamatkan diri dengan cepat.
- Orang-orang tidur di atas futon alias kasur lipat agar tubuhnya lebih peka pada guncangan gempa. Kasur ini juga tidak menghalangi evakuasi.
- Meja berkaki rendah sering ditemukan di rumah Jepang. Kursinya juga diganti dengan bantal dudukan. Jadi kemungkinan untuk menabrak atau tersandung perabotan lebih kecil
- Rumah Jepang mempunyai shoji atau panel dari rangka kayu yang berlapis kertas. Biasanya dijadikan pintu geser atau dipasang permanen sebagai pembatas ruangan
- Rak buku dirancang secara khusus. Bentuknya sengaja dibuat miring agar tidak gampang roboh saat gempa
- Rumah Jepang terkenal minimalis dan tidak banyak terisi perabot. Selain bikin ruangan terkesan lebih luas, juga bisa memudahkan evakuasi saat gempa
- Gas, listrik, dan saluran air akan mati secara otomatis saat terjadi gempa. Jadi bisa mencegah kebakaran, banjir, dan ledakan
- Selain rumah biasa, Jepang mempunyai "dome house" yang dirancang khusus untuk menghadapi gempa. Rumah berdesain unik ini terbuat dari styrofoam untuk menahan getaran
Dome House berbahan styrofoam di Jepang, sumber: idea.grid.id (2019) |
Jepang merupakan negara yang adaptif dan responsif terhadap bencana gempabumi dan tsunami, negara ini mampu mengembangkan kearifan lokalnya menjadi teknologi penanganan gempabumi yang maju dan modern. Semoga kita dapat mengadopsinya ya Sob, karena ternyata untuk membangun “ruang aman gempa” dapat dilakukan secara sederhana, tidak perlu biaya yang mahal.
Baca Juga: | Belajar dari Gempa Liwa 1994 |
3. Komponen Tapak Lokal
Menurut Badan Geologi (2018), penyebab tingginya kerusakan akibat gempa dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu:
- Parameter gempa bumi: yang meliputi besaran dan kekuatannya, semakin besar magnitudo maka semakin tinggi potensi kerusakan
- Jarak pusat gempa bumi: semakin dekat jarak sumber gempa bumi maka intensitas guncangan akan semakin kuat dan potensi kerusakan akan semakin tinggi.
- Sifat fisis batuan permukaan: jika semakin lunak, lepas dan tebal tanah permukaan maka semakin tinggi amplifikasi guncangan gempa bumi dan semakin berpotensi mengalami kerusakan
- Kualitas bangunan: tentunya mempengaruhi ketahanan bangunan tersebut terhadap guncangan gempabumi.
Faktor diatas menyatakan bahwa gelombang seismik memiliki amplifikasi yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi lapisan batuan atau tapak yang dilalui. Amplifikasi atau penguatan gelombang gempa merupakan perbesaran gelombang seismik yang terjadi akibat adanya perbedaan yang signifikan antar lapisan, dengan kata lain gelombang seismik akan mengalami perbesaran, jika merambat pada suatu medium ke medium lain yang lebih lunak dibandingkan dengan medium awal yang dilaluinya.
Perhitungan amplifikasi akan menentukan besaran Indek Kerentanan Seismik. Indeks kerentanan seismik merupakan suatu parameter yang sangat berhubungan dengan tingkat kerawanan suatu wilayah dari ancaman resiko gempabumi. Indeks kerentanan seismik dan besar kerusakan akibat gempabumi menunjukkan hubungan yang linear. Jika suatu daerah memiliki indeks kerentanan seismik yang besar maka tingkat resiko gempabuminya juga akan tinggi. Dalam penentuan nilai indeks kerentanan seismik suatu daerah, faktor-faktor kondisi geologi (litologi) daerah setempat sangat perlu dipertimbangkan. Indek kerentanan seismik dan nilai PGA dapat dipetakan yang biasanya disebut sebagai mikrozonasi gempabumi.
Mikrozonasi gempa adalah salah satu teknik untuk membagi suatu zona gempa yang besar menjadi zona-zona kecil dengan kriteria masing-masing zona akan berbeda tergantung tujuan zonasi itu sendiri. Salah satu yang dimuat dalam peta mikrozonasi adalah potret kondisi tanah bergerak dan jenis tanah di permukaan. Dengan demikian diketahui daerah mana yang dianggap zona merah atau daerah patahan.
Peta mikrozonasi berguna untuk melihat secara riil potensi kerusakan akibat gempa yang ada di permukaan tanah, sehingga penting sebagai bahan persiapan perencanaan bangunan tahan gempa dan perencanaan landscape tapak terkait mitigasi bencana gempa, seperti titik dan jalur evakuasi, ruang terbuka hijau, serta pertimbangan dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang di lokasi sesar, lokasi rawan tsunami, lokasi kelongsoran, serta memberikan perkuatan tanah terhadap likuifaksi.
Likuifaksi adalah kejadian dimana terdapat pergerakan tanah akibat sifat tanah yang berubah menjadi likuid (pencairan). Likuifaksi terjadi di daerah dengan jenis tanah berpasir, jenuh, dan tidak padat, sehingga apabila terjadi pergerakan didalam tanah, sifat tanah dapat berubah seperti likuid. Fenomena likuifaksi menjadi populer pada saat peristiwa gempabumi Palu pada 28 September 2018 silam.
Untuk menyusun peta mikrozonasi diperlukan kajian yang komprehensif dengan melibatkan para ahli yang kompeten, melalui kerjasama dengan Instansi Pemerintah Daerah. Semoga saja di daerah tempat tinggal Sobat sudah ada peta mikrozonasi gempanya ya.
Contoh Peta Kerawanan Seismik (sumber: Robiana dan Cipta, 2021) |
Lantas bagaimana cara kita masyarakat awam untuk mengetahui kondisi tapak yang relatif aman untuk dibangun tempat tinggal? Secara visual sebenarnya, sudah dapat kita tentukan tapak tersebut layak atau tidak sebagai bangunan untuk tempat tinggal atau berusaha, seperti:
- Apakah tapak bersebelahan dengan jurang dengan jarak yang dekat?
- Apakah tapak berada dengan tingkat kelerengan yang terjal?
- Apakah tapak berada di depan atau di belakang tebing?
- Apakah tapak didominasi oleh lapisan tanah yang banyak mengandung pasir dan tanah liat?
- Apakah sebelumnya ada riwayat pernah mengalami kejadian longsor, likuifaksi, atau tsunami pada saat gempa terjadi?
Semoga apa yang Jejak Erwinanta sampaikan bisa menambah wawasan dan juga menginspirasi ya, karena besar dan kecilnya resiko akibat bencana gempabumi ditentukan dengan seberapa besar kemampuan kita beradaptasi terhadap bencana tersebut. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi kita dan keluarga kita dari bencana, dan menguatkan kita manakala bencana tersebut datang menerpa.
Salam lestari dan tetap produktif ya.
Referensi:
11 Detail Rumah Jepang yang Dibangun untuk Menghadapi Gempa. Aman dan Tetap Estetik! (link: https://www.hipwee.com/feature/rumah-jepang-tahan-gempa/)
Robiana, R & A. Cipta. 2021. Potensi Bahaya Gempa Bumi Berdasarkan Kondisi Tapak Lokal di Daerah Amlapura, Karangasem, Bali. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi. Vol. 12 No. 3, Desember 2021: 159 – 169. (link: http://jlbg.geologi.esdm.go.id/index.php/jlbg)
Tips Interior Rumah Tahan Gempa ala Negara Jepang (link: https://www.student-activity.binus.ac.id/himdi/2022/04/01/tips-interior-rumah-tahan-gempa-ala-negara-jepang)
Mantap , lengkap isi blog nya, semoga indonesia aman aman saja ,dijauhkan dari bencana yg memakan banyak korban jiwa, aamiin
BalasHapusTerimakasih... aamiiin ya robbal 'alamin
Hapus