Selasa, 02 Januari 2024

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapangan Pemkab Lampung Barat, membangkitkan rasa bangga dan juga mengharukan."
"Bangga karena hari ini awal masuk kerja di tahun yang baru, dan Saya masih bisa berdiri dengan gagah di barisan. Mengharukan, karena tidak semua dapat merasakan udara pagi nan segar di tahun 2024, beberapa teman bahkan hanya sisakan nama seiring berlalunya tahun 2023"

Pembina upacara di pagi yang sejuk ini, dipimpin langsung oleh Pj Bupati. Evaluasi, netralitas, disiplin, etos kerja, dan harapan menjadi isi dari amanatnya. 20 menit amanat itu disampaikan dengan runut. Namun hanya satu kesimpulan yang bisa saya rumuskan, bahwa tahun ini pekerjaan akan semakin sulit dan berat. Selalu saja ada tantangan agar tahun 2024 dapat dijalankan dengan penuh semangat dan juga perhitungan.

Bekerja sebagai ASN adalah pengabdian, karenanya kami diharamkan untuk hidup kaya dan bergelimang harta, karena akan mencederai kepercayaan rakyat. Kami juga selaku abdi masyarakat haruslah netral dari kepentingan politik. 

Ironinya mereka yang secara konsekuen menjalankannya, faktanya justru karirnya tidak menjadi lebih baik. Istilah berani “pasang badan”, lebih mendapat tempat yang bergengsi dan terhormat.

Inilah dinamika kehidupan yang unpredictable. Bagi saya, mempertahankan keharmonisan keluarga itulah yang utama. Kini kamipun harus dapat menerima keadaan, dimana, anak-anak mulai berjuang menentukan jalan hidupnya masing-masing. 

Semoga sungai ini masih tetap berair jernih, saat kalian mandiri kelak

Hidup tinggalah berdua menghitung hari di Liwa dengan penuh harap disetiap simpulnya. Harapan untuk tetap kuat bekerja dan beribadah, membiayai anak-anak sekolah, dan menghantarkan mereka memulai catatan baru meneruskan nama baik keluarga. 

Menimang cucu adalah bonus, namun yang terpenting masih tersisa ruang buat kami berkontribusi untuk kemajuan negeri yang sudah 25 tahun kami loyal kepadanya. Bukan untuk merusak citra dan mencuri darinya, yang selalu menjadi stigma terhadap kami yang berseragam ASN.

"Semoga Tuhan Yang Maha Esa, memberikan kami pilihan yang terbaik dari dua keadaan yang baik, bukan pilihan terbaik dari keadaan yang buruk."


Tabik Pun.... 


Ba’da Dzuhur di Liwa, 2 Januari 2024.


Sabtu, 30 Desember 2023

Kearifan Lokal Prasasti Hujung Langit, Tinggalan Budaya Klasik yang tersisa di Lampung Barat (Bagian I)

 

“Gunung Pesagi pagi ini nampak begitu elok. Selapis kabut putih, bak selendang sutra,  menyelimuti kakinya di tepian horizon, memisahkan puncak dan bahunya. Seolah  bersimpuh dia di atas singgasana gading nan anggun. Cakhmumung membawanya bergegas ke penghujung langit, seolah tak sabar, lepaskan hasrat, bermunajat kepada Sang Pencipta. Apakah gerangan yang engkau bisikan wahai Pesagi?”

“Hujung Langit”, mungkin nama inilah yang terbersit pertama kalinya dibenak sang Raja yang bergelar Punku Haji Yuwaraja Sri Haridewa, untuk menyimpulkan keindahan landskap Pesagi yang begitu ekspresifnya. 

Nama yang kemudian, dia ukirkan pada sebuah prasasti, sebagai tanda bahwa lahan perdikan (sima) yang dia hibahkan adalah tanah suci yang kelak akan mendatangkan kemakmuran serta kejayaan bagi penduduknya.

Menghadap arah Timur Laut dari tempat yang dianggap sakral ini, nampak jelas  bumi dan langit seolah dipertemukan di puncak Pesagi yang bertahtakan cahaya keemasan sinar mentari pagi. Sajikan sosok mithology bermahkota tiga yang sedang memandang masygul hiruk pikuknya kehidupan duniawi yang terpampang di ujung kakinya.

Negeri di Ujung Langit (Jejak Erwinanta, 2017)

Negeri Lampung amatlah luas dan kaya, namun hanya ada satu negeri yang terletak diantara gunung Pesagi dan danau Ranau, yang memiliki keistimewaan, yakni negeri yang menempati dataran tinggi Liwa (Liwa plateau), dengan buminya yang selalu bergoyang. Seolah negeri itu berada di punggung seekor naga yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya. 

"Way Warkuk, Way Rubok, dan Way Semaka, adalah perwujudan tubuh hijau sang Naga raksasa. Mahkotanya gunung Seminung, Kukusan, dan Pesagi. Sang Naga pun siap membawa negeri ini menembus langit, menunjukkan kembali kejayaan yang dahulu pernah mengharumkan namanya."

William Marsden dalam bukunya yang berjudul History of Sumatra (1811) menggambarkan keindahan negeri ini sebagai berikut: 

“Di ujung selatan dari Passumah (Pasemah?) terdapat suatu negeri yang berbeda tatacara pemerintahannya, para pemimpinnya tidak memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak.  Perbedaan ini tidak diragukan lagi bersumber dari peperangan dan invasi yang pernah dialami di negeri ini sebelumnya. Agama penduduknya mengikuti ajaran Muhammad (Islam), namun tidak tunduk pada Kesultanan Palembang”. 

“Memiliki danau yang luas (danau Ranau) dengan udara yang dingin seperti kebanyakan negeri di Eropa. Daratan hingga gunung-gunungnya selalu dilapisi oleh kabut tebal seperti salju”. 

“Dihuni oleh penduduk yang bentuk wajah dan matanya mirip orang Tionghoa. Mereka ramah dan sangat menghormati tamu, lebih-lebih jika tamu itu memiliki kedudukan penting. Mereka pandai menanak nasi di dalam bambu yang dibakar (lemang?), dan membuat gula dari sejenis pohon palem (Aren?)”. 

“... Dari negeri yang terletak antara gunung tinggi (Pesagi ?) dan danau yang luas (Ranau) inilah, keturunan dari orang Lampung berasal...” (Marsden, (1811), p. 30, 33, 71, 95, 214, 286).

Pada masa budaya klasik, dimana peradaban India dengan ajaran Hindu dan Buddha mendominasi sebagian besar wilayah Nusantara, di negeri Lampung tidak ditemui adanya kerajaan yang diidentikkan sebagai pusat peradaban dan kekuasaan. (Widyastuti, 2010).  

Namunpun begitu, kata “Lampung” ditemukan tertulis dibeberapa catatan kuno dari tinggalan sejarah kebudayaan klasik.  Ada dua kitab kuno tinggalan kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara yang menorehkan kata “Lampung” didalamnya. 

Pertama adalah kitab Negarakertagama karya empu Prapanca yang beraksara dan berbahasa Jawa Kuno. Kitab ini ditulis di masa kerajaan Majapahit (abad XIII s.d. XV masehi).  Dalam kitab ini, “Lampung” menjadi salah satu dari “Negeri-negeri Melayu” yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit (Muljana, 1979 dalam Widyastuti, 2010).  

Kitab yang kedua bernama “Amanat Galunggung” yang beraksara dan berbahasa Sunda Kuno. Kitab ini ditulis di masa kerajaan Sunda (abad X – XVI masehi).  Kitab Amanat Galunggung, berisi tentang nasehat Rakeyan Darmasiksa (1172-1297) kepada putranya Sang Lumahing Taman, yang isinya:

"Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung” (Danasasmita, 1987, dalam Widyastuti, 2010). 

Catatan-catatan tersebut membuktikan, walau tidak memiliki pusat kekuasaan mutlak serupa kerajaan. “orang Lampung” sudah begitu terkenal dan diperhitungkan sebagai etnis yang beradab, memiliki kedigdayaan, serta dianugerahi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. “Orang Lampung”  pada kenyataannya sudah mampu berinteraksi dengan banyak kerajaan besar di masa itu, bahkan hingga ke negeri China. 

Hujung Langit merupakan bagian dari negeri pedalaman yang oleh Kerajaan Sriwijaya disebut sebagai wilayah “uluhan musi”.  Negeri ini kaya akan hasil hutan dan pertanian, yang turut mengangkat nama Sriwijaya menjadi terkenal, sesuai arti namanya, yakni “cahaya kejayaan”. 

Negeri ini terkenal penghasil komoditas berupa getah damar, kemenyan, rotan, madu, kayu manis, lada, dan beras. Komoditas ini diangkut menyusuri sungai way Warkuk - danau Ranau - Silabung dan dikumpulkan di sungai Komering sebagai “feeder points” dari sistem perdagangan Sriwijaya (Leong Sau Heng, 1990; dalam Purwanti, 2017).  

Prasasti Hujung Langit / Bunuk Tenuwar / Harakuning / Bawang (JE, 2023)

Prasasti Hujung Langit ditemukan oleh Tim Survey Topografi Belanda pada tahun 1912 di suatu tempat di dusun Umbul Bawang yang bernama Harakuning, karenanya prasasti ini juga sering disebut sebagai prasasti Harakuning atau prasasti Bawang. Namun abklats-abklats (cetakan prasasti dari kertas singkong) di Dinas Purbakala Indonesia menyebutnya sebagai prasasti Bunuk Tenuwar (Damais, 1995). 

Keempat nama ini menunjukan objek yang sama, yakni sebuah prasasti berbahan batu andesit berbentuk kerucut dengan tinggi 162 cm dan lebar bawah 60 cm. Prasasti ini berada diantara hulu sungai Way Warkuk (sungai Way Menjadi), yang mengalir di sisi Utara prasasti hingga ke Barat, dan Hulu sungai Way Rubok yang mengalir di bagian Selatan prasasti hingga ke arah Timur.  

Terletak pada koordinat  4°59'37.96" Lintang Selatan (LS) dan 104° 4'47.97" Bujur Timur (BT) dengan ketinggian tempat ± 875 mdpl. 

Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, di mana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari tentang prasasti disebut Epigrafi.   (wikipedia).

Kini tempat yang bernama “Harakuning” telah berubah nama menjadi pekon (desa) Hanakau, Kecamatan Sukau, dan dusun Bawang menjadi salah satu dari pemangkunya. 

Nama “Harakuning” sendiri berasal dari bahasa Lampung “Haugh Kunjekh”, kata “haugh” atau “kawokh” diartikan sebagai “bambu”, dan kata “kunjekh” sebagai warna “kuning”. Haugh Kunjekh atau Harakuning diartikan sebagai “Bambu Kuning” (Bambusa vulgaris var. Striata).

Sama dengan masyarakat Jawa, dan Tiongkok, masyarakat Lampung menggunakan tanaman bambu tidak hanya untuk keperluan yang bersifat profan (pemukiman), namun juga digunakan untuk keperluan yang bersifat dinamisme dan sakral.

Jenis bambu yang bernilai sakral lainnya adalah "bambu buntu", yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai kawokh bungkok dengan nama botani Schyzotachyum caudatum Backer ex Heyne. 

Tidak seperti tanaman bambu pada umumnya, kawokh bungkok tidak memiliki rongga diantara ruas-ruas pada batangnya. Inilah yang menyebabkan “bambu buntu” begitu unik sekaligus mistis.

“Menurut legenda, bambu buntu tercipta dari jari telunjuk seorang saudagar kaya raya, namun bodoh lagi congkak. Saudagar ini tinggal di suatu negeri yang subur di tepian sungai Semaka. Apapun sang Saudagar itu suka, tinggal menggerakan telunjuknya saja, begitupula jika menyuruh sesuatu, tinggal tuding tanpa menghiraukan perasaan dan kesusahan orang. Perilaku sang saudagar ini membuat murka si Pahit Lidah, dan mengutuk jari telunjuk sang saudagar menjadi rumpun bambu yang terus memanjang seperti tongkat. Si Pahit Lidah adalah puyang sakti yang berasal dari Negeri Pasemah. Kesaktiannya terletak pada lidahnya, konon apapun kutukan yang dia ucapkan akan selalu menjadi kenyataan.” 

Sedikit sekali yang dapat dimanfaatkan dari bambu buntu ini. Kesehariannya bambu buntu hanya dipergunakan sebagai tongkat, yang dipercaya dapat mendatangkan kewibawaan, pelindung dari gangguan mahluk halus dan ancaman binatang berbisa.

Tongkat Bambu Buntu (Jejakerwinanta, 2023)

Dibalik pandangan orang tentang kesaktian bambu buntu, dan legendanya, sebenarnya, para orang tua kita, ingin menanamkan dan mengajarkan pentingnya etika dalam hidup serta hikmat kebijaksanaan dalam setiap pengambilan keputusan. 

“Kemuliaan” itu diukur bukan dari seberapa banyak harta, tapi dari luasnya pengetahuan yang memenuhi isi kepala, dan ditunjukan secara lahiriah melalui adab (akhlak) dalam perilaku hidup sehari-hari”.  

Mungkin tutur legenda bambu buntu, merupakan pembelajaran sederhana bagaimana memahami makna “pi’il pesenggiri” - salah satu dari 5 prinsip hidup orang Lampung - yakni “mengedepankan harga diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat”.

Bawang” bukanlah nama jenis tanaman untuk bumbu masak. Bawang menurut masyarakat Sukau adalah sejenis tanaman air yang bentuknya seperti genjer.  Apakah tanaman yang dimaksud sama dengan tanaman langka bernama “Bawang Air Thailand” (Crinum thaianum), ataukah sejenis lili rawa yang bernama Crinum asiaticum, yang dahulunya sering digunakan masyarakat setempat sebagai bahan pembuat racun untuk berburu?  Entahlah saya sendiri belum pernah ditunjukan atau diperlihatkan tanaman “bawang” yang mengilhami nama tempat tersebut.

Hal yang sama mengingatkan saya tentang arti “Sekala Bekhak”. Sekala merupakan sejenis herba berimpang yang dikonsumsi bunganya oleh masyarakat sebagai sayuran dan obat tradisional. Tanaman ini termasuk vegetasi bawah penghuni ekosistem hutan hujan tropis. Banyak dijumpai di hutan sekunder hingga ketinggian mencapai 1700 mdpl. Dikenal dengan nama umum Kecombrang (Etlingera elatior Jack). 

Sekala Bekhak’ adalah “hamparan tanaman sekala yang luas atau lebar”.  Bunganya berbentuk seperti gada berwarna merah. Mungkin karena tampilannya yang cantik dan menyerupai bunga padma (teratai), menjadikan tanaman ini oleh masyarakat lampau, dianggap suci dan dipergunakan untuk berbagai keperluan ritual. 

Bunga Sekala (Amijaya, Wikipedia, 2017)

Ada sebuah pendapat yang cukup menarik, dimana tempat yang kini bernama “umbul Bawang” dianggap dahulunya sebagai lokasi dimana Kerajaan Tulangbawang berada. Pendapatnya ini didasarinya dari hasil intrepretasi catatan perjalanan biksu China bernama I-Tsing pada abad VII yang menceritakan tentang kerajaan bernama To-Lang Po-Hwang (Tulang Bawang), yang berada dipedalaman Sriwijaya. 

Kata “pedalaman” dan arti lain dari to-lang-po-hwang sebagai “dataran tinggi”,  ditambah dengan keberadaan prasasti Bawang (Hujung Langit) yang dibuat di masa Kerajaan Sriwijaya, semakin memperkuat argumentasinya, tentang lokasi To-Lang Po-Hwang. Sriwijaya sendiri didirikan oleh Raja Dapunta Hyang pada tanggal 16 Juni 682 M (Prasasti Talang Tuo).

Catatan babad sunda “Pustaka Raja Parwa” menceritakan bahwa pada abad ke-5 masehi, telah terjadi letusan dahsyat gunung Krakatau Purba (bernama gunung Batuwara). Kedahsyatan erupsi gunung Krakatau Purba setinggi 2000 m, menyebabkan terbentuknya selat Sunda yang memisahkan antara pulau Sumatera dan pulau Jawa. 

Abu vulkanik dari erupsi gunung Batuwara menyebabkan langit menjadi gelap selama lebih 10 hari lamanya, mengakibatkan musnahnya peradaban Pasemah dan hilangnya kerajaan sunda Salakanegara. Dampak lainnya adalah terjadinya perubahan iklim yang memicu hilangnya beberapa peradaban di Asia dan Eropa. 

Menyatukan kisah-kisah di atas, kemungkinan pemukiman yang terletak di sekitar kaki gunung Pesagi, atau dataran tinggi Liwa, (termasuk umbul Bawang), merupakan sisa-sisa masyarakat penganut tradisi megalitikum yang bermigrasi ke daerah tinggi, guna menghindari bencana yang ditimbulkan oleh erupsi gunung Krakatau Purba ini.  

Apabila melihat peta terbitan Belanda, seperti peta Afdeeling Krui tahun 1910, dan peta Topografi tahun 1922, nama “umbul Bawang” memang selalu ada tertera di dalam kedua peta tersebut, dibandingkan nama Harakuning itu sendiri.  Nampaknya teori pusat kerajaan Tulang Bawang berada di “umbul Bawang”, sebagaimana pendapat yang pernah dikemukakan, bisa jadi benar sebagian, namun tidak untuk sebagian yang lain.

Ada dua toponimi di dataran tinggi Liwa yang namanya tercantum di dalam naskah prasasti dan juga tertera dalam peta Afdeeling Krui (1910) dan juga Peta Topografi (1922). Di masa sekarang pun nama-nama tersebut masih tetap digunakan dan dipertahankan walaupun sudah mengalami reduksi, yaitu desa “Hujung” di Kecamatan Belalau (prasasti Hujung Langit), dan pemangku “Bumi Jawa” di pekon Bumi Jaya Kecamatan Sukau (prasasti Palas Pasemah).  

Pekon Hujung terletak ± 15 km arah Timur Laut dari prasasti Hujung Langit.  Baik Damais (1995) maupun Tobing (2004), memberikan dugaan yang sama, bahwa lahan sima atau perdikan sebagaimana isi prasasti Harakuning atau Bunuk Tenuwar, sesungguhnya adalah pekon Hujung yang sekarang ada di Kecamatan Belalau.  

Dugaan tersebut didasari bukan saja karena adanya kemiripan nama tempat, namun juga didasari atas kesamaan temuan arkeologis di situs Kampung Tuha Hujung, seperti tembikar, keramik-keramik dinasti china, umpak batu, tumulus dan struktur bangunan tradisional yang terbuat dari bambu. 

Arsitektur dan konstruksi hunian dari bambu ini diyakini sebagai bentuk atau model asli hunian masyarakat kuno Lampung. Hingga saat ini, bangunan-bangunan tradisional ini tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat Hujung.

Rumah Tradisional berbahan bambu di Pekon Hujung, Belalau (Bappeda LB, 2012)

Toponimi berikutnya bernama Bumi Jawa, yang terletak ± 9 Km arah Barat Laut dari Prasasti Hujung Langit. “Bumi Jawa” dituliskan "Bhumijawa" dalam prasasti Palas Pasemah (abad VII), merupakan wilayah pemangku di pekon “Bumi Jaya”, Kecamatan Sukau.  Bhumijawa  disebut-sebut dalam prasasti Palas Pasemah, sebagai negeri yang tidak patuh dan akan ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya. 

Walaupun berakhiran “Jawa”, pemangku Bhumijawa, sejak dahulunya dihuni oleh masyarakat asli penduduk Sukau, atau Buay Nyerupa.  Hasil penelitian Andrianto dkk (2012), menunjukan bahwa tempat ini tidak ada sama sekali dipengaruhi oleh Jawa. 

Bhumijawa merupakan salah satu pemukiman tua di dataran tinggi Liwa, yang wilayahnya berada di dalam daerah aliran sungai Way Warkuk. Bukti bahwa Bhumijawa merupakan pemukiman tua adalah dengan ditemukan beberapa peninggalan tradisi megalitikum, dan fragmen keramik China dari abad X masehi. Temuan arkeologis yang berumur sama dengan temuan di sekitar Prasasti Hujung Langit.

Memahami arti toponimi suatu tempat dapatlah ditarik pembelajaran bahwa masyarakat dahulu, memberi nama daerahnya, didasari pada kesan mendalam terhadap karakter suatu objek atau peristiwa yang khas, penting dan sakral yang terjadi di tempat tersebut. 

Nama-nama seperti Harakuning, Bawang, dan Sekala Bekhak merupakan contohnya. Bahkan ada toponimi yang tercatat dalam prasasti hingga kini  masih tetap dipertahankan,  walaupun sudah mengalami sedikit penyesuaian, seperti misalnya pekon Hujung (Kecamatan Belalau) dan pemangku Bumi Jawa (Kecamatan Sukau). 

Sayangnya pekon-pekon tua yang memiliki aspek kesejarahan dan sarat dengan peninggalan tradisi masa lampau, kini tidak cukup baik perkembangannya.  Padahal cerita tentang masa lalu suatu tempat, merupakan bagian penting dari “Sejarah Desa”.  

Sejarah tentang ihwal  desa tidak hanya memperkuat identitas, namun membuka peluang promosi berbagai usaha ekonomi kreatif desa. Lihat saja seperti Kampung Wisata Sade, Kampung Naga, dan Kampung Osing.

Selain pemberian nama suatu tempat, pemilihan lokasi untuk pemukiman oleh masyarakat lampau juga dikatagorikan sebagai kearifan lokal. Pemahaman atas makna keseimbangan alam dari sudut pandang fisik maupun metafisik (spiritual), merupakan model kearifan lokal masyarakat lampau, yang kini turunannya dikenal sebagai “Pembangunan berbasis mitigasi bencana dan perubahan iklim”. 

Dataran tinggi Liwa dilalui oleh sesar tektonik aktif yang bernama sesar Semangko sehingga banyak menghasilkan bentang alam yang terbentuk melalui proses horst dan graben.  

“Horst”, adalah daratan yang terbentuk karena terjadi amblasan lapisan tanah disekelilingnya. Membentuk lembah-lembah yang kemudian terisi oleh air. Horst menghasilkan situs-situs geologi seperti “pulau” atau “tanjung” yang subur, dengan aliran air yang mengelilinginya. Lawan dari horst adalah “graben”. 

Sebaran Arkeologis di kaki gunung Pesagi, Kukusan, Seminung (JE, 2023)

Lukisan bentang alam dataran tinggi Liwa, jika dilihat dari angkasa, nampak bahwa pada bagian utaranya berdiri tiga buah gunung.  Ketiga gunung itu adalah gunung Seminung di sisi kiri, gunung Kukusan di tengah, dan gunung Pesagi di kanan.  Posisi ketiga gunung seperti dewa-dewa mitologi yang siap menjaga bumi ini agar tidak terpisah dan tenggelam. Menambah kesan religius, dan memperkuat ikatan spiritual penduduknya terhadap dataran tinggi Liwa.  

Bentang alam yang khas memberikan nuansa psikologis bagi masyarakat penghuni dataran tinggi Liwa, walaupun sering mengalami bencana gempa, faktanya mereka akan tetap selalu datang kembali ke tanah perdikan ini. Ikatan bathin masyarakat Liwa terhadap tanah airnya ini begitu kuatnya. 

Teringat kelakar seorang teman “... Kalau sudah minum air dari sungai Way Rubok, bakalan sulit untuk melupakan Liwa ...”. Ternyata ucapannya pun benar-benar jadi kenyataan.

Landskap dengan sumberdaya fisik yang melimpah ditambah dengan kesan spiritual yang mendalam, menjadi pilihan ideal bagi masyarakat kuno untuk membangun pemukiman, memperkuat sistem sosial, dan  sekaligus menjadikannya sebagai basis pertahanan.

“Hunian masyarakat tertua terbanyak, berada di dataran tinggi Liwa, menempati situs-situs di perbukitan datar yang subur dan dikelilingi kolam mata air. “Sebanyak 16 (enam belas) situs pemukiman kuno” ditemukan di tepian sungai Way Rubok. Ratusan fragmen keramik dan tembikar yang ditemukan, menandai intensnya aktivitas kehidupan masa lampau di wilayah ini.” (Rusyanti, 2021, p.100).

Ada satu spot “horst” yang saya duga dahulunya merupakan pemukiman kuno, yakni di pemangku Bekal Jaya, Pekon Padang Cahya (Kecamatan Balik Bukit). Horst Bekal Jaya ini berada di hulu sungai Way Warkuk. Tinggalan tradisi megalitikum yang dijumpai berupa batu tumpat, dolmen, dan batu bergores.  Masyarakat setempat meyakini bahwa daerah ini dahulunya dihuni oleh marga Way Tetuga.  Semoga saja Pemkab Lampung Barat, dapat mendorong penelitian arkeologis di lokasi ini, sehingga makin memperkaya khazanah tentang pemukiman kuno di bumi beguai jejama sai betik

Temuan batu bergores berbahan batuan sedimen di Padang Cahya (JE, 2023)

Penelitian menguak tabir Prasasti Hujung langit telah banyak dilakukan, baik oleh para pakar arkeolog dari Eropa maupun Indonesia seperti JG de Casparis, NJ Krom, Louis Charles Damais (1954-1957), Buchari dan Hasan Djafar (1995). Kemudian penelitian oleh Binsar D.L Tobing di tahun 2004 dan Terakhir pada tahun 2018 oleh Balai Arkeologi Bandung. 

Di Provinsi Lampung, hingga saat ini, ditemukan sebanyak 9 (sembilan) prasasti, dimana 3 (tiga) diantaranya ditemukan di dataran tinggi Liwa, yakni prasasti Hujung Langit (abad X), Tanjung Raya 1 (abad X) dan Tanjung Raya II  (abad XIV). Kronologi Prasasti dipengaruhi oleh kerajaan bercorak Melayu (Sriwijaya), dan Jawa (Sunda, Majapahit), namun masyarakatnya diyakini sudah ada sejak era tradisi megalitikum.  

Baca Juga: Mengenal Tradisi Megalitikum di Lampung Barat (Bagian I) 

Prasasti Hujung Langit beraksara Jawa Kuno (pallawa) dan berbahasa Melayu Kuno. Tulisan dipahat di permukaan datar (recto) batu andesit, memuat 18 baris kalimat, yang kini aksaranya semakin memudar.  Prasasti ditetapkan oleh Penguasa Hujung Langit bergelar “Pungku Haji Yuwa Rajya” bernama Sri Haridewa, pada hari suklapaksa bulan margasira 919 saka, atau bertepatan dengan tanggal 12 November 997 Masehi (Tobing, 2004)

Memperhatikan tujuan pemberian sima, dan kronologisnya, prasasti Hujung Langit dibuat pada akhir abad ke-10. Kondisi dimana pengaruh kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha sudah mulai melemah.  

Salah satu penyebab melemahnya Kerajaan Sriwijaya, adalah karena invasi Raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang di Jawa Timur. Serbuan kedua raja Medang pada tahun 992 masehi, walaupun dapat digagalkan, namun menyebabkan kerusakan parah di ibukota Sriwijaya di Palembang, dan melemahkan roda perekonomian.   

Prasasti Hujung Langit sejak dibuat, dan ditempatkan tidak berubah posisinya hingga ditemukannya pada tahun 1912.  Prasasti ini memiliki tata aturan penulisan dan informasi yang lengkap. Bagian-bagian kalimat prasasti terdiri dari pembukaan, penanggalan, isi atau berita, kutukan dan larangan (sanksi), para saksi-saksi (pejabat), Raja atau penguasa yang mengesahkan, dan kalimat penutup. 

Prasasti kadang dilengkapi dengan simbol-simbol yang menunjukan kekuasaan atau kewibawaan Raja yang menetapkan. Begitupun pada prasasti Hujung Langit, pada bagian atas baris tulisan terdapat relief berbentuk belati dengan bilah tajam mengarah ke kanan (ke Timur). 

Secara umum, Prasasti berisi tentang pemberian lahan sima (perdikan) berupa hutan dan lahan untuk pembangunan tempat suci Vihara oleh Penguasa wilayah Hujung Langit yang bergelar  Pungku haji Yuwa Rajya Sri Haridewa Sakti

Relief belati di Prasasti Hujung Langit (Tobing, 2004)

Ada dua terjemahan prasasti Hujung Langit, yaitu terjemahan menurut Damais (1995) dan Binsar D.L. Tobing (2004). Terjemahan Damais dapat disimak di wikipedia, sedangkan berikut adalah terjemahan menurut Tobing (2004):

“Selamat! Ketika sang waktu pada tahun saka telah berlangsung selama 919 tahun lamanya, Margasira bulannya (masa), tanggal 9 paro terang (suklapaksa) was wage Sukra (adalah) waranya. Kuningan (adalah) wukunya, pada saat (penguasa) daerah Hujung Langit mempersembahkan seluruh hutan (dan) seluruh tanah (pada) bulan asuji (yang apabila) perintah ini dilanggar akan ditusuk (oleh senjata tajam) dan diremas badan (nya) (dalam) seluruh kematian (dan) seluruh kehidupan (secara) terus menerus ... , ketika Pungku haji Yuwa Rajya (yang bernama) Sri Haridewa Sakti (bersama) juru redap, juru ... dan juga juru pajabat (memberikan) hadiah (berupa) tanah (untuk) datang mempersembahkan (dan) memuja, juru natalan terdapat wihara ....  samgat juru pajak. Demikian pramukha kabayan dipekerjakan (di sana) ... wayan di Hujung Langit ... perahu ...  juru samya danda ... bunga pinang yang mati muda (sehingga tidak menghasilkan) buah, memberi kembang untuk barang-barang pusaka, juru mabwang pamgat, juru ruhanan ... pramukha Sri di banwa  ... rama, hulun (demikianlah) perintah (ini) (diturunkan) untuk semuanya (dari) pemilik ketentuan (daerah) yang bernama Hujung Langit .... (Penutup)”.   

Catatan: tanda titik-titik merupakan kata atau kalimat yang tidak terbaca dari tulisan di prasasti 

Pemilihan letak dan keruangan, latar belakang dan kandungan isi prasasti, begitu sarat dengan makna-makna Kearifan Lokal, yang bisa jadi masih sangat relevan untuk menghantarkan kemajuan bagi negeri ini.  Setiap simbol dan kata yang diguratkan, seperti belati, penanggalan, hutan, kutukan, para juru, perahu, pinang, bahkan nama gelar pungku haji yuwa rajya,  bagi saya masih menjadi kelambu misteri, yang menggoda untuk terus menyibaknya. 

Entah apa makna sebenarnya dibalik pesan-pesan bijak sang Penguasa Hujung Langit kepada generasinya kini, yang bisa jadi tidak pernah mengetahui jika prasasti ini ada? 

Hujung Langit tidak hanya sebuah nama yang tertoreh dipermukaan batu prasasti yang menandai  awal babad sejarah kebudayaan klasik di negeri para saibatin ini. Bagi saya “Hujung Langit”  mengandung makna filosofis, yang menyiratkan pesan-pesan moral yang kuat. 

“Hujung langit, kata-kata yang mengetuk hati Saya untuk selalu mawas diri dalam menggapai tujuan hidup.  Kemanakah lagi kaki harus dilangkahkan, manakala kita sudah tiba di penghujung kehidupan?” 

“Akankah kita masih punya cukup bekal untuk mengarungi ruang hampa yang luas di atasnya? Ataukah masih punya cukup nyali mengarungi jalan curam di bawahnya?” 

 

Salam Lestari untuk Literasi 


Referensi:

  • Rusyanti, dkk. 2021. Stay or Leave ? Dinamika Landskap Arkeologi di Sesar Semangko Provinsi Lampung. Karya Terpilih Program Akuisisi Pengetahuan Lokal. LIPI Press;
  • Rusyanti, dkk. 2018. Berkelana ke Hujung Langit, mengenal Bukti Arkeologis Tertua di Lampung Barat, Balai Arkeologi Jawa Barat;
  • Abrianto dkk. 2012. Some Consideration on Location of “Bhumi Jawa”. Jurnal Purbawidya Vo.1. No.2 Tahun 2012. Page 277-288;
  • Widyastuti, Endang. 2010. Kondisi Masyarakat Lampung pada Masa Pengaruh Hindu-Buddha. Dari Masa Lalu ke Masa Kini – Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Balai Arkeologi Jawa Barat. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung;
  • Tobing, Binsar DL. 2004. Prasasti Hujung Langit 919 saka (997 Masehi). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,  Universitas Indonesia (Skripsi);  
  • Purwanti. 2017. Damar dalam Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Sriwijaya. (link: Link: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/damar-dalam-jaringan-perdagangan-masa-kerajaan-sriwijaya/);
  • Marsden, William. 1811. The History of Sumatra, containing an account of the government, laws, customs, and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. J. M'creery, Black-Horse-Court. The third edition. London.


Jumat, 15 Desember 2023

Mengenal Tradisi Megalitikum di Lampung Barat (Bagian I)

"Kedatangan tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII (BPK VII) Bengkulu-Lampung pada akhir November 2023 yang lalu, seperti “energy drink” yang menambah gairah saya untuk menyelami kembali arsip-arsip tinggalan tradisi megalitikum yang sebelumnya pernah diteliti oleh seorang sahabat di BRIN pada tahun 2012, 2014, 2018 silam". 

Alangkah indahnya jika negeri ini dapat dijuluki sebagai “Negeri Seribu Megalitikum”. Julukan yang semakin memperkokoh bahwa benar etnis Lampung aslinya berasal dari wilayah ini.  

Situs Megalitikum Batu Berak (Sumber: JE, 2014)

Namun melihat kondisi tinggalan yang semakin rusak tak terawat, harapan itupun lantas pupus dan justru menyisakan banyak kekuatiran. Ibarat selembar arsip tak bernilai, yang ditumpuk-tumpuk dalam lemari yang usang. 

Lampung Barat pernah berkomitmen sebagai “Kabupaten Literasi”. Tidaklah sulit untuk menempatkan kekayaan arkeologisnya sebagai “literasi budaya”, agar semakin kokoh nilai-nilai kebhinekaan dan identitas daerah. Nilai-nilai ini penting agar kejayaan negeri ini dapat kembali diusung bersama-sama.

"Saya bukan seorang arkeolog apalagi antropolog, bahkan bertugaspun tidak ada terkait dengan urusan kebudayaan, namun saya tertarik untuk belajar memahami bagaimana suatu tradisi terbentuk.  Apalagi jika tradisi tersebut lahir sebagai makna dari proses adaptasi manusia terhadap sumber daya alamnya. Inilah yang saya sebut sebagai “kearifan lokal”. 

Tak elok rasanya, jika keinginan untuk mengembangkan potensi kearifan lokal, tidak disertai dengan pengenalan dan pemahaman atas eksistensi kebudayaan masyarakat lampau, dimana kearifan lokal tersebut terbentuk.

"Mempelajari tradisi megalitikum di bumi Lampung Barat, secara tidak langsung akan mengajak kita, mengenal dan memahami lebih jauh darimana nenek moyang kita berasal. Termasuk kebudayaan yang menyertainya”.    

Benarkah secara genetik kita berkerabat dengan manusia purba Pithecanthropus erectus, yang ditemukan fosilnya oleh Eugene Dubois di tahun 1891? Benarkah kita spesies Homo sapiens yang terbentuk karena teori evolusi Charles Darwin? 

Para ahli menyepakati bahwa perkembangan sejarah peradaban manusia, dikelompokan menjadi dua, yaitu masa prasejarah dan masa sejarah.  

Masa prasejarah merujuk pada istilah dimana manusia belum mengenal atau menggunakan tulisan atau aksara (pra artinya sebelum, dan sejarah artinya catatan tertulis tentang cerita atau kisah hidup manusia). 

Masa sejarah, tentunya kebalikannya dari pra sejarah, yakni zaman dimana manusia sudah mengenal aksara, dan mencatatkan peristiwa atau kejadian kehidupannya pada suatu media tulis.  

Masa prasejarah diistilahkan pula sebagai praaksara atau nirleka (nir = ketiadaan, dan leka = tulisan). Namunpun begitu manusia prasejarah atau praaksara sudah pandai membuat lambang-lambang, tanda-tanda, maupun gambar-gambar, serta memiliki bahasa pengantar atau tutur (lingua franca).

Masa prasejarah (praaksara), dikelompokan  kedalam 3 (tiga) zaman, yaitu zaman batu, zaman megalitikum, dan zaman perundagian. Adapula yang membaginya menjadi zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi, bahkan hanya dua zaman saja yaitu zaman batu dan zaman logam

Zaman Batu adalah periode di mana manusia praaksara hidup dengan peralatan yang terbuat dari batu. Periode ini berlangsung dalam waktu ratusan ribu tahun, yang terbagi menjadi zaman batu tua (paleolitikum), zaman batu tengah (mesolitikum), dan zaman batu muda (neolitikum).

Zaman Perundagian atau Zaman Logam: merupakan periode akhir prasejarah atau yang lazim disebut Zaman Logam. Pada zaman ini, peradaban sudah berkembang beragam dan cukup pesat. Manusia tidak hanya menggunakan bahan batu untuk membuat perkakas, tetapi juga sudah menggunakan bahan logam, seperti tembaga, perunggu dan besi. Zaman perundagian di Indonesia diperkirakan dimulai sejak 1000 SM – 400 M.

Zaman Megalitikum merupakan peralihan atau transisi kebudayaan antara periode akhir zaman batu muda (Neolitikum)  dan Zaman Perundagian. Tinggalan tradisi megalitikum tidak hanya bercirikan monumen batu berukuran besar saja, namun susunan batu berukuran kecilpun bisa dikatagorikan sebagai tinggalan megalitikum, selama difungsikan untuk tujuan sakral, seperti pemujaan atau penghormatan kepada roh leluhur.

Megalitikum” berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “Mega” yang artinya “besar”.  Kata “Litik” atau “Lithos” yang berarti “batu” dan kata “Kum” sebagai akhiran yang bermakna periode atau zaman.   Megalitikum secara umum dimaknai sebagai “Zaman Batu Besar”.

Pada zaman “batu besar” manusia sudah mulai mengenal teknologi pengolahan logam seperti tembaga dan perunggu. Namun masih tetap mempertahankan penggunaan batu-batu besar dalam mendukung sistem kepercayaan dan norma sosial lainnya (kematian dan pengakuan strata sosial).  Diperkirakan zaman megalitikum di Indonesia berada pada kisaran waktu 2.500 SM – 100 SM. 

Akhir masa prasejarah atau awal masa sejarah berbeda-beda disetiap wilayah kebudayaan, seperti bangsa Sumeria pendukung dari peradaban Mesopotamia, mengakhiri masa prasejarahnya setelah mengenal “aksara paku” atau “tulisan paku” (Cuneiform) yang dicetak pada lempengan tanah liat sebagai medianya (tablet).   

Aksara paku merupakan tulisan pertama di dunia yang dibuat oleh manusia sekitar tahun 3.200 SM – 3000 SM. Berkembang pesat di wilayah Mesopotamia hingga meredupnya pengaruh kekaisaran Babilonia pada tahun 2000 SM. 

Ingat kisah Nabi Ibrahim a.s dan raja Babilonia bernama Namrud? Nah peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 2150-2080 SM, dimana penggunaan aksara paku ini sudah meluas dan diadopsi hingga ke wilayah Mediteranian (Yunani Kuno) dan Mesir.

Di tenggang waktu yang sama, Indonesia masih berada pada fase prasejarah dari babak baru tradisi zaman batu besar (Megalitikum).

Akhir masa prasejarah di Indonesia, diperkirakan baru dimulai pada abad 1 – 5 M setelah diperkenalkannya tulisan Pallawa (aksara Jawa Kuno) yang diadopsi dari peradaban Industan melalui kisah yang kita kenal sebagai legenda Aji Saka (sekitar tahun 100 M), dan setelahnya dengan munculnya kerajaan-kerajaan tertua seperti Salakanegara (wangsakerta) di Jawa Barat (150 M) serta Kutai Martapura di Kalimantan Timur tahun 450 M.  Awal masa sejarah di Indonesia, umumnya dipengaruhi oleh peradaban Hindu-Budha.

Batu Bergores di Mutar Alam, 1919. (Digital Collection Univ. Leiden)

Bagaimana di Lampung Barat? Diperkirakan akhir masa prasejarah di Lampung Barat dimulai pada akhir abad ke-10, setelah ditemukannya prasasti Hujung Langit di umbul Bawang pekon Hanakau (Kecamatan Sukau). Prasasti ini bertuliskan aksara Jawa Kuno (Pallawa) dan berbahasa Melayu Kuno. 

Prasasti Hujung Langit bercorakan peradaban Hindu-Budha bertahun 919 saka atau 997 M, dan, berisikan 18 baris kalimat yang dipahat dipermukaan batu andesit. Pahatan tulisan tersebut memuat titah Raja Punku Yuwaraja Sri Haridewa (diperkirakan dari Kerajaan Sriwijaya) yang ditujukan kepada para “juru” (orang pandai) dan masyarakat di daerah yang bernama Hujung Langit

Prasasti ini berisikan tentang tanggal penetapan lokasi tanah sima bernama Hujung Langit sebagai tempat suci wihara, pembebasan pajak atas tanah sima, bunga pinang sebagai sesembahan untuk barang pusaka, kewajiban menjaga sima dan hutan sekitarnya, serta berisi sanksi berupa kutukan apabila larangan tersebut dilanggar. 

“Hal menarik bagi saya dari isi prasasti ini adalah disebut-sebutkannya tentang tanaman pinang (Areca catechu).  Ada apa ya dengan tanaman pinang ini? Sehingga begitu bernilai sakral pada masa itu dan apakah ada keterkaitan filosofi dengan tradisi Sekura Cakak Buah yang masih lestari hingga kini?” 

Penciri utama tradisi megalitikum berupa tinggalan susunan atau struktur bangunan berbahan dasar batu. Susunan batu-batu ini berfungsi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan kepada roh leluhur, pemakaman, dan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan pengaturan hidup secara kolektif (norma adat/hukum adat). 

Jika kita membayangkan bahwa masyarakat pengusung kebudayaan megalitikum seperti film animasi Mr. Flinstone, mungkin imajinasi kita perlu sedikit direvisi. Budaya dan penguasaan teknologi masyarakat megalitikum lebih maju dibandingkan era generasi zaman batu sebelumnya.

Masyarakat zaman Megalitikum sudah mengenal budidaya pertanian menetap (bercocok tanam), artinya pada zaman ini, masyarakatnya sudah memiliki kemampuan untuk memproduksi makanannya sendiri (Food Producing) dibandingkan generasi zaman batu sebelumnya yang hidup secara nomaden dan bertahan hidup dengan mengumpulkan makanan (Food Gathering).

Jenis tanaman budidaya yang dibawa pada zaman megalitikum di Indonesia terutamanya adalah jewawut (Setaria italica),  padi (Oryza sativa), enjelai atau jali (Coix lacryma), dan sorgum (Sorghum bicolor). Masyarakat megalitikum juga  sudah mengenal hewan ternak domestik, seperti kerbau, dan babi.

Permukiman dengan pola  pertanian menetap ini, menunjukan bahwa masyarakat megalitikum sudah memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang lebih maju. 

Beberapa pengetahuan yang berkembang pada masyarakat pra aksara zaman megalitikum antara lain pengetahuan astronomi dan iklim, kemampuan mengetahui tanah subur, teknologi pembangunan parit (irigasi), teknologi pengolahan makanan, pengobatan (tanaman obat), pembuatan pakaian, kerajinan tangan, mengenal seni, konstruksi bangunan tempat tinggal, sarana transportasi berupa sampan atau perahu, ketrampilan menjinakan hewan liar, penambangan dan pengolahan perunggu, memiliki bahasa pengantar (lingua franca) serta penerapan aturan-aturan atau norma yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa pada zaman megalitikum sudah mengenal pengangkatan pemimpin atau kepala suku. Pemilihan dilakukan dengan cara hukum rimba “siapa yang kuat dia yang berkuasa” (primus interpares). 

Situs Batu Tumpat (Padang Cahya), digunakan
untuk memanggil Roh Leluhur (JE, 2023)

Ciri terpenting dari tradisi megalitikum adalah adanya keyakinan animisme dan dinamisme, dengan  menggunakan monumen batu sebagai simbol religius dan media penghubung antara alam nyata dengan roh leluhur. 

"Animisme" berasal dari bahasa Latin yakni “anima” atau “animae” yang berarti jiwa atau roh. Penganut kepercayaan animisme meyakini bahwa semua objek di bumi dan langit memiliki jiwa atau roh yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia sehari-hari. 

Bahkan mereka percaya bahwa manusia yang mati, rohnya masih tetap ada dan menjelma atau berpindah menjadi entitas lain yang tinggal berdampingan dengan keturunannya yang masih hidup. Oleh karenanya bagi penganut kepercayaan ini, kematian seseorang menjadi sesuatu yang sakral.

Istilah “dinamisme” berasal dari bahasa latin “dunamos” yang berarti “kekuatan”. Penganut dinamisme meyakini bahwa benda-benda disekitarnya, memiliki kekuatan gaib atau supranatural yang dapat membantunya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. 

“Untuk memahami tinggalan tradisi megalitikum, ternyata tidak cukup hanya mempelajari fenotipanya saja, namun perlu memahami pula bagaimana tradisi ini membentuk suatu ekosistem kebudayaan”.

Ada 4 (empat) teori yang menjelaskan, darimana nenek moyang bangsa Indonesia berasal, yaitu: Teori Yunan yang didasari adanya kesamaan temuan arkeologis. Teori Nusantara yang didasari dari  temuan fosil manusia purba jawa. Teori Out of Taiwan yang didasari oleh adanya kemiripan tutur atau rumpun bahasa, dan  Teori Out Of Africa yang didasari keterkaitan secara genetika.

Namun dari ke-empat teori migrasi tersebut yang banyak dirujuk adalah apa yang dikemukakan oleh Von Heine Geldern (1945).  Menurutnya tradisi megalitikum yang tumbuh dan berkembang di Indonesia berasal dari kebudayaan bangsa Austronesia yang berada di Tiongkok Selatan. 

Von Heine Geldern pendukung Teori Yunan. Pendapatnya didasari dari hasil temuan arkeologis berupa kapak batu persegi dan kapak batu lonjong yang sama dengan tinggalan bangsa Austronesia di Tiongkok (China) Selatan.  

Migrasi masyarakat pengusung tradisi megalitikum di Indonesia menurut Von Heine Geldern, terbagi kedalam dua golongan, yaitu golongan Megalitikum Tua (older megalithic) dan Megalitikum Muda (younger megalithic).  

Megalitikum Tua, terjadi pada periode akhir zaman Neolitikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung kebudayaan kapak batu persegi (Proto Melayu). Ciri peninggalan tradisi Megalitikum Tua antara lain monumen batu dengan bentuk-bentuk yang statis. 

Monumen batu yang dipergunakan dipilih langsung dari alam dan belum ada sentuhan seni dan cipta rasa manusia. Tinggalan megalitikum tua antara lain monolit, dolmen, undak batu, limas berundak, pelinggih, patung simbolik, tembok batu, dan jalan batu. Contoh Tradisi Megalitikum Tua adalah punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat.

Tradisi Megalitikum Muda masuk dan menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000 SM - 100 M) dibawa oleh pendukung kebudayaan Dongson (Deutro Melayu) yang berasal dari lembah Song Hong, Vietnam Utara. Umumnya monumen batu yang dibuat tidak hanya menyajikan makna religius namun juga bernilai estetika.    

Ragam tinggalan megalitikum muda antara lain menhir, batu bergores, dolmen, batu lumpang, kubur batu, punden berundak, waruga, sarkofagus, perkakas terbuat dari logam perunggu, phallus (arca menyerupai alat kelamin pria) dan arca-arca dinamis (Von Heine Geldern menyebutkannya sebagai "strongly dynamic agitated").  Contoh tinggalan tradisi megalitikum muda adalah situs megalitikum Pasemah (Basemah) di Sumatera Selatan.

Diperkirakan tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat, berasal dari dataran tinggi Basemah (situs Pasemah). Artinya bahwa tinggalan megalitikum di Lampung Barat termasuk golongan megalitikum muda (younger megalithic) dan sama artinya bahwa leluhur etnis Lampung Barat diduga berasal dari bangsa Austronesia sub bangsa Deutro Melayu yang bermigrasi dari lembah Song Hong, Vietnam Utara.  

Salah satu garis hubung kesamaan antara situs megalitikum Pasemah dengan situs megalitikum di Lampung Barat, khususnya yang berada di dataran subur danau Ranau, adalah kesamaan tutur legenda rakyat (folklore) “si Pahit Lidah dan si Mata Empat” (Van der Hoop,- Megalitics Remains of Sumatera- 1932)

Sebaran tinggalan megalitikum di danau Ranau, berada di sisi utara hingga barat daya sempadan danau, membentuk pola bulan Sabit mulai dari Padang Ratu, Jepara, Surabaya, Subik, Kota Batu, Pagar Dewa (Kabupaten OKU Selatan), Lumbok, Sukabanjar dan Tawan Sukamulya (Kabupaten Lampung Barat).

Phallus (?) dan Figurine Buay Nyerupa (Badan Arkeologi Bandung, 2018)

Sebagian besar tinggalan megalitikum di Lampung Barat memiliki corak statis dan sedikit yang bercorak dinamis. Apakah karena adanya pencampuran budaya atau persaingan ruang hidup antara masyarakat pengusung megalitikum muda dengan masyarakat pengusung tradisi megalitikum tua?, ataukah karena keterbatasan bahan baku batu, dimana sebagian besar adalah batuan tuff yang kasar dan gampang hancur? Nampaknya perlu dikaji lebih lanjut.

Keunikan lainnya terletak pada tinggalan monumen batu, yang hanya dikhususkan untuk tujuan penghormatan kepada roh leluhur. Monumen batu tidak digunakan sebagai tempat penguburan mayat yang menjadi ciri umum tinggalan tradisi megalitikum muda. 

Keberadaan sungai-sungai besar yang ada, tidak hanya menyediakan lahan-lahan subur untuk bermukim dan bercocok tanam, namun berfungsi pula sebagai jalur migrasi penduduk kuno dalam membentuk dan mengembangkan kelompok sosialnya yang baru.

Paling tidak terdapat 4 (empat) zona tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat, yaitu:

(1) Zona danau Ranau

Sebaran situs megalitikum pada zona ini berada pada daerah tinggi sepanjang sempadan danau Ranau di Kecamatan Lumbok Seminung, mulai dari Tanjung Cumalagi pekon Lumbok hingga Tawan Sukamulya.  

Ragam tinggalan Megalitikum di zona ini antara lain: 

Situs punden berundak Batu Andak Way Kenihang (Tawan Sukamulya). Monolit dan batu datar Situs makam Sipahit Lidah dan si Mata Empat (Sukabanjar).  Situs Lumpang Batu (Sukabanjar). Batu datar dan parit Situs Johor (Lumbok). Punden berundak Situs Way Lumbok (Lumbok). Batu datar Situs Pesiwoan (Lumbok).  Punden berundak Situs Ujung Cumalagi (Lumbok). Batu bergambar (batu bertulis) dan Tumulus  situs Keramat Batin Katung (Sukamaju)

(2) Zona Dataran Tinggi Liwa (Liwa Plateau)

Sebaran situs megalitikum di zona ini, umumnya berada di wilayah sungai Way Warkuk dan Way Robok, hingga lembah Batu Brak. Meliputi Kecamatan Sukau, Balik Bukit dan Batu Brak.  

Situs megalitikum yang berada di Zona ini antara lain: 

Arca figurine Tanjung Raya (Sukau), figurine Buay Nyerupa (Sukau), Batu Monolit Tapak Siring (Sukau), Batu Bergores dan Dolmen Situs Cakar Macan Padang Cahya (Balik Bukit), Situs Batu Tumpat Padang Cahya (Balik Bukit), Umpak Batu dan Figurine situs Sukarami (Balik Bukit), Batu Bergores Canggu (Batu Brak), Batu Bergores Pekon Balak (Batu Brak), Menhir dan Dolmen situs Batu Kenyangan (Batu Brak).

Ragam batu umpak, kearifan lokal bangunan tahan gempa (Rusyanti, 2018)

(3) Zona Pesagi – Way Semaka  

Situs megalitikum pada zona ini tersebar dari hulu sungai Way Semaka (gunung Pesagi) hingga ke dataran rendah Suoh, meliputi Kecamatan Belalau, Batu Ketulis, Bandar Negeri Suoh (BNS) dan Suoh.  

Situs megalitikum yang terdata di wilayah ini antara lain: 

Batu bercabang situs batu Kepappang (Belalau), Tumulus Lamban Batin Hujung (Belalau), Umpak batu Kampung Tuha Hujung (Belalau), Batu tapak gajah Argomulyo (Batu Ketulis), Monolit batu Kebayan (Batu Ketulis), Relief (ukiran) batu Buaya Antatai (BNS), Menhir, batu datar, dolmen, figurine dan batu bergores di Situs Batu Sembilan Rowo Rejo (Suoh).

(4) Zona Dataran rendah Gedung Surian  

Situs megalitikum tersebar  di sekitar wilayah sungai Way Campang dan Way Besai, meliputi kecamatan Way Tenong, Air Hitam, Gedung Surian dan Kebun Tebu. 

Tinggalan megalitikum yang ditemukan di zona ini antara lain: 

Punden Berundak, Menhir dan Dolmen Situs Sukananti (Way Tenong). Batu bergores dan parit Mutar Alam (Way Tenong).   Situs Batu Berak Purawiwitan (Kebun Tebu), Batu Jagur Purajaya (Kebun Tebu), Batu Tameng (Kebun Tebu), Menhir dan dolmen Telaga Mukmin (Gedung Surian), Menhir dan Dolmen Situs Bungin (Gedung Surian), batu bergores Gentong ki Haji (Air Hitam).

Situs-situs tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat begitu melimpahnya.  Apa yang disajikan di atas, terkadang hanya tersisa namanya saja.  Banyak monumen-monumen batu yang berubah fungsi menjadi material bangunan, gedung pemerintah, pemukiman, dan bahkan diratakan sehingga tak tampak lagi bahwa disitu pernah ada tinggalan prasejarah penting.  

Desakan ekonomi ditambah ketidaktahuan membuat tinggalan-tinggalan tradisi megalitikum semakin cepat hilang. Melenyapkan bukti-bukti historis bahwa di wilayah ini pernah dihuni oleh masyarakat masa lampau yang cerdas dan tangguh. 

“Begitu banyaknya sebaran tradisi megalitikum sebagai suatu ekosistem kebudayaan terpajang di depan mata, namun nampak seperti “barang usang” yang dipandang tak ada harganya sama sekali. Sayang rasanya informasi tentang rekaman kearifan masa lalu yang harusnya dapat diputar kembali untuk membuktikan nilai-nilai luhur budaya bagi generasi kini, terancam punah tanpa menyisakan satupun kebanggaan untuk  jati diri”.

Semoga Geopark Suoh yang tengah digadang-gadang oleh Pemerintah Daerah Lampung Barat, mampu menyelamatkan aset penting kekayaan Cultural Diversity bumi ini, agar identitas dan jati diri tetap berjunjung kokoh layaknya gunung Pesagi.  Tabik Pun.

Salam Literasi dan Lestari

Referensi:

  • Rusyanti, dkk. 2021. Stay or Leave ? Dinamika Landskap Arkeologi di Sesar Semangko Provinsi Lampung. Karya Terpilih Program Akuisisi Pengetahuan Lokal. LIPI Press.
  • Prasetyo, Bagyo. 2015. Megalitik, Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Galang Press. Yogyakarta
  • Laili, Nurul. 2012. Penghunian, Pemanfaatan, dan Interaksi Pendukung Situs-situs di Kawasan Danau Ranau Lampung Barat. Jurnal Purbawidya Vol.1\No.1\Tahun 2012. Halaman 21-40
  • Sukendar, Haris. 1998. Album Tradisi Megalitik  di Indonesia. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Silaban, M. 1997. Sejarah Daerah Lampung. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilal-Nilai Budaya Lampung. Departemen P & K, Kanwil Propinsi Lampung. 


Rabu, 06 Desember 2023

Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian III)

Tidak banyak postingan saya sebulan terakhir ini, hanya ada satu postingan, itupun bahan yang memang sudah lama saya siapkan sebelumnya.

Akhir-akhir ini, saya malas sekali untuk memulai berbagi informasi melalui tulisan. Padahal banyak sekali informasi yang bisa dipublikasikan, namun entah kenapa berat sekali untuk memulainya. 

Di November ini saja, seharusnya banyak yang bisa diceritakan, mulai dari hari pahlawan, hari guru, hari cinta puspa, hari gemar makan ikan, hari tataruang, hingga terakhir adalah hari Korpri. Namun semua berlalu tanpa ada satupun konten yang sukses mengulasnya.

“Apakah saya terkena yang namanya Writer’s Block ya?” 

Kini kita sudah memasuki bulan Desember, akhir tahun 2023 tak terasa akan pula berlalu. Jadi teringat ungkapan seorang sahabat, “hari kemarin berlalu tinggal kenangan, hari esok belum tentu kita menjumpainya, akankah hari ini akan berlalu pula dengan sia-sia?” 

Menatap pemandangan dibalik jendela kamar, nampak mendung masih berat menggantung di ufuk timur, menutup cahaya mentari pagi dengan angkuhnya. Suhu udara pagi ini begitu dingin. Kabut tipis yang menyelimuti atap-atap rumah dan tajuk-tajuk pohon seperti tabir putih, menyajikan bentuk-bentuk siluet dengan struktur yang kaku di kedua sisi jalan rabat yang membelahnya. Gerimis pelan-pelan mulai turun, membasahi segalanya dengan kelembutan.

Sudah pukul 08.23 WIB, namun suasana di lingkungan Sukamenanti Liwa layaknya seperti waktu suruk. Alam nampak redup, dan hujanpun sudah mulai mempersiapkan aksinya. Sejak kemarin sore, hujan seolah betah turun di lingkungan kami. Iramanya kadang begitu gaduhnya, manakala butirnya menerpa atap-atap rumah yang sebagian besar berbahan seng.  Suasananya membuat diri ingin selalu berbaring dibungkus selimut yang hangat.

Klon Lokal Robusta Tugu Kuning (Trubus, 2022)

Secangkir panas kopi robusta, menjadi teman saya di pagi ini. Aroma robusta memang begitu menggoda, rasa pahitnya pun begitu kuat terasa di lidah. Uniknya dibalik sirnanya rasa pahit, akan tersembul rasa lain, yang mengusik indera perasa untuk lebih tajam menerkanya.

Seruput robusta sudah cukup ampuh mengusir kantuk yang tersisa semalam dan memulihkan kesadaraan yang masih berselimut khayalan. Robusta artinya “kuat”, nampaknya istilah ini memang cocok disematkan untuk minuman berwarna hitam dari benua Afrika ini.  

Terasa hangatnya kopi merembes mengalir dari sisi-sisi cangkir ke kedua telapak tangan yang menggenggamnya, menghangatkan hingga ke lubuk hati.  Uapnya yang membawa aroma kopi yang harum semerbak, seolah menarik-narik sukma agar segera bangkit tinggalkan sejenak kemalasannya.  

Sensasi robusta, seolah mengajak pikiran saya menerawang menikmati indahnya landskap Lampung Barat, layaknya seperti pesawat drone yang terbang memantau dari ketinggian. 

Robusta dianggap sebagai kopi kelas dua dunia, setelah arabika, namun bagi Lampung Barat, robusta merupakan kopi kelas satu. Lebih dari 59,5% dari luas wilayah kabupaten, merupakan perkebunan rakyat yang didominasi oleh tanaman kopi robusta yang menutupi lahannya. 

Hamparan hijau tanaman kopi robusta membentang dari Kecamatan Sumber Jaya di bagian Timur, hingga ke bagian Barat laut di sempadan danau Ranau Kecamatan Lumbok Seminung. 

Dalam ilmu ekologi, kopi robusta termasuk kelompok vegetasi oportunis, yang muncul pada  fase pioneer dari tiga fase dalam proses suksesi suatu ekosistem hutan. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada kondisi tanah dengan pH rendah, dan tahan terhadap paparan penuh cahaya matahari, serta mampu beradaptasi terhadap kondisi tanah yang marginal. Kondisi seperti ini tersedia luas di Lampung Barat yang didominasi oleh lapukan dari formasi batuan vulkanik sekincau, yang masam, dan kurang subur.   

Bunganya yang harum semerbak bak bunga sedap malam, bercampur dengan udara pegunungan yang sejuk, menyuguhkan aroma therapi yang begitu menyegarkan dan juga mistis. Bunga robusta berwarna putih, biasanya mekar di awal musim penghujan di bulan Oktober dan mulai membentuk buah di saat memasuki musim kemarau.

Bunga robusta berbeda dengan arabika. Bunga kopi arabika memiliki benang sari  dan putik berada dalam satu bunga, sedangkan robusta terpisah.  Hilangnya serangga penyerbuk, dan intensitas hujan diatas normal pada fase pembungaan, beresiko akan gagalnya proses penyerbukan bunga robusta menjadi bakal biji.

Fase bunga dan fase buah yang selalu berada pada siklus iklim, membuat tanaman ini, begitu rentannya terhadap perubahan iklim. Dampak El Nino, kekeringan, dan kenaikan suhu yang terjadi dipertengahan tahun silam, seolah mempertegas rapuhnya kopi terhadap iklim.  

Harga tinggi namun nyaris kopi tak berproduksi, tetap saja berkesan pemberi “harapan palsu” bagi sekitar 35.737 rumah tangga yang hidupnya bergantung dengan tanaman ini. Padahal kopi robusta dari Lampung Barat menyumbang sekitar 43,7% produksi “Kopi Lampung”, yang banyak diminati oleh warga Amerika, Jepang dan Mesir. 

Ada 4 (empat) etnis pembudidaya kopi robusta yang handal di Lampung Barat, yaitu suku Lampung, Semendo, Sunda, dan Jawa.  Keempatnya selalu bersaing untuk menghasilkan buah kopi petik merah kualitas terbaik dengan cita rasa yang spesial. 

Kopi memang sudah sejak lama dibudidayakan di daerah yang dahulunya bernama afdeeling Krui ini, bahkan sejak masa pemerintahan kolonial Inggris menguasai Bengkulu hingga tahun 1824.

Pada tahun 1922, luas ladang kopi mencapai  ± 6.382 Ha, dengan produktivitas  berkisar antara 100 kg – 200 kg per Ha, satu abad kemudian, luasnya bertambah menjadi ± 54.674 Ha dengan produktivitas berkisar 900 kg – 1.100 kg per Ha (2022). Tak heran, kopi robusta menjadi pengungkit perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta daya tarik bagi Kabupaten yang terbentuk sejak tanggal 24 September 1991 ini. 

Baca Juga: Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian II) 

Memang masyarakat disini sudah cukup akrab dengan tanaman kopi. Turun temurun “budaya kopi” diwariskan, hingga ke generasi sekarang. Kopi arabika, dan liberika, merupakan jenis kopi yang awal-awal dikenal dan diusahakan di negeri ini. 

“Namun mengapa robusta lebih mendominasi?  dan apakah riwayat Robusta juga sama dengan saudaranya si Arabika, yang dilakukan dengan mengintimidasi rakyat?”

Setengah cangkir larutan kopi robusta sudah pindah ke lambung saya, dan reaksinya mulai terasa naik hingga ke cerebrum yang tersimpan rapih dalam tempurung kepala. Membuka kembali manuskrip-manuskrip lama yang mengendap di laptop, untuk kembali naik ke layar monitor, agar gampang dipelajari oleh si cerebrum yang hanya bernilai 78 ini. 

Popularitas robusta mulai bangkit setelah separuh produksi arabika dunia yang berasal  dari daratan Asia Barat Daya hingga Asia Tenggara, menurun akibat terserang penyakit karat daun. Penyakit karat daun pertama kali ditemukan di pulau Ceylon (Sri Lanka) pada tahun 1869, dan dengan cepat menyerang kopi arabika yang ditanam dibawah ketinggian 1000 mdpl. Penyakit ini mulai masuk dan menyerang tanaman kopi arabika dan liberika di Indonesia pada tahun 1878.

Kopi robusta merupakan tumbuhan endemik ekosistem hutan tropis dataran rendah Kongo. Tumbuhan ini dijumpai dan menyebar di  daerah aliran sungai Zaire yang membentuk dataran rendah Kongo yang subur dan tinggi keanekaragaman hayatinya. 

Sungai Zaire dikenal juga sebagai sungai Kongo merupakan sungai terpanjang ke dua di Afrika setelah sungai Nil. Panjang sungai ini mencapai ± 4.700 km dengan kedalaman mencapai ± 220 m.  Ada sembilan negara di Afrika yang dilalui sungai ini, yakni Angola, Burundi, Kamerun, Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Rwanda, Tanzania, dan Zambia.

Sebelum menjadi Republik Demokratik Kongo, dataran rendah Kongo merupakan wilayah kolonisasi Kerajaan Belgia. Pada tahun 1885-1908, dataran rendah Kongo menjadi “Negara Bebas Kongo”, yaitu wilayah otorita monarkhi obsolut yang secara pribadi dimiliki oleh Raja Leopold II dari Kerajaan Belgia. Tahun 1908 – 1965, kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belgia menjadi Belgian Congo. 

Di dataran rendah inilah, kopi robusta dibudidayakan pertama kalinya oleh masyarakat yang mendiami sungai Lomami, yaitu salah satu dari anak sungai Kongo.  Budidaya kopi robusta oleh masyarakat sungai Lomami dilakukan sejak tahun 1870, mereka menyebut kopi robusta dengan nama “kouillou”, yang lama kelamaan berubah menjadi “conilon”.   

Spesimen kopi robusta pertama kalinya diperkenalkan di Eropa oleh seorang ahli botani Belgia yang bernama Louis Pierre pada tahun 1895. Kemudian diberi nama botani sebagai spesies baru  “Coffea canephora Pierre ex A. Froehner” pada tahun 1897.  Di tahun 1898, pakar botani Belgia bernama Edouard Luja mulai melakukan penelitian lebih lanjut terhadap spesies baru kopi ini.  Sejak saat itu Kongo dan Belgia menjadi Pusat Penangkaran spesies kopi robusta di dunia. 

Kopi robusta masuk ke Indonesia sekitar tahun 1901. Didatangkan oleh Perusahaan Kolonial Belanda bernama Sumber Agung (Jawa Timur). Sebanyak 150 bibit kopi robusta didatangkan langsung dari kebun penelitian hortikultura yang berada di Kebun Raya Brussel (Belgia) yang bernama “Jardin botanique national de Belgique”.  Kopi ini diyakini tahan terhadap serangan penyakit karat daun.

Hingga tahun 1907, seluruh tanaman kopi di pulau Jawa yang rusak akibat karat daun mulai tergantikan oleh kopi robusta. Sekitar tahun 1910, kopi robusta mulai diperkenalkan oleh perusahaan perkebunan Belanda hingga ke pulau Sumatera, khususnya di wilayah sumatera bagian selatan.

Baca Juga: Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian I)

Untuk wilayah Lampung Barat sendiri, kemungkinan kopi robusta pertama kalinya diperkenalkan kepada masyarakat oleh perusahaan perkebunan Belanda bernama “Sapatuhu” yang berada di Banding Agung (Kabupaten OKU Selatan), yang diperkirakan antara tahun 1911-1912. 

Sulit sekali mencari literatur tentang perusahaan Belanda “Sapatuhu” ini. Satu-satunya tulisan tentang perusahaan ini, berada dalam laporan Barlage tahun 1934, itupun tentang peranan perusahaan ini dalam menyelamatkan korban gempa bumi di distrik Ranau pada tanggal 25 Juni 1933. 

Tahun 1915, di afdeeling Krui pernah diberitakan tentang kopi yang oleh masyarakat Krui waktu itu dijuluki dengan nama “kopi enak Krui”. Bahkan “kopi enak” ini sampai di ekspor ke Amerika Serikat dengan kapal uap dan dikemas secara khusus, agar cita rasanya tidak rusak selama diperjalanan. 

Cara kemasan khusus ini kemudian menjadi standard baku pengiriman biji kopi yang dikenal pada saat itu dengan nama “Standard Kopi Bengkulu”.  

"Apakah “kopi enak” ini adalah penjelmaan dari  kopi robusta?"

Sayang, literatur yang saya peroleh masih sangatlah minim, pada akhirnya selalu saja menempatkan pada rasa penasaran yang tinggi. Ternyata kisah tentang kopi Lampung Barat  masihlah panjang untuk dituturkan.

Satu abad sudah kopi robusta bersemi di bumi Lampung Barat, hikmahnya adalah bahwa dari bumi Skala Brak ini melahirkan klon unggul lokal atau varietas lokal kopi robusta yang terkenal hingga penjuru nusantara. 

Ada 4 (empat) jenis varietas atau klon robusta asal Lampung Barat yang terkenal hingga daerah Pagar Alam (Sumatera Selatan) dan Temanggung (Jawa Tengah), yaitu klon kopi robusta Tugu Kuning (KOROLLA 1), Tugu Hijau (KOROLLA 2), Lengkong (KOROLLA 3) dan Bodong Jaya (KOROLLA 4).  Kata “KOROLLA” sendiri  merupakan kepanjangan dari KOpi RObusta Liwa Lampung BArat.

Adalah pak Wiyadi, seorang petani kopi asal dusun Bodong Jaya (kecamatan Sumber Jaya) yang memperkenalkan dan mempraktekan pertama kalinya stek “entres” kopi lokal asalan dengan klon kopi robusta unggulan, di tahun 1978. Dari upayanya inilah kemudian melahirkan berbagai varietas unggulan lokal kopi robusta yang kini dikenal dengan nama KOROLLA.   

Walaupun penikmat kopi terus berganti disetiap generasi, namun selalu saja berakhir pada kesimpulan yang tetap sama. 

“Nikmatnya kopi robusta karena sensasi dibalik rasa pahitnya, dan rasa ini selalu ada, karena loyalitas ampas kopi yang mendampinginya”.  

Seruput kopi robusta, harusnya semakin menyadarkan kita, bahwa dibalik kesuksesan seorang pemimpin adalah karena adanya dukungan staff yang handal. 

Hujan desember pun mulai turun dengan lebatnya, mengikis dan menyapu bersih kotoran yang ada, tak terkecuali ampas kopi yang saya buang disela-sela tanaman begonia.  

Semoga diakhir derasnya hujan desember, akan terbentuk ruang baru bagi tunas-tunas muda untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang  lebih baik dari sebelumnya ....   

Salam Lestari


Referensi:

  • Randriani, Enny, dan Dani. 2018. Pengenalan Varietas Unggul Kopi. IAARD PRESS. Jakarta. 
  • Sejarah Kopi Hingga Menjadi Minuman Terpopuler (Link:  https://whitecoathunter.com/sejarah-kopi-hingga-menjadi-minuman-terpopuler/)
  • "Sejarah Penemuan Kopi Robusta", (Link: https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/28/060000579/sejarah-penemuan-kopi-robusta?page=all)
  • Dua Varietas Kopi Baru dengan Produktivitas Tinggi (Link: https://trubus.id/dua-varietas-kopi-baru-dengan-produktivitas-tinggi/)


Kamis, 30 November 2023

Bagaimana danau Asam dan danau Lebar terbentuk di Cekungan Suoh?


Danau Suoh, yang berada di pekon (desa) Sukamarga, Kecamatan Suoh, merupakan salah satu destinasi wisata unggulan di Kabupaten Lampung Barat.  Danau Suoh terletak di dalam zona pemanfaatan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, seluas ± 1.350 Ha.  Berwisata di kawasan danau Suoh, tidak hanya menyuguhkan eksotisme alam dari empat danau yang berada di dalam zona ini, akan tetapi juga fenomena vulkanologis yang menjadi jejak geologi yang pernah terjadi. 

Depresi Suoh, kawah Nirwana, pasir kuning, kawah Gumurak, Keramikan, kawah Kopi, padang Savana, danau Lebar, danau Asam, danau Minyak, dan danau Belibis, menjadi warisan geologi yang tidak hanya menambah khazanah kebumian, namun berpeluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Van Bemmelen (1934), seorang pakar geologi Belanda,  mengelompokkan dataran rendah Suoh (depresi Suoh) kedalam depresi Vulkano-Tektonik, dimana prosesnya diperkirakan terjadi sejak Era Kenozoikum di akhir Zaman Neogen dan awal periode Kuarter - berdasarkan skala waktu geologi. Hasil survey geologi yang dilakukan Van Bemmelen pada tahun 1930, mendeskripsikan bahwa dataran rendah Suoh merupakan hamparan rawa-rawa yang menjadi area limpasan banjir sungai Way Semangka, dimana  terdapat hanya satu zona solfatara di Way Peros yang terletak di barat laut cekungan Suoh.

Baca juga: Warisan Geologi itu bernama Suoh  

Peristiwa gempa bumi hebat dengan kekuatan diatas 7.0 M, pernah terjadi di dataran tinggi Liwa pada tanggal 25 Juni 1933 (secara rinci pernah dilaporkan oleh Berlage, 1934).  14 hari paska gempa bumi, memicu peristiwa vulkanik yang dahsyat, sehingga merubah landskap cekungan Suoh, seperti keadaannya yang sekarang terlihat.  Banyak yang belum  mengetahui, bahwa karena peristiwa itulah, danau Asam dan danau Lebar mula-mula terbentuk.   

Pada postingan kali ini, jejakerwinanta mencoba meresume catatan dari ekspedisi Dr. CH. E.  Stehn, seorang pakar vulkanologi Belanda yang melaporkan pertama kalinya perisitiwa erupsi vulkanik di depresi Suoh melalui Jurnal berbahasa Belanda  yang terbit tahun 1934.   

Di bagian awal dari laporannya, Stehn menceritakan bahwa kejadian bermula pada tanggal 10 Juli 1933 sekitar pukul 05.40 waktu Sumatera Selatan (tanggal 9 Juli 1933 pukul 22.40 waktu Greenwich).  Penduduk di selatan Sumatera (Lampung) dan bagian barat pulau Jawa (Banten), dihebohkan dengan suara dentuman keras, dan diikuti keadaan langit yang tiba-tiba berubah menjadi gelap. 

Suasana yang tidak biasanya ini, terutama dirasakan oleh penduduk yang bermukim di  wilayah Teluk Betung (Bandar Lampung) hingga Kota Agung (Tanggamus). Apalagi pada pukul 09.30 mulai turun hujan abu halus berwarna putih kelabu menutupi segalanya, bahkan kawasan Kota Agung seolah diselimuti oleh lapisan salju. 

Keadaan ini mengingatkan penduduk akan peristiwa meletusnya Krakatau pada 27 Agustus 1883 silam. Tidak mengherankan jika suasana alam yang terjadi di pagi hari itu, menimbulkan kepanikan.  Banyak penduduk yang kemudian bersiap-siap untuk mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Hujan abu berlanjut hingga pukul 14.00, kemudian kembali lagi turun pada pukul 16.00 sampai pukul 21.00.

Petugas Pengamat Vulkanologi Pasauran di pantai barat Banten (Selat Sunda), mencatat sejak pukul 06.10 pagi telah mendengar sebanyak 7 kali suara  dentuman keras yang menyerupai rentetan tembakan meriam kapal perang, dari arah yang tidak diketahui. Arah suara bukan berasal dari gunung Krakatau, namun dari daratan pulau Sumatera dengan awan fumarol yang nampak samar-samar dari jarak yang jauh. 

Kantor Royal Magnetic and Meteorological Observatory (lembaga BMKG milik kerajaan Belanda) di Batavia menerima sejumlah besar laporan kejadian suara letusan dari Sumatera, pulau Bangka, pulau Enggano dan Jawa. 

Perangkat seismograf di observatorium meteorologi Batavia mencatat adanya gempa bumi yang tidak diketahui asalnya antara pukul 05:03 - 05:10, yaitu sebelum peristiwa ledakan terjadi, dan antara pukul 06.00 - 06:15, dengan pola karakter yang tidak biasa, yakni berupa enam kali guncangan pendek yang tidak kuat. Pola ini menunjukan bahwa getaran yang tercatat disebabkan karena pengaruh tekanan udara, akibat gelombang ledakan yang sangat dahsyat. Suara ledakan terdengar hingga di Kuala Tungkal (Jambi - Sumatera) yang berjarak sekitar ± 510 km, dan di Kebumen (pulau Jawa) yang berjarak ± 660 km dari sumber ledakan.

Penggambaran fenomena ledakan secara jelas, pertama kalinya disampaikan oleh Tuan H. WIJNSTOK, kapten kapal uap “van der Hagen” dari Royal Packetfahrt Company (KPM), yang tengah berlayar dari Bengkulu menuju Batavia.  WIJNSTOK, mengilustarikan awan letusan seperti “Kembang Kol Raksasa”  yang muncul dari balik punggung bukit Barisan.  Masyarakat di Krui meyakini asal awan letusan dan abu vulkanik berasal dari letusan (erupsi) kawah Belirang gunung api Sekincau.

Lokasi depresi Suoh, asal suara letusan dan awan vulkanik (Stehn, 1934)


Baca juga: Danau Suoh : Jejak Erupsi Freatik pada JalurTektonik 

Pada tanggal 14 Juli 1933, - 4 hari setelah peristiwa letusan - Stehn tiba di Krui, menumpang kapal uap KPM “van Neck”. Kedatangan Stehn adalah untuk melakukan penyelidikan tentang erupsi kawah Belirang yang menghasilkan letusan dahsyat pada tanggal 10 Juli 1933. Atas informasi dari pegawai KPM Krui dan beberapa laporan yang disampaikan dari pejabat pemerintah di Liwa, diketahui bahwa lokasi munculnya awan berbentuk “kembang kol raksasa” diyakini dan dikonfirmasi berasal dari cekungan Suoh.

Perjalanan ekspedisi menuju Suoh, - Stehn - didampingi oleh komandan detasemen gendarmerie perusahaan KPM, tuan J. JAHN dengan beberapa personilnya. Pada hari pertama, ekspedisi batal dilaksanakan karena banyaknya tanah longsor, batang pohon tumbang, dan lain-lain akibat gempa tanggal 25 Juni, belum sepenuhnya dibersihkan, sehingga menghalangi rute perjalanan. 

Atas bantuan pejabat Pemerintah Krui: tuan H. HAHMANN, Tuan J. JAHN dan personil pasukannya dan pengawas pekerjaan umum (B.O.W.) Tuan SETIA, dengan susah payah pada akhirnya mereka dapat mengatasi persoalan tersebut dan meneruskan perjalanan menuju Suoh.

"Setiba di daerah Kubu Tengah (wilayah pekon Tebaliokh, Kecamatan Batu Brak) yang berjarak ± 28 km dari Liwa dan ± 23 km dari cekungan Suoh, kami menemukan bukti pertama kejadian erupsi gunung berapi, berupa material padat (eflata) vulkanik, berumur tua, berwarna putih seukuran buah kenari, dan gampang lapuk.  Di lokasi inilah, kami kemudian mendirikan bivak  pertama yang difungsikan pula sebagai Basecamp Perantara”.
“Semakin mendekati dataran Suoh, semakin sering kami menjumpai material ejecta (partikel-partikel yang terlempar pada saat terjadi letusan gunung berapi), namun Kami tidak menjumpai adanya serpihan lava segar (bom vulkanik) dan juga partikel lapili, yang merupakan material penciri umum suatu erupsi magmatik gunung berapi”.

“Di pertengahan antara Kubu Tengah dan Antatai untuk pertama kalinya, kami mendengar suara ledakan. Mantri MARHASSAN yang pada saat itu berangkat pulang dari Kubu Tengah menuju Liwa, mencatat ada beberapa kali suara ledakan, antara pukul 11.39 hingga 12.54, dimana 6 diantaranya merupakan yang paling kuat”.

“Memasuki  “Horst” Antatai (sekarang bernama pekon Bumi Hantatai), mulai terdengar suara-suara riuh, layaknya suara deburan ombak yang bergemuruh. Asal usul suara masih belum terlihat secara jelas, karena di bagian selatan antara horst Antatai dan cekungan Suoh terhalang oleh punggung bukit".
"Atas saran penduduk setempat, kami menyeberangi sungai Way Semangka ke arah sisi timur laut dari cekungan Suoh dan menemukan lokasi ideal untuk menempatkan teropong pengamatan, di sebuah bukit berketinggian ± 300 m, yang terletak di atas dusun Negeri Ratu (sekarang pekon Suoh). Di tempat ini, kami kemudian mendirikan bivak sebagai Pos Pengamatan.  Jarak antara pos pengamatan dengan area letusan ± 5 km".

A. Cekungan Suoh Sebelum Peristiwa Letusan

Menurut peta topografi terbitan Batavia tahun 1922, cekungan Suoh (depresi Suoh), terletak pada ketinggian 240 m di atas permukaan laut, pada koordinat di 5o 14' LS dan 104o 16' BT.  Sebelum peristiwa letusan, hamparan Suoh berbentuk seperti belah ketupat, mengikuti diagonal dengan arah Barat Laut – Tenggara sepanjang ± 13 Km dan Timur Laut – Barat Daya sepanjang ± 8 km. Ditengah-tengahnya mengalir sungai Way Semangka dari arah utara ke selatan.    

Hamparan dataran Suoh merupakan rawa-rawa yang luas, sebagai kantong banjir dan sedimen sungai Way Semangka, sebagian besar areanya ditutupi oleh semak belukar dan vegetasi rawa-rawa, kecuali di bagian barat laut dimana sumber air panas  Way Peros berada. Tanahnya yang menghasilkan fumarol, solfatara, dan sinter Silika, menyebabkan lahan di sekitar Way Peros menjadi gundul dan tidak ada satupun vegetasi dapat tumbuh diatasnya.   

Mata air panas Wai Peros memiliki kisaran suhu 97oC - 98oC, yang tersebar dalam jarak satu kilometer di sepanjang teras tebing patahan dan mengandung endapan Sinter Silika. Kadang-kadang air panas menyembur seperti air mancur (geyser). Pada teras sinter Silika, khususnya arah selatan Way Peros, dijumpai banyak endapan belerang.

Teras Sinter Silika Way Peros (Van Bemmelen, 1930)


Hasil pengamatan yang dilakukan oleh VAN BEMMELEN di hamparan Suoh tahun 1930, tidak menemukan material magmatik segar  atau berbentuk layaknya gunung api berkaldera. Van Bemmelen melihat hamparan Suoh layaknya lapangan solfatar, seperti Kawah Kamojang atau Kawah Ciwidey di Pulau Jawa, atau mirip dengan lapangan solfatar Ulubelu yang letaknya ± 36 km di tenggara Suoh (VAN BEMMELEN, 1931).

Pada tahun 1910, PHILIPPI melakukan Survei Topografi di dataran rendah Suoh, termasuk area pegunungan disekitarnya. Ia menyebutkan adanya sebuah gunung berapi kecil di bagian tenggara dari bukit Penetoh, dan menghasilkan sumber air panas (1917). 

Permukaan kalderanya hanya berdiameter beberapa dekameter saja. Lapisan belerang  muncul di sisi luar  menghadap ke arah timur.  Oleh penduduk setempat gunung api kecil ini disebut sebagai  “Gunung Belirang”. Namun nama ini tidak dicantumkan pada peta Topografi tahun 1922. Inilah yang kemudian menjadi penyebab terjadinya kekeliruan dugaan terhadap gunung berapi Sekincau-Belirang pada saat pertama kali pelaporan erupsi disampaikan.

Tidak pernah ada laporan wabah penyakit yang menyerang penduduk di dataran Suoh, namun menurut penyelidikan PHILLIPI (1911), bahwa penduduk yang ada saat ini, bukanlah masyarakat lama yang turun temurun mendiami daerah ini. 

Pendapat PHILLIPI didasari dari  temuan relief prasejarah berbentuk "buaya" di Antatai, dan masyarakat setempat mengatakan bahwa relief tersebut sudah ada ditemukan pada saat mereka mendirikan pemukiman di lokasi ini. 

Oleh karena itu, PHILLIPI berasumsi bahwa dahulunya tempat ini pernah didiami oleh penduduk kuno dan karena suatu sebab mereka meninggalkan permukimannya. Kemungkinan besar penyebabnya adalah karena adanya faktor bencana akibat aktivitas vulkanik yang pernah terjadi di dataran Suoh sebelumnya.

“Selain Gunung Belirang, sebelum erupsi terdapat “gunung api kecil” lainnya di lapangan solfatar Suoh, yaitu Pematang Bata, Gunung Ratu, dan Gunung Agung. Pematang Bata berada di tengah-tengah, karena alasan tersebut, nama ini, Saya gunakan sebagai kompleks letusan Pematang Bata”.

B. Cekungan Suoh Setelah Letusan.

Tampilan cekungan Suoh,  menjadi sangat berbeda setelah letusan terjadi. Sebagian besar datarannya menjadi hamparan terbuka, porak poranda, dan tertutup lapisan lumpur serta batu vulkanik yang berwarna keabu-abuan. 

Aliran  sungai Way Semangka tertimbun material letusan, sehingga membentuk aliran baru di sisi timur laut.  Menggerus dan merusak persawahan dan membanjiri pemukiman dengan lumpur yang mengandung pasir dan kerikil. Sungai Semangka mengalami sedimentasi parah, berbahaya, dan merusak. 

Sawah, ladang dan kebun di tempat lainnya juga mengalami kerusakan akibat tertimbun lumpur dan material yang terlontar saat  letusan terjadi. Di bagian paling utara, dimana aliran air sungai Way Semangka memasuki hamparan Suoh, mengalami sumbatan, sehingga membentuk genangan air seperti telaga yang menyebabkan hutan-hutan yang berada di sekitar lembah horst Antatai terendam.

Penduduk yang rumahnya telah rusak saat gempa tanggal 25 Juni, kini kondisinya semakin parah dan tidak lagi dapat dihuni. Sebagian besar pemukiman dan ladang yang berada di selatan dataran Suoh, sudah banyak ditinggalkan oleh penduduknya, mengungsi dan berpindah ke wilayah Kota Agung (Kabupaten Tanggamus).

Cekungan Suoh sebelum letusan (kiri) dan setelah letusan (kanan) (sumber; Stehn, 1934)

Peristiwa letusan yang terjadi di hamparan Suoh, menyajikan fenomena vulkanologi yang menakjubkan. Observasi yang dilakukan oleh Stehn pada tanggal 16-19 Juli, memberikan catatan penting tentang fenomena tersebut.

“Aktivitas vulkanis yang ditampilkan pada medan letusan, menyajikan atraksi alam  yang sangat luar biasa. Kesan pertama yang saya lihat, bahwa keadaan ini mirip sekali dengan atraksi vulkanik yang ada di “Lembah Seribu Uap”  gunung berapi Katmai di Alaska yang sangat terkenal itu. Hamparan Suoh seperti miniatur dari penggambaran lembah tersebut". 
"Banyak terbentuk ventilasi, yakni lubang atau rekahan di tanah dimana gas vulkanik keluar kepermukaan tanah. Gas vulkanik  yang keluar dari ventilasi, berupa kolom uap berwarna putih (fumarol) dan  massa air panas (geyser) berukuran kecil maupun besar, bermunculan dipermukaan daratan lebih dari seratus tempat. Massa uap dan air panas berhembus keluar dari lubang-lubang ventilasi dengan tekanan yang kuat seperti air mancur, dan menghasilkan suara gemuruh yang keras”. 

“Diantara ratusan ventilasi tersebut, ada tujuh diantaranya yang menghasilkan kolom uap air terbesar dan paling menonjol, yang saya tandai dengan angka I-VII, dimana nomor urut I-V berada di dalam area kawah besar, nomor VI berada di dalam area kawah kecil, dan  nomor VII berada di antara kawah besar dan kawah kecil”.

Aktivitas vulkanik ini  terlihat jelas di dalam area berukuran panjang ±  5 km dan lebar rata-rata ± 1,5 km.  Letusan yang terjadi telah menyisakan dua lubang besar membentuk kawah besar diatas permukaan tanah. 

Kawah yang terbesar, berada di sebelah barat, berukuran panjangnya ± 2 km (dari Barat ke Timur) dan lebar ± 1,5 km (kini menjadi danau Asam).  Permukaan dasar kawah besar tertutup lumpur, dan didalamnya banyak terbentuk ventilasi-ventilasi kolom uap air baru yang menyebabkan ledakan uap terjadi di sana-sini antara tanggal 16 dan 19 Juli 1933.

Kawah yang berukuran lebih kecil,  terletak membentang sejajar dengan dinding sesar barat daya dan timur laut cekungan Suoh, dengan ukuran panjangnya ± 1,5 km lebar ± 500 m (kini menjadi danau Lebar).  Permukaan dari dasar kawah yang lebih kecil tidak terlihat. Di sisi utaranya terbentuk tebing  setinggi ± 50 - 60 m (saat ini menjadi area savana alang-alang). Di sini pun massa uap muncul di berbagai tempat. Pada perpanjangan ujung selatan kawah ke arah tenggara bermunculan sejumlah fumarol yang berbeda.

Gempa sebelumnya telah menyebabkan retakan lapisan kerak bumi yang memanjang di sisi barat daya cekungan Suoh, sejajar dengan dinding sesar Pematang Sawah. Sepanjang jalur retakan ini ditandai dengan kemunculan deretan fomarol.  Fumarol yang cukup kuat terlihat di daerah kaki bukit Horst Antatai di bagian Utara kawah besar (Ventilasi II) dan di antara kawah besar dan kawah kecil (Ventilasi VII).

Aktivitas Fumarol di ventilasi V. Punggung bukit di latar belakang foto adalah tebing patahan Pematang Sawah (kini menjadi desa Suka Marga hingga Tugu Ratu, Kec. Suoh). Ventilasi V ini kini bernama Keramikan dengan nama kawah kopi

Pada tanggal 16 Juli 1933 pukul 13.19 dari ventilasi II,  III dan VII terjadi fenomena unik dengan keluarnya gas belerang yang menyebabkan terjadinya api berwarna biru (Ketika gas belerang dari dasar kawah naik ke permukaan dan teroksidasi di udara, terjadilah reaksi kimia yang menghasilkan nyala api berwarna biru yang indah, mirip api biru gunung Ijen).

Selama mengamati zona letusan, kolom uap ledakan tertinggi terjadi pada tanggal 17 Juli yang melontarkan material lumpur basah berwarna kelabu tua setinggi 1100 m, sedangkan uap air berbentuk awan putih bergulung hingga ketinggian lebih dari 2000 m (saat ini menjadi danau Minyak).  

Letusan besar pada tanggal 17 Juli terjadi pada pukul 20.00, mengirimkan material lumpur basah dan awan letusan hingga mencapai  bivak pengamatan yang berjarak ± 5 km, seperti hujan gerimis membawa lumpur basah yang lengket, menempel di dedaunan, piring, perkakas masak, dan tenda. Ledakan dahsyat tersebut disertai dengan getaran pada tanah yang terasa dengan jelas.


letusan tanggal 17 Juli 1933, melontarkan lumpur basah setinggi ± 1.100 m dengan ketinggian uap ±  2.000 m (area letusan kini menjadi danau Minyak)

"Pada tanggal 19 Juli, Kami putuskan untuk melakukan pengamatan lebih dekat ke zona letusan. Setelah berjalan sekitar 3 jam melintasi semak dan mengikuti jalur-jalur perlintasan gajah, kami tiba di kaki bukit Horst Antatai. Dihadapan kami mulai tampak tanda-tanda kehancuran, seperti terkena suatu tenaga hempasan yang sangat kuat."  

Semak-semak di sepanjang tebing Horst Antati hancur dan porak poranda. Pohon-pohon berukuran besar seolah tercabut dari tanah dan tumbang bersama akar-akarnya, dan ada pula yang tinggal menyisakan tunggul-tunggul pohon dengan kulit kayu yang tercabik-cabik, yang dikelilingi oleh tumpukan patahan tajuk tanaman, ranting, liana, dan rumpun bambu yang berserakan disekitarnya.

"Tekanan udara dan lumpur yang terlontar akibat ledakan menghasilkan daya rusak yang hebat. Hal ini dapat dilihat dari kerusakan yang dihasilkannya, semak belukar yang porak poranda, posisi pohon tumbang dengan arah yang sama, dan kulit-kulit pohon yang terkoyak, serta paparan material lumpur setebal 30 cm yang menempel di antara tunggul dan akar dari pohon sejenis Ficus yang kami jumpai di lokasi ini. Namun tidak satupun batang pohon yang kami temui rusak karena hangus atau terbakar."

Kini dihadapan kami terbentang lebar hamparan terbuka yang penuh dengan lapisan lumpur tebal dan bebatuan berwarna abu-abu kecoklatan menutupi tanah dan batang pohon yang tumbang. Bau aneh tanaman busuk bercampur lumpur vulkanik tercium dari sana. Batang-batang pohon yang tumbang, tersusun sejajar satu sama lain dengan arah rebah yang sama yakni ke arah barat laut.

"Susah payah kami melewati hamparan lumpur dingin ini, karena lumpur yang nampak keras dipermukaannya, pada kenyataannya memiliki rongga yang dalam dibawahnya, sehingga tidak jarang kami terperosok ke dalam lumpur, yang untungnya bukan lumpur panas. Kami membekali dengan tongkat kayu sepanjang ± 1,25 m, guna memandu langkah kami menemukan jalan yang aman, karena adakalanya kami mendapati titik dimana tongkat kami tidak mencapai tanah padat di bawah lapisan lumpur yang akan kami lalui!"

“Mendekati area pusat letusan yang berukuran panjang 7 km dan lebar 5 km, semakin sulit untuk dilalui, karena massa lumpur yang terlalu lunak dan dalam.  Tidak ada pepohonan maupun semak yang terlihat di dalam hamparan ini.  Kami terpaksa berhenti di tepi hamparan pusat ledakan, dikarenakan kondisi medan yang tidak memungkinkan untuk diteruskan.  Oleh karena itu, pengukuran mengenai dimensi kawah dan zona paparan tidak dapat dilakukan secara terperinci dan hanya berdasarkan pendugaan”. 

Diperkirakan kedalaman kawah besar mencapai ± 20 m, dan di sisi timur terendam oleh air.  Kedalaman alas kawah kecil tidak dapat dilakukan pendugaan, karena sulit dijangkau. Luas permukaan lahan yang tertutup lumpur (zona kerusakan) sekitar 35 km2

Jika sekarang diasumsikan bahwa tinggi air di bagian timur dari kawah besar sama dengan tinggi muka air permukaan dataran rawa sebelum ledakan, maka ketebalan massa ± 20 m (sedalam cincin alas kawah besar). Jika kita asumsikan lebih lanjut, ketebalan material dari pusat letusan (kawah besar) hingga tepi luar dari zona paparan letusan, diperoleh rata-rata material yang menimbun daerah ini setebal ± 6 m, sehingga dapat dihitung jumlah material yang dimuntahkan dari letusan  diperkirakan mencapai ± 210 juta m3.

Sumber ledakannya mungkin tidak terlalu dalam. Hal ini didukung dari posisi arah rebah pepohonan yang mengarah ke sisi barat dan barat laut dari kawah. Sayangnya, kondisi dataran tersebut tidak memungkinkan dilakukan penyelidikan dalam jarak terdekatnya. Guna mengetahui apakah fenomena tumbangan pohon secara radial juga terjadi di bagian barat daya dan selatan dari pusat ledakan.

Menghitung kedalaman titik ledakan berdasarkan permukaan dua kawah ledakan dan jumlah material yang dikeluarkan secara rinci sangat beresiko karena berbagai faktor tidak pasti atau tidak diketahui. Luas permukaan kawah besar diduga ± 1.600.000 m2 (160 Ha) dan kawah kecil sekitar 400.000 m2 (40 Ha). Jadi perbandingan kedua permukaan tersebut adalah 4:1.

Jika sekarang kita berasumsi bahwa titik ledakan di bawah kedua kawah terletak pada material yang homogen dan pada kedalaman yang sama, maka volume material vulkanis yang dikeluarkan dari pembentukan kawah besar sebanyak ± 144.000.000 m3 dan ± 36.000.000 m3 dari kawah kecil. 

"Untuk memudahkan perhitungan kedalaman pusat ledakan, diasumsikan bahwa kedua kawah yang terbentuk seperti corong (kerucut) dengan memiliki permukaan atas berbentuk melingkar. Kemudian berdasarkan dugaan volume yang dikeluarkan, maka titik letusan diperkirakan sedalam ±  270 m".

Meski rajin melakukan pengintaian di malam hari, tidak dijumpai adanya bara api yang terdeteksi, bahkan dari ledakan tertinggi dan terkuat sekalipun. Berbagai laporan sebelumnya bahwa peristiwa letusan yang disertai adanya bara api atau awan panas, kini mulai terkoreksi, karena faktanya, justru masyarakat yang bermukim di sisi utara depresi Suoh tidak pernah melihat adanya bara api, bahkan saat ledakan besar terjadi pada tanggal 10 Juli 1933.  

Namun masyarakat setempat mengakui melihat adanya  kilatan cahaya yang tidak terhitung jumlahnya, sebagai akibat proses elektrifikasi, yang dikenal sebagai petir vulkanis. Bukti lapangan juga menunjukan bahwa vegetasi yang hancur di punggung bukit di sisi barat laut dekat dengan kawah besar tidak menunjukkan sedikitpun bekas hangus atau terbakar oleh bara api, atau awan panas.

hamparan di timur laut cekungan Suoh yang hancur, terlihat pohon yang tumbang ke arah barat laut (Foto Stehn, 19 Juli 1933)

"Fenomena yang diamati selama ledakan dan fakta bahwa, tidak ditemukan partikel lava segar dan tidak dijumpai adanya tanda-tanda terbakar (pengaruh panas tinggi) terhadap vegetasi yang tumbang, mengarah pada kesimpulan bahwa letusan yang terjadi pada cekungan Suoh termasuk kedalam jenis letusan atau erupsi semivulkanik atau freatik."

Ledakan uap semivulkanik juga diketahui terjadi di tempat lain di Hindia Belanda. Letusan uap dan lumpur (letusan freatik) dengan ukuran yang lebih kecil pernah beberapa kali terjadi di ladang solfatar Kawah Kamojang, dan Kawah Cibeureum (Gunung Salak) (Buletin 1927-1933). Di antara yang lebih besar, ledakan freatik terjadi  di Kawah Baru (gunung Papandayan), yang terjadi pada tahun 1923-1925. Peristiwa tersebut telah dilaporkan secara  rinci oleh TAVERNE (1925).

Pada tanggal 28 Juli ada laporan di Liwa bahwa ketinggian letusan dan intensitas kebisingan telah menurun. Residen Bengkulu Tuan W. GROENEVELDT berkunjung ke Suoh pada tanggal 30 dan 31 Juli 1933. Angin mendorong gas dan uap vulkanik ke arah barat laut sehingga rombongan di lokasi bencana terhindar dari terpaan uap vulkanik.   

Dari lokasi bivak Pengamatan di atas Negeri Ratu, terlihat sebanyak  49 tempat yang menghasilkan  fumarol. Sebagian besar letusan yang terjadi selama residen berkunjung pada tanggal 30 Juli adalah letusan yang relatif kecil, tertinggi mencapai± 600 m.

Terjadi dua kali ledakan kuat pada tanggal 31 Juli 1933 di Suoh. Di  Antatai, tempat rombongan bermalam, terlihat awan letusan membubung tinggi di atas Horst Antatai. Ledakan tersebut disertai gempa dahsyat yang juga dirasakan di Liwa dan Kruï.

"Pada tanggal 5 Agustus 1933, laporan terkini dari Antatai diterima di Liwa. Deru ledakan menjadi jauh lebih lemah, namun letusan kecil tetap terjadi. Penduduk terakhir yang ada di Antatai bermigrasi ke dataran tinggi Liwa, sehingga seluruh permukiman yang berada dalam radius 18 km dari zona letusan kini tidak lagi berpenghuni."

"Sulit dibayangkan betapa besar dampak ledakan tanggal 10 Juli bagi masyarakat yang tinggal hanya 4 km jauhnya di sisi timur laut dataran tersebut. Ledakan dahsyat, desisan, raungan dan terpaan badai, hembusan uap dan sejumlah besar batu serta lumpur hingga ketinggian yang sangat tinggi, batu dan pasir yang berjatuhan, pelepasan listrik statis (kilat), suara serta tekanan udara ledakan, serta gempa bumi, seolah mengejar dan mengintimidasi penduduk hingga ke tempat-tempat tinggi." 

"Menurut keterangan masyarakat, tekanan udara dari gelombang ledakan terasa begitu kuatnya menyebabkan berbagai rumah yang terlanjur rusak akibat gempa tanggal 25 Juni menjadi ambruk total."

Letusan semivulkanik di Pematang Bata yang mula-mula terjadi pada tanggal 10 Juli 1933 termasuk yang paling dahsyat di dunia dari jenis erupsi freatik, seperti yang terlihat dari  luas zona letusan, dan radius suara ledakan yang terdengar.  

Ekspedisi yang dilakukan Stehn dalam mengamati fenomena letusan Suoh, bisa jadi menjadi alur tracking yang dapat memperkaya nilai Geopark Suoh. Mulai dari spot di Kubu Tengah, “Horst” Antatai, lokasi Teropong Pengamatan di “Negeri Ratu”, dan air panas way Kunjir, akan menjadi moment napak tilas guna turut merasakan kembali bagaimana dahulunya Stehn dan warga setempat mengamati fenomena erupsi freatik di Cekungan Suoh, dengan adrenalin tinggi.


Salam Lestari.

 

Referensi:

Merangkum dari jurnal berjudul Die Semivulkanischen Explosionen Des Pematang Bata In Der Soeoh – Senke (Süd-Sumatra) Im Jahre 1933, oleh Dr. CHE STEHN, 1934.

 


Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer