“Gunung Pesagi pagi ini nampak begitu elok. Selapis kabut putih, bak selendang sutra, menyelimuti kakinya di tepian horizon, memisahkan puncak dan bahunya. Seolah bersimpuh dia di atas singgasana gading nan anggun. Cakhmumung membawanya bergegas ke penghujung langit, seolah tak sabar, lepaskan hasrat, bermunajat kepada Sang Pencipta. Apakah gerangan yang engkau bisikan wahai Pesagi?”
“Hujung Langit”, mungkin nama inilah yang terbersit pertama kalinya dibenak sang Raja yang bergelar Punku Haji Yuwaraja Sri Haridewa, untuk menyimpulkan keindahan landskap Pesagi yang begitu ekspresifnya.
Nama yang kemudian, dia ukirkan pada sebuah prasasti, sebagai tanda bahwa lahan perdikan (sima) yang dia hibahkan adalah tanah suci yang kelak akan mendatangkan kemakmuran serta kejayaan bagi penduduknya.
Menghadap arah Timur Laut dari tempat yang dianggap sakral ini, nampak jelas bumi dan langit seolah dipertemukan di puncak Pesagi yang bertahtakan cahaya keemasan sinar mentari pagi. Sajikan sosok mithology bermahkota tiga yang sedang memandang masygul hiruk pikuknya kehidupan duniawi yang terpampang di ujung kakinya.
Negeri di Ujung Langit (Jejak Erwinanta, 2017) |
Negeri Lampung amatlah luas dan kaya, namun hanya ada satu negeri yang terletak diantara gunung Pesagi dan danau Ranau, yang memiliki keistimewaan, yakni negeri yang menempati dataran tinggi Liwa (Liwa plateau), dengan buminya yang selalu bergoyang. Seolah negeri itu berada di punggung seekor naga yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya.
"Way Warkuk, Way Rubok, dan Way Semaka, adalah perwujudan tubuh hijau sang Naga raksasa. Mahkotanya gunung Seminung, Kukusan, dan Pesagi. Sang Naga pun siap membawa negeri ini menembus langit, menunjukkan kembali kejayaan yang dahulu pernah mengharumkan namanya."
William Marsden dalam bukunya yang berjudul History of Sumatra (1811) menggambarkan keindahan negeri ini sebagai berikut:
“Di ujung selatan dari Passumah (Pasemah?) terdapat suatu negeri yang berbeda tatacara pemerintahannya, para pemimpinnya tidak memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak. Perbedaan ini tidak diragukan lagi bersumber dari peperangan dan invasi yang pernah dialami di negeri ini sebelumnya. Agama penduduknya mengikuti ajaran Muhammad (Islam), namun tidak tunduk pada Kesultanan Palembang”.
“Memiliki danau yang luas (danau Ranau) dengan udara yang dingin seperti kebanyakan negeri di Eropa. Daratan hingga gunung-gunungnya selalu dilapisi oleh kabut tebal seperti salju”.
“Dihuni oleh penduduk yang bentuk wajah dan matanya mirip orang Tionghoa. Mereka ramah dan sangat menghormati tamu, lebih-lebih jika tamu itu memiliki kedudukan penting. Mereka pandai menanak nasi di dalam bambu yang dibakar (lemang?), dan membuat gula dari sejenis pohon palem (Aren?)”.
“... Dari negeri yang terletak antara gunung tinggi (Pesagi ?) dan danau yang luas (Ranau) inilah, keturunan dari orang Lampung berasal...” (Marsden, (1811), p. 30, 33, 71, 95, 214, 286).
Pada masa budaya klasik, dimana peradaban India dengan ajaran Hindu dan Buddha mendominasi sebagian besar wilayah Nusantara, di negeri Lampung tidak ditemui adanya kerajaan yang diidentikkan sebagai pusat peradaban dan kekuasaan. (Widyastuti, 2010).
Namunpun begitu, kata “Lampung” ditemukan tertulis dibeberapa catatan kuno dari tinggalan sejarah kebudayaan klasik. Ada dua kitab kuno tinggalan kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara yang menorehkan kata “Lampung” didalamnya.
Pertama adalah kitab Negarakertagama karya empu Prapanca yang beraksara dan berbahasa Jawa Kuno. Kitab ini ditulis di masa kerajaan Majapahit (abad XIII s.d. XV masehi). Dalam kitab ini, “Lampung” menjadi salah satu dari “Negeri-negeri Melayu” yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit (Muljana, 1979 dalam Widyastuti, 2010).
Kitab yang kedua bernama “Amanat Galunggung” yang beraksara dan berbahasa Sunda Kuno. Kitab ini ditulis di masa kerajaan Sunda (abad X – XVI masehi). Kitab Amanat Galunggung, berisi tentang nasehat Rakeyan Darmasiksa (1172-1297) kepada putranya Sang Lumahing Taman, yang isinya:
"Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung” (Danasasmita, 1987, dalam Widyastuti, 2010).
Catatan-catatan tersebut membuktikan, walau tidak memiliki pusat kekuasaan mutlak serupa kerajaan. “orang Lampung” sudah begitu terkenal dan diperhitungkan sebagai etnis yang beradab, memiliki kedigdayaan, serta dianugerahi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. “Orang Lampung” pada kenyataannya sudah mampu berinteraksi dengan banyak kerajaan besar di masa itu, bahkan hingga ke negeri China.
Hujung Langit merupakan bagian dari negeri pedalaman yang oleh Kerajaan Sriwijaya disebut sebagai wilayah “uluhan musi”. Negeri ini kaya akan hasil hutan dan pertanian, yang turut mengangkat nama Sriwijaya menjadi terkenal, sesuai arti namanya, yakni “cahaya kejayaan”.
Negeri ini terkenal penghasil komoditas berupa getah damar, kemenyan, rotan, madu, kayu manis, lada, dan beras. Komoditas ini diangkut menyusuri sungai way Warkuk - danau Ranau - Silabung dan dikumpulkan di sungai Komering sebagai “feeder points” dari sistem perdagangan Sriwijaya (Leong Sau Heng, 1990; dalam Purwanti, 2017).
Prasasti Hujung Langit / Bunuk Tenuwar / Harakuning / Bawang (JE, 2023) |
Prasasti Hujung Langit ditemukan oleh Tim Survey Topografi Belanda pada tahun 1912 di suatu tempat di dusun Umbul Bawang yang bernama Harakuning, karenanya prasasti ini juga sering disebut sebagai prasasti Harakuning atau prasasti Bawang. Namun abklats-abklats (cetakan prasasti dari kertas singkong) di Dinas Purbakala Indonesia menyebutnya sebagai prasasti Bunuk Tenuwar (Damais, 1995).
Keempat nama ini menunjukan objek yang sama, yakni sebuah prasasti berbahan batu andesit berbentuk kerucut dengan tinggi 162 cm dan lebar bawah 60 cm. Prasasti ini berada diantara hulu sungai Way Warkuk (sungai Way Menjadi), yang mengalir di sisi Utara prasasti hingga ke Barat, dan Hulu sungai Way Rubok yang mengalir di bagian Selatan prasasti hingga ke arah Timur.
Terletak pada koordinat 4°59'37.96" Lintang Selatan (LS) dan 104° 4'47.97" Bujur Timur (BT) dengan ketinggian tempat ± 875 mdpl.
Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, di mana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari tentang prasasti disebut Epigrafi. (wikipedia).
Kini tempat yang bernama “Harakuning” telah berubah nama menjadi pekon (desa) Hanakau, Kecamatan Sukau, dan dusun Bawang menjadi salah satu dari pemangkunya.
Nama “Harakuning” sendiri berasal dari bahasa Lampung “Haugh Kunjekh”, kata “haugh” atau “kawokh” diartikan sebagai “bambu”, dan kata “kunjekh” sebagai warna “kuning”. Haugh Kunjekh atau Harakuning diartikan sebagai “Bambu Kuning” (Bambusa vulgaris var. Striata).
Sama dengan masyarakat Jawa, dan Tiongkok, masyarakat Lampung menggunakan tanaman bambu tidak hanya untuk keperluan yang bersifat profan (pemukiman), namun juga digunakan untuk keperluan yang bersifat dinamisme dan sakral.
Jenis bambu yang bernilai sakral lainnya adalah "bambu buntu", yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai kawokh bungkok dengan nama botani Schyzotachyum caudatum Backer ex Heyne.
Tidak seperti tanaman bambu pada umumnya, kawokh bungkok tidak memiliki rongga diantara ruas-ruas pada batangnya. Inilah yang menyebabkan “bambu buntu” begitu unik sekaligus mistis.
“Menurut legenda, bambu buntu tercipta dari jari telunjuk seorang saudagar kaya raya, namun bodoh lagi congkak. Saudagar ini tinggal di suatu negeri yang subur di tepian sungai Semaka. Apapun sang Saudagar itu suka, tinggal menggerakan telunjuknya saja, begitupula jika menyuruh sesuatu, tinggal tuding tanpa menghiraukan perasaan dan kesusahan orang. Perilaku sang saudagar ini membuat murka si Pahit Lidah, dan mengutuk jari telunjuk sang saudagar menjadi rumpun bambu yang terus memanjang seperti tongkat. Si Pahit Lidah adalah puyang sakti yang berasal dari Negeri Pasemah. Kesaktiannya terletak pada lidahnya, konon apapun kutukan yang dia ucapkan akan selalu menjadi kenyataan.”
Sedikit sekali yang dapat dimanfaatkan dari bambu buntu ini. Kesehariannya bambu buntu hanya dipergunakan sebagai tongkat, yang dipercaya dapat mendatangkan kewibawaan, pelindung dari gangguan mahluk halus dan ancaman binatang berbisa.
Tongkat Bambu Buntu (Jejakerwinanta, 2023) |
Dibalik pandangan orang tentang kesaktian bambu buntu, dan legendanya, sebenarnya, para orang tua kita, ingin menanamkan dan mengajarkan pentingnya etika dalam hidup serta hikmat kebijaksanaan dalam setiap pengambilan keputusan.
“Kemuliaan” itu diukur bukan dari seberapa banyak harta, tapi dari luasnya pengetahuan yang memenuhi isi kepala, dan ditunjukan secara lahiriah melalui adab (akhlak) dalam perilaku hidup sehari-hari”.
Mungkin tutur legenda bambu buntu, merupakan pembelajaran sederhana bagaimana memahami makna “pi’il pesenggiri” - salah satu dari 5 prinsip hidup orang Lampung - yakni “mengedepankan harga diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat”.
“Bawang” bukanlah nama jenis tanaman untuk bumbu masak. Bawang menurut masyarakat Sukau adalah sejenis tanaman air yang bentuknya seperti genjer. Apakah tanaman yang dimaksud sama dengan tanaman langka bernama “Bawang Air Thailand” (Crinum thaianum), ataukah sejenis lili rawa yang bernama Crinum asiaticum, yang dahulunya sering digunakan masyarakat setempat sebagai bahan pembuat racun untuk berburu? Entahlah saya sendiri belum pernah ditunjukan atau diperlihatkan tanaman “bawang” yang mengilhami nama tempat tersebut.
Hal yang sama mengingatkan saya tentang arti “Sekala Bekhak”. Sekala merupakan sejenis herba berimpang yang dikonsumsi bunganya oleh masyarakat sebagai sayuran dan obat tradisional. Tanaman ini termasuk vegetasi bawah penghuni ekosistem hutan hujan tropis. Banyak dijumpai di hutan sekunder hingga ketinggian mencapai 1700 mdpl. Dikenal dengan nama umum Kecombrang (Etlingera elatior Jack).
“Sekala Bekhak’ adalah “hamparan tanaman sekala yang luas atau lebar”. Bunganya berbentuk seperti gada berwarna merah. Mungkin karena tampilannya yang cantik dan menyerupai bunga padma (teratai), menjadikan tanaman ini oleh masyarakat lampau, dianggap suci dan dipergunakan untuk berbagai keperluan ritual.
Bunga Sekala (Amijaya, Wikipedia, 2017) |
Ada sebuah pendapat yang cukup menarik, dimana tempat yang kini bernama “umbul Bawang” dianggap dahulunya sebagai lokasi dimana Kerajaan Tulangbawang berada. Pendapatnya ini didasarinya dari hasil intrepretasi catatan perjalanan biksu China bernama I-Tsing pada abad VII yang menceritakan tentang kerajaan bernama To-Lang Po-Hwang (Tulang Bawang), yang berada dipedalaman Sriwijaya.
Kata “pedalaman” dan arti lain dari to-lang-po-hwang sebagai “dataran tinggi”, ditambah dengan keberadaan prasasti Bawang (Hujung Langit) yang dibuat di masa Kerajaan Sriwijaya, semakin memperkuat argumentasinya, tentang lokasi To-Lang Po-Hwang. Sriwijaya sendiri didirikan oleh Raja Dapunta Hyang pada tanggal 16 Juni 682 M (Prasasti Talang Tuo).
Catatan babad sunda “Pustaka Raja Parwa” menceritakan bahwa pada abad ke-5 masehi, telah terjadi letusan dahsyat gunung Krakatau Purba (bernama gunung Batuwara). Kedahsyatan erupsi gunung Krakatau Purba setinggi 2000 m, menyebabkan terbentuknya selat Sunda yang memisahkan antara pulau Sumatera dan pulau Jawa.
Abu vulkanik dari erupsi gunung Batuwara menyebabkan langit menjadi gelap selama lebih 10 hari lamanya, mengakibatkan musnahnya peradaban Pasemah dan hilangnya kerajaan sunda Salakanegara. Dampak lainnya adalah terjadinya perubahan iklim yang memicu hilangnya beberapa peradaban di Asia dan Eropa.
Menyatukan kisah-kisah di atas, kemungkinan pemukiman yang terletak di sekitar kaki gunung Pesagi, atau dataran tinggi Liwa, (termasuk umbul Bawang), merupakan sisa-sisa masyarakat penganut tradisi megalitikum yang bermigrasi ke daerah tinggi, guna menghindari bencana yang ditimbulkan oleh erupsi gunung Krakatau Purba ini.
Apabila melihat peta terbitan Belanda, seperti peta Afdeeling Krui tahun 1910, dan peta Topografi tahun 1922, nama “umbul Bawang” memang selalu ada tertera di dalam kedua peta tersebut, dibandingkan nama Harakuning itu sendiri. Nampaknya teori pusat kerajaan Tulang Bawang berada di “umbul Bawang”, sebagaimana pendapat yang pernah dikemukakan, bisa jadi benar sebagian, namun tidak untuk sebagian yang lain.
Ada dua toponimi di dataran tinggi Liwa yang namanya tercantum di dalam naskah prasasti dan juga tertera dalam peta Afdeeling Krui (1910) dan juga Peta Topografi (1922). Di masa sekarang pun nama-nama tersebut masih tetap digunakan dan dipertahankan walaupun sudah mengalami reduksi, yaitu desa “Hujung” di Kecamatan Belalau (prasasti Hujung Langit), dan pemangku “Bumi Jawa” di pekon Bumi Jaya Kecamatan Sukau (prasasti Palas Pasemah).
Pekon Hujung terletak ± 15 km arah Timur Laut dari prasasti Hujung Langit. Baik Damais (1995) maupun Tobing (2004), memberikan dugaan yang sama, bahwa lahan sima atau perdikan sebagaimana isi prasasti Harakuning atau Bunuk Tenuwar, sesungguhnya adalah pekon Hujung yang sekarang ada di Kecamatan Belalau.
Dugaan tersebut didasari bukan saja karena adanya kemiripan nama tempat, namun juga didasari atas kesamaan temuan arkeologis di situs Kampung Tuha Hujung, seperti tembikar, keramik-keramik dinasti china, umpak batu, tumulus dan struktur bangunan tradisional yang terbuat dari bambu.
Arsitektur dan konstruksi hunian dari bambu ini diyakini sebagai bentuk atau model asli hunian masyarakat kuno Lampung. Hingga saat ini, bangunan-bangunan tradisional ini tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat Hujung.
Rumah Tradisional berbahan bambu di Pekon Hujung, Belalau (Bappeda LB, 2012) |
Toponimi berikutnya bernama Bumi Jawa, yang terletak ± 9 Km arah Barat Laut dari Prasasti Hujung Langit. “Bumi Jawa” dituliskan "Bhumijawa" dalam prasasti Palas Pasemah (abad VII), merupakan wilayah pemangku di pekon “Bumi Jaya”, Kecamatan Sukau. Bhumijawa disebut-sebut dalam prasasti Palas Pasemah, sebagai negeri yang tidak patuh dan akan ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya.
Walaupun berakhiran “Jawa”, pemangku Bhumijawa, sejak dahulunya dihuni oleh masyarakat asli penduduk Sukau, atau Buay Nyerupa. Hasil penelitian Andrianto dkk (2012), menunjukan bahwa tempat ini tidak ada sama sekali dipengaruhi oleh Jawa.
Bhumijawa merupakan salah satu pemukiman tua di dataran tinggi Liwa, yang wilayahnya berada di dalam daerah aliran sungai Way Warkuk. Bukti bahwa Bhumijawa merupakan pemukiman tua adalah dengan ditemukan beberapa peninggalan tradisi megalitikum, dan fragmen keramik China dari abad X masehi. Temuan arkeologis yang berumur sama dengan temuan di sekitar Prasasti Hujung Langit.
Memahami arti toponimi suatu tempat dapatlah ditarik pembelajaran bahwa masyarakat dahulu, memberi nama daerahnya, didasari pada kesan mendalam terhadap karakter suatu objek atau peristiwa yang khas, penting dan sakral yang terjadi di tempat tersebut.
Nama-nama seperti Harakuning, Bawang, dan Sekala Bekhak merupakan contohnya. Bahkan ada toponimi yang tercatat dalam prasasti hingga kini masih tetap dipertahankan, walaupun sudah mengalami sedikit penyesuaian, seperti misalnya pekon Hujung (Kecamatan Belalau) dan pemangku Bumi Jawa (Kecamatan Sukau).
Sayangnya pekon-pekon tua yang memiliki aspek kesejarahan dan sarat dengan peninggalan tradisi masa lampau, kini tidak cukup baik perkembangannya. Padahal cerita tentang masa lalu suatu tempat, merupakan bagian penting dari “Sejarah Desa”.
Sejarah tentang ihwal desa tidak hanya memperkuat identitas, namun membuka peluang promosi berbagai usaha ekonomi kreatif desa. Lihat saja seperti Kampung Wisata Sade, Kampung Naga, dan Kampung Osing.
Selain pemberian nama suatu tempat, pemilihan lokasi untuk pemukiman oleh masyarakat lampau juga dikatagorikan sebagai kearifan lokal. Pemahaman atas makna keseimbangan alam dari sudut pandang fisik maupun metafisik (spiritual), merupakan model kearifan lokal masyarakat lampau, yang kini turunannya dikenal sebagai “Pembangunan berbasis mitigasi bencana dan perubahan iklim”.
Dataran tinggi Liwa dilalui oleh sesar tektonik aktif yang bernama sesar Semangko sehingga banyak menghasilkan bentang alam yang terbentuk melalui proses horst dan graben.
“Horst”, adalah daratan yang terbentuk karena terjadi amblasan lapisan tanah disekelilingnya. Membentuk lembah-lembah yang kemudian terisi oleh air. Horst menghasilkan situs-situs geologi seperti “pulau” atau “tanjung” yang subur, dengan aliran air yang mengelilinginya. Lawan dari horst adalah “graben”.
Sebaran Arkeologis di kaki gunung Pesagi, Kukusan, Seminung (JE, 2023) |
Lukisan bentang alam dataran tinggi Liwa, jika dilihat dari angkasa, nampak bahwa pada bagian utaranya berdiri tiga buah gunung. Ketiga gunung itu adalah gunung Seminung di sisi kiri, gunung Kukusan di tengah, dan gunung Pesagi di kanan. Posisi ketiga gunung seperti dewa-dewa mitologi yang siap menjaga bumi ini agar tidak terpisah dan tenggelam. Menambah kesan religius, dan memperkuat ikatan spiritual penduduknya terhadap dataran tinggi Liwa.
Bentang alam yang khas memberikan nuansa psikologis bagi masyarakat penghuni dataran tinggi Liwa, walaupun sering mengalami bencana gempa, faktanya mereka akan tetap selalu datang kembali ke tanah perdikan ini. Ikatan bathin masyarakat Liwa terhadap tanah airnya ini begitu kuatnya.
Teringat kelakar seorang teman “... Kalau sudah minum air dari sungai Way Rubok, bakalan sulit untuk melupakan Liwa ...”. Ternyata ucapannya pun benar-benar jadi kenyataan.
Landskap dengan sumberdaya fisik yang melimpah ditambah dengan kesan spiritual yang mendalam, menjadi pilihan ideal bagi masyarakat kuno untuk membangun pemukiman, memperkuat sistem sosial, dan sekaligus menjadikannya sebagai basis pertahanan.
“Hunian masyarakat tertua terbanyak, berada di dataran tinggi Liwa, menempati situs-situs di perbukitan datar yang subur dan dikelilingi kolam mata air. “Sebanyak 16 (enam belas) situs pemukiman kuno” ditemukan di tepian sungai Way Rubok. Ratusan fragmen keramik dan tembikar yang ditemukan, menandai intensnya aktivitas kehidupan masa lampau di wilayah ini.” (Rusyanti, 2021, p.100).
Ada satu spot “horst” yang saya duga dahulunya merupakan pemukiman kuno, yakni di pemangku Bekal Jaya, Pekon Padang Cahya (Kecamatan Balik Bukit). Horst Bekal Jaya ini berada di hulu sungai Way Warkuk. Tinggalan tradisi megalitikum yang dijumpai berupa batu tumpat, dolmen, dan batu bergores. Masyarakat setempat meyakini bahwa daerah ini dahulunya dihuni oleh marga Way Tetuga. Semoga saja Pemkab Lampung Barat, dapat mendorong penelitian arkeologis di lokasi ini, sehingga makin memperkaya khazanah tentang pemukiman kuno di bumi beguai jejama sai betik.
Temuan batu bergores berbahan batuan sedimen di Padang Cahya (JE, 2023) |
Penelitian menguak tabir Prasasti Hujung langit telah banyak dilakukan, baik oleh para pakar arkeolog dari Eropa maupun Indonesia seperti JG de Casparis, NJ Krom, Louis Charles Damais (1954-1957), Buchari dan Hasan Djafar (1995). Kemudian penelitian oleh Binsar D.L Tobing di tahun 2004 dan Terakhir pada tahun 2018 oleh Balai Arkeologi Bandung.
Di Provinsi Lampung, hingga saat ini, ditemukan sebanyak 9 (sembilan) prasasti, dimana 3 (tiga) diantaranya ditemukan di dataran tinggi Liwa, yakni prasasti Hujung Langit (abad X), Tanjung Raya 1 (abad X) dan Tanjung Raya II (abad XIV). Kronologi Prasasti dipengaruhi oleh kerajaan bercorak Melayu (Sriwijaya), dan Jawa (Sunda, Majapahit), namun masyarakatnya diyakini sudah ada sejak era tradisi megalitikum.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Megalitikum di Lampung Barat (Bagian I)
Prasasti Hujung Langit beraksara Jawa Kuno (pallawa) dan berbahasa Melayu Kuno. Tulisan dipahat di permukaan datar (recto) batu andesit, memuat 18 baris kalimat, yang kini aksaranya semakin memudar. Prasasti ditetapkan oleh Penguasa Hujung Langit bergelar “Pungku Haji Yuwa Rajya” bernama Sri Haridewa, pada hari suklapaksa bulan margasira 919 saka, atau bertepatan dengan tanggal 12 November 997 Masehi (Tobing, 2004)
Memperhatikan tujuan pemberian sima, dan kronologisnya, prasasti Hujung Langit dibuat pada akhir abad ke-10. Kondisi dimana pengaruh kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha sudah mulai melemah.
Salah satu penyebab melemahnya Kerajaan Sriwijaya, adalah karena invasi Raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang di Jawa Timur. Serbuan kedua raja Medang pada tahun 992 masehi, walaupun dapat digagalkan, namun menyebabkan kerusakan parah di ibukota Sriwijaya di Palembang, dan melemahkan roda perekonomian.
Prasasti Hujung Langit sejak dibuat, dan ditempatkan tidak berubah posisinya hingga ditemukannya pada tahun 1912. Prasasti ini memiliki tata aturan penulisan dan informasi yang lengkap. Bagian-bagian kalimat prasasti terdiri dari pembukaan, penanggalan, isi atau berita, kutukan dan larangan (sanksi), para saksi-saksi (pejabat), Raja atau penguasa yang mengesahkan, dan kalimat penutup.
Prasasti kadang dilengkapi dengan simbol-simbol yang menunjukan kekuasaan atau kewibawaan Raja yang menetapkan. Begitupun pada prasasti Hujung Langit, pada bagian atas baris tulisan terdapat relief berbentuk belati dengan bilah tajam mengarah ke kanan (ke Timur).
Secara umum, Prasasti berisi tentang pemberian lahan sima (perdikan) berupa hutan dan lahan untuk pembangunan tempat suci Vihara oleh Penguasa wilayah Hujung Langit yang bergelar Pungku haji Yuwa Rajya Sri Haridewa Sakti.
Relief belati di Prasasti Hujung Langit (Tobing, 2004) |
Ada dua terjemahan prasasti Hujung Langit, yaitu terjemahan menurut Damais (1995) dan Binsar D.L. Tobing (2004). Terjemahan Damais dapat disimak di wikipedia, sedangkan berikut adalah terjemahan menurut Tobing (2004):
“Selamat! Ketika sang waktu pada tahun saka telah berlangsung selama 919 tahun lamanya, Margasira bulannya (masa), tanggal 9 paro terang (suklapaksa) was wage Sukra (adalah) waranya. Kuningan (adalah) wukunya, pada saat (penguasa) daerah Hujung Langit mempersembahkan seluruh hutan (dan) seluruh tanah (pada) bulan asuji (yang apabila) perintah ini dilanggar akan ditusuk (oleh senjata tajam) dan diremas badan (nya) (dalam) seluruh kematian (dan) seluruh kehidupan (secara) terus menerus ... , ketika Pungku haji Yuwa Rajya (yang bernama) Sri Haridewa Sakti (bersama) juru redap, juru ... dan juga juru pajabat (memberikan) hadiah (berupa) tanah (untuk) datang mempersembahkan (dan) memuja, juru natalan terdapat wihara .... samgat juru pajak. Demikian pramukha kabayan dipekerjakan (di sana) ... wayan di Hujung Langit ... perahu ... juru samya danda ... bunga pinang yang mati muda (sehingga tidak menghasilkan) buah, memberi kembang untuk barang-barang pusaka, juru mabwang pamgat, juru ruhanan ... pramukha Sri di banwa ... rama, hulun (demikianlah) perintah (ini) (diturunkan) untuk semuanya (dari) pemilik ketentuan (daerah) yang bernama Hujung Langit .... (Penutup)”.
Catatan: tanda titik-titik merupakan kata atau kalimat yang tidak terbaca dari tulisan di prasasti
Pemilihan letak dan keruangan, latar belakang dan kandungan isi prasasti, begitu sarat dengan makna-makna Kearifan Lokal, yang bisa jadi masih sangat relevan untuk menghantarkan kemajuan bagi negeri ini. Setiap simbol dan kata yang diguratkan, seperti belati, penanggalan, hutan, kutukan, para juru, perahu, pinang, bahkan nama gelar pungku haji yuwa rajya, bagi saya masih menjadi kelambu misteri, yang menggoda untuk terus menyibaknya.
Entah apa makna sebenarnya dibalik pesan-pesan bijak sang Penguasa Hujung Langit kepada generasinya kini, yang bisa jadi tidak pernah mengetahui jika prasasti ini ada?
Hujung Langit tidak hanya sebuah nama yang tertoreh dipermukaan batu prasasti yang menandai awal babad sejarah kebudayaan klasik di negeri para saibatin ini. Bagi saya “Hujung Langit” mengandung makna filosofis, yang menyiratkan pesan-pesan moral yang kuat.
“Hujung langit, kata-kata yang mengetuk hati Saya untuk selalu mawas diri dalam menggapai tujuan hidup. Kemanakah lagi kaki harus dilangkahkan, manakala kita sudah tiba di penghujung kehidupan?”
“Akankah kita masih punya cukup bekal untuk mengarungi ruang hampa yang luas di atasnya? Ataukah masih punya cukup nyali mengarungi jalan curam di bawahnya?”
Salam Lestari untuk Literasi
Referensi:
- Rusyanti, dkk. 2021. Stay or Leave ? Dinamika Landskap Arkeologi di Sesar Semangko Provinsi Lampung. Karya Terpilih Program Akuisisi Pengetahuan Lokal. LIPI Press;
- Rusyanti, dkk. 2018. Berkelana ke Hujung Langit, mengenal Bukti Arkeologis Tertua di Lampung Barat, Balai Arkeologi Jawa Barat;
- Abrianto dkk. 2012. Some Consideration on Location of “Bhumi Jawa”. Jurnal Purbawidya Vo.1. No.2 Tahun 2012. Page 277-288;
- Widyastuti, Endang. 2010. Kondisi Masyarakat Lampung pada Masa Pengaruh Hindu-Buddha. Dari Masa Lalu ke Masa Kini – Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Balai Arkeologi Jawa Barat. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung;
- Tobing, Binsar DL. 2004. Prasasti Hujung Langit 919 saka (997 Masehi). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (Skripsi);
- Purwanti. 2017. Damar dalam Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Sriwijaya. (link: Link: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/damar-dalam-jaringan-perdagangan-masa-kerajaan-sriwijaya/);
- Marsden, William. 1811. The History of Sumatra, containing an account of the government, laws, customs, and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. J. M'creery, Black-Horse-Court. The third edition. London.
Akhir tahun produktif ya pak
BalasHapusTerimakasih, Insyaa Allah akan selalu berkontribusi positif untuk Lampung Barat
HapusBersambung ke Bagian II...
BalasHapusSiap, akan diteruskan ulasannya di tahun 2024 ini
Hapus