Rabu, 11 Januari 2023

Danau Suoh : Jejak Erupsi Freatik pada Jalur Tektonik paling Singkat di Dunia

Sebelumnya Jejak Erwinanta berkisah tentang Geosite Suoh yakni suatu cekungan atau depresi yang berada pada jalur subduksi Semangko, suatu jejak geologis yang menceritakan sepenggalan kisah tentang asal muasal bagaimana pulau Sumatera dan Pegunungan Bukit Barisan terbentuk.

Kabupaten Lampung Barat memiliki 5 (lima) buah danau yang berada dalam satu jalur sesar semangko pada cekungan segmen Ranau - Suoh, yaitu danau Ranau yang berbatasan dengan Kabupaten OKU Selatan (Koordinat 4°55' Lintang Selatan; 103°54' Bujur Timur dan 4 (empat) danau yang berada di cekungan Suoh, yaitu danau Asam, danau Lebar, danau Minyak, dan danau Belibis.  Jika sobat ingin mengetahui letak ke-empat danau ini, silahkan masukan koordinat  5°14.5' S dan 104° 16.'T  pada aplikasi google map atau google earth, nah nanti Sobat akan menemukan Danau Suoh seperti gambar dibawah ini.

Gambar 1
danau-danau di kaldera Suoh

Danau Asam memiliki luas ± 122 Ha, danau Lebar dengan luas ± 68 Ha, danau Minyak seluas ± 10 Ha, dan yang terkecil adalah danau Belibis seluas ±  3 Ha.  Kecuali danau Belibis, ketiga danau berada di dalam Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Danau Asam, danau Lebar, dan danau Minyak merupakan bagian atraksi wisata geologi dari Ekowisata Danau Suoh TNBBS.  Berbeda dengan ketiga saudaranya, danau Belibis mengalami sedimentasi yang parah sehingga luasannya pun semakin menyempit. Padahal lokasinya yang berada di luar Kawasan TNBBS sangatlah berpotensi untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata yang dikelola oleh desa.  Nama belibis, karena danau ini dahulunya tempat singgah dan habitat dari bebek liar atau burung belibis (Dendrocygna arcuata), yang sekarang sudah jarang dijumpai.

Keunikan dari ke -5 danau ini, menurut Jejak Erwinanta terletak pada proses kejadiannya yang relatif sama yaitu danau bertipe vulkano-tektonik,  akan tetapi berbeda waktu kejadiannya. Danau Ranau terbentuk pada masa pleistosen (± 55.000 tahun yang lalu) sedangkan danau Suoh terbentuk pada tanggal 10 Juli hingga bulan Agustus 1933 (abad ke-20).   

Jejak Erwinanta belum menemukan literatur yang menunjukan adanya kesamaan karaktertistik dari danau-danau di dunia yang identik dengan danau Suoh. Karenanya Jejak Erwinanta berkesimpulan bahwa danau Suoh adalah satu-satunya di dunia danau kaldera hasil letusan freatik yang berlangsung singkat, pada jalur tektonik dataran rendah (240 mdpl), yang terbentuk di abad ke-20, serta satu-satunya kaldera aktif yang paling dekat dengan permukiman.  Semoga kesimpulan Jejak Erwinanta ini gak berlebihan ya Sob.    

Baca Juga :


Bermula dari Gempa Liwa tanggal 25 Juni 1933

Gempa bumi Liwa yang terjadi pada tanggal 25 Juni 1933 pukul 4:54:35 waktu Sumatera Bagian Selatan atau tanggal 24 Juni 1933 pukul 21:54:35 waktu Greenwich.  Pusat gempa berada di dataran tinggi Liwa pada koordinat 5°2’ LS dan 104°9 BT.  Termasuk gempa dangkal dengan sekala gempa mencapai 7,5 Magnitudo, dengan tingkat kerusakan akibat getaran gempa berdasarkan skala Rossi-Forel berada pada level 8 (getaran merusak), level 9 (getaran menghancurkan), dan level 10 (getaran dengan intensitas sangat tinggi).  Getaran gempa terasa hingga di Jambi (± 380 km dari epicentrum) dan di Tegal (± 590 km dari epicentrum). Jumlah korban jiwa mencapai 550 orang dan menimbulkan kerusakan parah pada distrik Ranau, Liwa, Krui, dan Kota Agung. 

pekon tengah
Pekon Tengah (Sebarus) Foto Berlage, 1934

Gempa menyebabkan permukaan danau Ranau surut sedalam 10 cm,  menimbulkan longsor di gunung Seminung yang mengisolasi dusun Lumbok dan Jagaraga lebih dari seminggu. Terjadi retakan tanah sepanjang 1 km dengan lebar 1 m antara sungai Way Uluhan hingga Way Warkuk, menyebabkan jalur Sukau – Liwa terputus. Gempa menyebabkan pula longsor di lereng gunung Pesagi sepanjang 5 - 7 km dan lebar 300 - 400 m dengan ketebalan tanah 30 m. Longsor ini melanda dua dusun yaitu Wai Turgak dan Sukaraja, mengakibatkan 53 orang meninggal dunia tertimbun tanah.

"Guncangan dimulai dengan getaran vertikal yang cepat, kemudian digabungkan dengan getaran horizontal yang semakin meningkat, hingga diakhiri dengan tiga kali  hentakan maju mundur yang kuat dengan amplitudo 50-60 cm, diiringi suara gumuruh yang keras.  Hentakan ini menyebabkan orang yang sedang duduk berjongkok sekalipun bisa terguling sejauh 2 meter, rumah-rumah besar panggung dari kayu ambruk secara vertikal, dengan tiang-tiang rumah tergeletak rebah  disisi bangunan yang rubuh”. (Dr. H.P. Berlage Jr., 1934) 

Gelombang vertikal menyebabkan kerusakan di distrik Ranau, sedangkan gelombang horizontal menyebabkan kerusakan di distrik Liwa hingga meluas ke Kembahang, Sukabumi, Turgak, hingga Suoh.  [Model guncangan gempa yang sama terulang kembali 60 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 16 Pebruari 1994 dengan kekuatan gempa 6,9 M, dengan jumlah korban jiwa mencapai ± 200 orang meninggal] 

sukabumi
Sukabumi  Foto: Berlage 1934

Gempa dahsyat yang terjadi ini tercatat  di 49 stasiun meteorologi yang berjarak 6.667 Km dari epicentrum, mulai dari Batavia, Malabar, Medan, Ambon, Bombay, Zurich, Hongkong,  Manila, Melbourne, Pasadena,  hingga Washington. Sampai dengan akhir bulan Juni tercatat sebanyak 78 gempa susulan dengan 40 kejadian kerusakan yang dilaporkan. Bulan Juli tercatat sebanyak 79 gempa susulan dengan 11 laporan kerusakan, dan bulan Agustus tercatat 15 gempa susulan dengan 1 laporan kejadian kerusakan. Dr. Berlage menyetarakan level gempa Liwa 1933 ini dengan gempa bumi yang melanda Tokyo pada tanggal 1 September 1923 dan gempa di teluk Hawke Selandia Baru pada tanggal 2 Februari 1931.   

Gempa 1933 secara tidak langsung telah memperkenalkan “Liwa” ke dunia internasional.  Pada saat itu Liwa masuk dalam wilayah administrasi Afdeeling Krui – Keresidenan Bengkulu.  Ada tiga penamaan “Liwa” pada masa pemerintahan Belanda yaitu: pertama penyebutan nama lain dari Negara Batin (sekarang Kelurahan Pasar Liwa, Kecamatan Balik Bukit) sebagai tempat kedudukan Kontroler Liwa dan Sekolah Kelas II, kedua penyebutan untuk “Pesirah Liwa” yang berkedudukan di Negeri Agung (sekarang bernama Pekon Empulau Ulu, Kecamatan Balik Bukit), dan yang ketiga adalah penamaan geomorfologi untuk dataran tinggi Liwa (Liwa Plateau). Sekarang “Liwa” adalah Nama Ibu Kota dari Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Proses Semi Vulkanik terbentuknya danau Suoh


pematang bata 1930
Pematang Bata 1930 Foto: Van Bemmelen 1934 
13 jam setelah gempa, cekungan Suoh menunjukan fenomena yang tidak biasanya, lebih banyak kepulan asap putih dan aroma belerang yang menyengat, dari aktivitas fumarol & solfatara yang berasal dari empat “gunung api kecil”, yang oleh masyarakat Antatai disebut sebagai  “Gunung Ratu”, “Gunung Balirang”, “Gunung Agung”  dan “Pematang Bata”.  Keempat gunung api kecil ini berada di tenggara Bukit Penetoh yang dilalui oleh aliran air panas Way Peros.  Karena posisi ‘Pematang Bata” berada di tengah-tengah, CH.E Stehn menyebutnya sebagai komplek solfatara Pematang Bata.  Solfatara adalah kawah vulkanik dangkal yang mengeluarkan gas belerang, sedangkan Fumarol adalah lubang pada kerak bumi yang mengeluarkan uap atau gas yang mengandung karbon dioksida, hidrogen sulfida, dan asam klorida. Sayangnya keempat gunung api kecil ini tidak dicantumkan pada peta topografi hasil survey Pemerintah Hindia Belanda tahun 1907-1913, sehingga sewaktu terjadi erupsi suoh, menimbulkan kekeliruan pelaporan tentang lokasi kejadian, yang pada awalnya disangkakan adalah gunung Sekincau – Belirang.  

topografi suoh 1913
Topogafi Suoh 1913
Gempa telah menyebabkan retakan pada lapisan kerak bumi sedalam 270 m di daerah cekungan Suoh yang berawa-rawa.  Air yang masuk melalui rekahan bertemu dengan lapisan magma yang panas, menyebabkan terjadinya ledakan yang hebat.  Ledakan pertama dan terbesar terjadi 14 hari setelah gempa, yakni pada tanggal 10 Juli 1933 pukul 5.40 pagi waktu Sumatera Selatan atau 9 Juli 1933, pukul 22.40 waktu Greenwich.  Stasiun Pengamatan Vulkanologi di Pasauran Banten, mencatat bahwa pada pukul 6.10 waktu Jawa, terdengar suara dentuman keras beruntun layaknya suara meriam kapal perang dari “suatu tempat”,  yang bukan berasal dari gunung Krakatau. 

“Ledakan pertama Suoh”, diceritakan oleh Kapten Kapal Uap “Van Der Hagen”  bernama H. Winstok, dari perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (K.P.M)  yang melayani pelayaran penumpang dan cargo jalur Bengkulu - Batavia :

K.P.M Van Der Hagen, 1931
Kapal Uap Van Der Hagen 1931. Univ Leiden

"Tanggal 10 Juli 1933 sekitar pukul 05.30, saya mengamati adanya letusan dahsyat dari arah timur - tenggara.  Kapal "van der Hagen" pada saat itu berada pada posisi 5° 3' Lintang Selatan dan 103° 38,5' Bujur Timur (Perairan Teluk Pugung).   Dari posisi ini, nampak jelas gumpalan pilar awan putih yang sangat besar muncul pada arah 108°.  Keadaan cuaca saat itu cerah, tidak berangin, dan langit dipenuhi awan cirrocumulus, cumulus, stratocumulus dan hanya beberapa awan di pegunungan yang membentuk cumulus nimbus. Pilar awan putih muncul di belakang hamparan puncak-puncak pegunungan, yang masih dilapisi kabut tipis, memayungi  keadaan sekitarnya  dan seolah-olah menjadi pemisah antara  bulan di sisi barat dan matahari di sisi timur".  

“Tiba-tiba gumpalan awan hitam hingga kelabu tua muncul dari sela-sela tudung pilar awan putih, bergerombol, dan  bergulung-gulung berbentuk seperti kembang kol raksasa, dan kemudian berubah dengan cepat berbentuk seperti gelas sampanye yang tinggi ke arah langit, berwarna hitam sampai kemerahan, dan kemudian berubah kembali menjadi putih salju di bagian atasnya.  Matahari yang semakin tinggi dari ufuk timur merefleksikan pantulan cahayanya berwarna merah muda yang lembut di bagian atas dari tudung awan. Sementara di bagian bawah tudung awan yang berwarna gelap, dipenuhi oleh cahaya kilat silih berganti di semua arah dan sisi. Atraksi alam yang luar biasa, dan pikiran pertama yang tebersit di benak saya  adalah bahwa ada bencana besar yang telah terjadi”.

“Awalnya saya mengira ini Krakatau, tetapi arah kompas tidak menunjukkan arah dimana posisi krakatau berada.  Lambat laun ujung-ujung awan letusan menipis dan memudar dari arah timur ke tenggara. Akhirnya seluruh bagian langit tenggara diselimuti kabut berwarna abu-abu muda layaknya seperti awan altostratus dan tidak ada lagi suara ledakan yang terdengar”.  

“Pada pukul 13.40 mulai turun hujan abu pertama kali, saat itu posisi kapal berada di 5°3' LS dan 103° 46,3' BT.   Partikel abu halus berwarna kelabu muda secara sporadis menerpa kapal dari arah barat daya, menempel pada alis dan rambut setiap awak kapal, melapisi lantai dan atap kapal.   Saat kapal tiba di dermaga Pulau Pisang pada pukul 14.45, hujan abu masih terus berlanjut, menutupi atap-atap rumah, kebun dan di jalan-jalan.  Sebagian besar  penduduk menduga bahwa gunung Sekincau - Belirang mengalami erupsi.  Dugaan ini semakin diperkuat atas informasi yang disampaikan petugas K.P.M di Krui, karena gunung ini  memiliki aktivitas solfatarian yang terus meningkat beberapa tahun terakhir.  Laporan lainnya menyampaikan bahwa di sebelah tenggara dari dataran tinggi liwa, nampak kilatan-kilatan cahaya yang tidak seperti biasanya muncul di atas suoh”. (Stehn, halaman 46-50).

pematang bata 17 juli 1933
Pematang Bata 17 Juli 1933, foto: Stehn 1934

Sumber ledakan berasal dari “gunung kecil Belirang” yang ada di komplek solfatara Pematang Bata. Suara ledakan ini begitu dahsyatnya, hingga terdengar sampai Kuala Tungkal (Jambi) sejauh 510 km dan Kebumen (Jawa Tengah) sejauh 660 km.  Ledakan menghasilkan dua kaldera, yang pertama seluas 160 Ha (sekarang menjadi danau Asam) dan kaldera kedua seluas 40 Ha (sekarang menjadi danau Lebar), dengan ketebalan bibir kepundan ± 20 m.   Material yang dilontarkan berupa lumpur panas, menutupi areal seluas ± 35 km2 (3.500 ha) dengan ketebalan lumpur antara 6 m – 20 m. Diperkirakan volume material yang dihasilkan dari ledakan mencapai 210 juta m3.   

Ledakan juga menghasilkan kolom awan berwarna kelabu berbentuk kembang kol, yang menyebabkan cuaca mendung secara tiba-tiba dan diikuti dengan hujan abu vulkanik yang menutupi Pulau Pisang, Ranau, Martapura, hingga ke Teluk Betung, bahkan  Kota Agung dilaporkan tertutup abu vulkanik seperti lapisan salju. Hujan abu pertama terjadi pada pukul 09.30 pagi dan berakhir pada pukul 21.00.  Ledakan kedua terjadi pada tanggal 17 Juli 1933 pukul 8 malam, melontarkan hanya material lumpur panas setinggi 1,1 km dan uap air setinggi 2 km dengan radius sejauh 5 km (sekarang telah menjadi danau Minyak).

pematang bata 19 juli 1933
Pematang Bata 19 Juli 1933 foto Stehn 1934

Pada saat CH. E Stehn melakukan pengamatan antara tanggal 16 – 19 Juli 1933, komplek Pematang Bata dipenuhi dengan ratusan ventilasi atau lubang-lubang uap air panas dengan massa uap bertekanan tinggi dan diiringi dengan suara gemuruh yang keras.  Aktivitas vulkanis ini berlangsung pada areal sepanjang 5 km dengan lebar 1,1 km.  Terdapat fenomena air mancur panas (Geyser), Stehn memetakan sebanyak 7 (tujuh) geyser dengan tinggi air mancur panas 100 - 1000 m.  Stehn menyamakan fenomena vulkanis yang terjadi di cekungan suoh seperti “Lembah Seribu Awan” di kaldera gunung api Katmai Alaska.  Sayangnya fenomena geyser ini tidak berlangsung lama, dan berakhir dengan menyisakan kolam-kolam air panas yang mendidih.    

Dalam pengamatannya Stehn tidak menjumpai adanya lava segar dan batuan lapili yang merupakan material penciri suatu gunung api meletus. Pepohonan sekitar lokasi ledakan mengalami kerusakan  khas karena hantaman oleh tekanan yang kuat dan bukan karena terbakar.  Stehn berkesimpulan bahwa peristiwa letusan suoh adalah aktivitas semi vulkanis atau erupsi freatik.  Menurut situs Magma Indonesia Erupsi Freatik adalah erupsi yang terjadi ketika magma memanaskan air tanah atau air permukaan. Temperatur magma yang ekstrem menyebabkan air seketika menjadi uap, dan menghasilkan ledakan yang melontarkan air, abu, batu, dan bom vulkanik.

pemetaan stehn 1933
Peta Erupsi Freatik Suoh, Stehn 1933

Tanggal 5 Agustus 1933, aktivitas vulkanis di Pematang Bata, sudah mulai berkurang, dan Kaldera Suoh kembali tertidur nyenyak. Entah kapan terbangun kembali. Sudah 90 tahun peristiwa erupsi berlalu, memberikan waktu bagi alam untuk melakukan "Suksesi" mewariskan dataran suoh yang subur dengan danau kalderanya yang menawan. 

Sudah 6 (enam) generasi pula yang mendiami tanah Suoh, namun peristiwa 1933 janganlah pula terlupakan, yang jelas masyarakat yang mendiami areal dengan radius 18 km dari danau Suoh tetaplah harus waspada, dan tak putus berdoa serta bersyukur pada Yang Maha Kuasa, agar bumi Suoh tetap memberikan keberkahan dan bukanlah bencana serta malapetaka yang mengancam jiwa.  

"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS An Naml [27]: 88).

Semoga informasi ini  bermanfaat, menambah khazanah keilmuan, dan semoga danau Suoh tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Lampung Barat, tapi juga menjadi kebanggaan masyarakat Lampung.  Yuuk berkunjung ke Lampung Barat. 😁 

Salam Sehat, Salam Lestari ...


Referensi:

Dr. H.P. Berlage Jr, 1934. “De Aardbeving In Zuid-Sumatera Van 25 Juni 1933, Waarnemingen in het epicentrale gebied”. Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, Eerste aflevering van Deel XCIV. Zuid-Sumatranummer. Ruygrok & Co. Den Haag.

Dr. CH. E. Stehn, 1934. Die Semivulkanischen Explosionen Des Pematang Bata Inder  Soeoh – Senke (Süd-Sumatra) Im Jahre 1933. Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, Eerste aflevering van Deel XCIV. Zuid-Sumatranummer. Ruygrok & Co. Den Haag

R.W. Van Bemmelen, 1934. De Tektonische Structuur Van Zuid Sumatera (In Verband Met De Aardbeving Van 25 Juni 1933. Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, Eerste aflevering van Deel XCIV. Zuid-Sumatranummer. Ruygrok & Co. Den Haag

Untuk mendapatkan artikelnya silahkan kunjungi Perpustakaan Digital Leiden University, yang linknya ada di kolom “Situs Resmi”.

6 komentar:

  1. Mantap bang, nambah wawasan saya

    BalasHapus
  2. Keren mas, semangat utk promosikan lambar ...

    BalasHapus
  3. Promosikan terus lambar ya pak, sehat selalu utk bapak

    BalasHapus
  4. Semoga menambah nilai utk ditetapkan sebagai geopark. Mohon maaf sekedar utk masukan, baiknya ditambahkan info ttg akomodasi dan lainnya jika berkunjung ke danau suoh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih saran dan masukannya pak, insyaa allah dipostingan selanjutnya kami akan lengkapi informasinya.

      Hapus
  5. bagaimana kalau cekungan suoh adalah kaldera purba hasil letusan gunung berapi (bisa kita sebut kepundan suoh purba), yang mungkin ribuan atau jutaan tahun setelah letusan meninggalkan kaldera berbentuk kubah yang menjadi cekungan suoh dan tetap memiliki jalur-jalur magma yang intrusi ke permukaan. ketika jalur-jalur tersebut tertutup menjadi letusan pada tahun 1933. studi geologi gunung berapi oleh Belanda pada jaman hindia belanda harus menjadi catatan sejarah yang dasar dalam penentuan kondisi mitigasi kebencanaan vulkanik. kesalahan penilaian oleh pemerintah hindia belanda terhadap cekungan suoh yang memiliki potensi kegiatan vulkanik aktif, mungkin seperti halnya ketidaktepatan pengamatan dan penetuan kondisi gunung krakatau yang hanya berasumsi memiliki satu puncak gunung, tetapi ternyata jauh dibawah permukaan laut sesungguhnya gunung tersebut berada di tiga pulau yang ada. sehingga ketika aktivitas krakatau meningkat menjadi bencana alam yang sangat besar.....begitu juga lampung barat (Kota liwa dan sekitarnya, jangan pernah terlena dengan kondisi kegiatan tektonik sesar semangka, harus ada mitigasi kebencanaan yang komprehensif dan didorong oleh instansi berwenang secara berkesinambungan.

    BalasHapus

Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer