Selasa, 17 Januari 2023

Bintelehan : Fenomena Kematian massal ikan di Danau Ranau dan Upaya Penanganannya

"Masyarakat Lumbok dan Kagungan dihebohkan dengan ratusan ton ikan di perairan danau Ranau mati secara mendadak. Kejadian bermula pada hari selasa, 10 Januari 2023 sekitar pukul 16.00 WIB dan terus berlangsung hingga sabtu (14/1). Awalnya hanya beberapa petak keramba jaring apung (KJA), tapi akhirnya menyebar hampir ke semua petak KJA. Diperkirakan jumlah ikan nila yang mati sebanyak 250 ton dengan nilai kerugian mencapai enam milyar rupiah lebih.”  

Begitulah rangkuman dari isi berita yang menjadi viral di media cetak dan elektronik di Lampung Barat.  Peristiwa yang disebut masyarakat setempat sebagai “bintelehan / mentilehan” memang sudah kerap terjadi.  Berdasarkan literatur yang Jejak Erwinanta peroleh fenomena bintelehan atau matinya ikan secara massal di danau Ranau, pernah terjadi pada tahun 1887, 1888, 1903, 1962, 1993, 1995, 1998,  2011, dan 2018. Pemicu munculnya fenomena bintelehan ini masih dalam proses investigasi oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perikanan Lampung Barat, semoga saja segera diketahui pemicunya ya Sob.  

Faktor Penyebab Munculnya Fenomena Bintelehan

bintelehan d. ranau

Fenomena kematian ikan secara massal, pada umumnya disebabkan karena kurangnya pasokan oksigen terlarut. Ada banyak faktor yang menjadi pemicunya, tapi kali ini Jejak erwinanta hanya merangkum 4 (empat) faktor yang dimungkinkan menjadi penyebab kematian ikan secara massal di danau Ranau.  Bisa merupakan satu faktor tunggal atau bisa juga kombinasi dari beberapa faktor dibawah ini:

Faktor pertama : "aktivitas sesar atau vulkanis" yang menyebabkan masuknya sulfur (belerang) atau asam sulfida (H2S) dari lapisan penutup (cap rock) ke dalam perairan danau.  Asam sulfida atau belerang ini bersifat racun yang ditandai dengan bau seperti “telur busuk” dan warna air danau keruh seperti susu. Danau Ranau merupakan danau bertipe tekto-vulkanik dengan gunung Seminung sebagai post kalderanya, dan masih aktif menghasilkan gas-gas vulkanis seperti H2S dan SO2.  Peristiwa bintelehan yang disebabkan gas vulkanik (H2S dan SO2)  di danau Ranau pertama kali dilaporkan pada bulan Desember 1887 - Januari 1888, dan terakhir di laporkan oleh Badan Geologi Bandung pada April 2011.  Bintelehan karena gas vulkanis (H2S), hingga kini masih dianggap sebagai pemicu utama kematian ikan secara massal di danau Ranau.  

Faktor kedua : "upwelling" atau umbalan yaitu gerakan massa air danau (pengadukan) secara vertikal karena adanya  perubahan suhu dan densitas massa air.  Perairan danau memiliki stratifikasi berdasarkan suhu, dikenal lapisan epilimnion di bagian atas dengan suhu relatif tinggi,   lapisan hipolimnion berada di bagian bawah danau dengan suhu lebih rendah, dan wilayah thermocline yang merupakan lapisan transisi antara epilimnion dan hipolimnion.  Turunnya suhu permukaan danau menyebabkan gerakan vertikal dimana massa air bawah yang mengandung gas H2S dan amoniak hasil respirasi organisme pengurai, bergerak ke permukaan dan menyebabkan ikan di dalam KJA mengalami keracunan.  Contoh kasus kematian ikan secara massal akibat upwelling terjadi di waduk Kedungombo pada tanggal 28 Mei 2019.

Faktor  ketiga : "eutrofikasi" atau meningkatnya kesuburan perairan danau sebagai akibat tingginya kandungan phospat. Eutrofikasi memicu terjadinya “over populasi” ganggang atau fitoplankton melebihi daya dukung sehingga perairan menjadi miskin akan kandungan oksigen terlarut. Intensifikasi budidaya perikanan yang melebihi daya dukung danau dapat pula menjadi pemicu eutrofikasi dan berkurangnya kadar  oksigen terlarut.  Eutrofik yaitu perairan dengan kadar unsur hara tinggi serta memiliki tingkat kecerahan dan kadar oksigen terlarut yang rendah (Effendi, 2003). Contoh kasus adalah kejadian kematian massal ikan di Haranggaol danau Toba pada bulan Mei 2016 karena KJA yang melebihi daya dukung.

Faktor keempat : "pencemaran air danau" oleh limbah rumah tangga, pertanian, dan industri yang menyebabkan perubahan pada pH air.  pH berhubungan erat dengan kandungan O2 terlarut, dimana pH rendah menunjukan pula kandungan oksigen terlarut yang rendah. Ekosistem perairan memiliki mekanisme penetralisir alami terhadap limbah yang dilakukan oleh bakteri yang disebut purifikasi. Dalam pemurnian limbah, bakteri memerlukan oksigen untuk bekerja mengurai limbah, sehingga perairan danau dapat mengalami kekurangan oksigen terlarut.   Pencemaran air danau tidak hanya menyebabkan ikan kekurangan oksigen,  tapi juga keracunan yang berujung pada kematian ikan secara massal.  Perairan danau yang tercemar dapat pula merangsang berkembangbiaknya patogen atau penyakit pada ikan.  Contoh kasus kematian ikan secara massal akibat pencemaran air terjadi di sungai Citarum pada tanggal 31 Juli 2020.   

Pemicu bintelehan tidak cukup hanya pendugaan saja, akan tetapi perlu dilakukan investigasi yang komprehensif, agar dapat diketahui secara pasti akar permasalahan utamanya. Apakah karena keracunan gas vulkanis (H2S, SO2), perubahan suhu (pengadukan/upwelling), kelebihan daya dukung (over populasi), dan kekurangan oksigen terlarut karena kondisi ekosistem danau Ranau yang tercemar,  sehingga bintelehan dapat diantisipasi dan diatasi secara cepat, dan tepat oleh semua pemangku kepentingan. 

Karakteristik Ekosistem Danau Ranau

Sebelum membahas mitigasi  bintelehan, dan guna memperkaya informasi tentang danau Ranau, baiknya kita mengenal terlebih dahulu karakteristik ekosistem danau Ranau.  Berhubung Jejak Erwinanta berasal dari Lampung Barat, maka hanya menyajikan profil ekosistem danau Ranau yang masuk wilayah administrasi Lampung Barat, jika Sobat punya informasi lainnya silahkan ditambahkan pada kolom komentar di bawah ya. 

Zona Ekosistem d. Ranau
Zona Ekosistem danau Ranau, JE 2022

Menurut Dr. Lukman, M.Si, Peneliti Limnologi LIPI (2020), Ekosistem danau memiliki 5 (lima) zona penting, yaitu Zona Limnetik, Zona Profundal, Zona Littoral, Zona Riparian, dan Zona Daerah Tangkapan Air (Catchment Area).  Zona-zona ini penting untuk diketahui karenai terkait dengan karaktertistik “morfometri danau”.  Morfometri danau adalah cabang dari limnologi yang mengukur bentuk badan air danau yang meliputi luas permukaan, volume, dan kedalaman rata-rata.  Pengukuran ini diperlukan untuk mengestimasi daya dukung perairan, laju produksi hayati, dan pemanfaatan ruang danau yang berkelanjutan. 

A. Zona Limnetik

Zona Limnetik merupakan daerah perairan terbuka dari danau yang masih terpengaruh oleh cahaya matahari yang mencukupi (trophogenik) atau wilayah dari badan air danau dimana cahaya matahari masih dapat menembus badan air secara efektif.  Komunitas danau yang berada pada zona ini adalah ikan, fitoplankton, dan zooplankton.  Berdasarkan hasil kajian Subagdja, et all. 2013, terdapat ± 21 jenis ikan yang hidup di danau Ranau. Jenis ikan yang mendominasi adalah ikan sebarau (Hampala macrolepidota), mujaer (Oreochromis mossambicus), dan kepor (Pristolepis grooti). Dua jenis ikan yang populasinya masih cukup banyak yaitu palau (Osteochilus vittatus) dan nila (Oreochromis niloticus). Ikan lain yang populasinya sedikit atau jarang adalah ikan baung (Hemibagrus nemurus), putak (Notopterus notopterus), keperas, selibak (Puntius sp), sepat (Trichogaster sp), kepiat (Puntius sp), gabus (Channa striata), piluk (Macrognathus sp), kalang (Clarias sp), betok (Anabas testudineus), bawal air tawar (Colossoma macropomum), tawes (Puntius javanicus) dan ikan mas (Cyprinus carpio). 

Luas zona limnetik danau Ranau yang berada di Kabupaten Lampung Barat ± 2.792,2 Ha.  Informasi penting dari zona Limnetik adalah tingkat kesuburan danau yang cenderung semakin meningkat ke kondisi eutropik (kesuburan tinggi) yang ditunjukan dari semakin tingginya kadar phospat.   

Kja 2015-2021
Perkembangan KJA,  JE, 2022
Keunikan lainnya adalah menyangkut pola aliran arus danau Ranau. Penelitian estimasi pola arus oleh Harsono dkk (2002), menyimpulkan bahwa  pola arus danau Ranau tidak dipengaruhi oleh debit aliran dari inlet.  Pola arus dipermukaan lebih dipengaruhi oleh “faktor Coriolis”, sedangkan pada lapisan-lapisan dibawahnya dipengaruhi oleh perbedaan “kepadatan air”.   Bentuk “arus Eddy” dijumpai hampir pada tiap lapisan. 

B. Zona Profundal

Zona Profundal merupakan bagian terdalam dari perairan danau yang tidak mendapatkan penetrasi efektif cahaya matahari (bagian gelap), menjadi tempat akumulasi berbagai hasil perombakan komponen autochtonous maupun allochtonous.  Autochtonous merujuk pada sumber bahan organik yang berasal dari perairan itu sendiri, sedangkan allochthonous istilah untuk bahan organik yang berasal dari ekosistem atau tempat lain yang terbawa masuk kedalam dasar danau.   Hasil ekspedisi Limnologi LIPI tahun 2002  di danau  Ranau menyimpulkan bahwa danau Ranau memiliki tingkat kesuburan mesotropic dan memiliki stratifikasi yang lemah.  Pada lapisan hipolimnion  mulai dari kedalaman rata-rata > 60 m sangat sedikit bahkan tidak lagi mengandung oksigen (anoxic) (kadar DO = 0 - 1,2 mg/l), mengandung H2S dan amonia (NH3) yang bersifat toksik, dan dasar danau memiliki tingkat konduktivitas yang tinggi.   

geologi & batrimetrik Ranau

Dasar danau Ranau tidaklah rata, merupakan tebing-tebing yang curam, bahkan ada yang berupa relung-relung yang sempit dan dalam.  Dibeberapa tempat antara desa Ujung - Heni Arong, terdapat singkapan-singkapan gas vulkan yang terperangkap di dalam tudung bebatuan (Cap Rock), yang sewaktu-waktu keluar akibat aktivitas vulkanologi gunung Seminung atau aktivitas sesar. Kedalaman rata-rata danau Ranau di bagian Lampung Barat berkisar antara 150-200 m, dan terdalam ± 225 m yang berada di  bagian barat daya Heni Arong dan Timur Laut Sukabanjar. 

C. Zona Littoral

Zona littoral merupakan daerah tepian danau yang merupakan perairan dangkal dengan ketersediaan sinar matahari yang cukup.  Zona Littoral merupakan daerah perairan yang produktif dan menjadi habitat penting biota danau.   Lebar Zona Littoral di wilayah Lampung Barat bervariasi antara 50 - 650 m, dengan kedalaman < 25 m. Tingkat kecerahan antara 0,5 – 7,5 m, dan kandungan oksigen terlarut antara 8,7 mg/l – 5,5 mg/l, serta kepadatan zoobentos pada kedalaman 1-25 m  sebanyak 13.021-15.741 individu/m2.  

Jejak Erwinanta membagi zona littoral di Lampung Barat kedalam 3 segmen, yaitu  zona littoral sempit < 100 m berada dari tanjung Cumalagi (KWT Lumbok Resort) hingga ke desa Heni Arong, merupakan zona Littoral yang curam. Pada zona littoral ini terdapat lepasan air panas yang berada di pekon Ujung. Zona littoral landai dengan lebar 250 m – 650 m berada di desa Lumbok hingga Keagungan, dan Zona Littoral antara 100 – 250 m berada dari Kaagungan hingga Tawan Sukamulya.  

eceng gondok & KJA

Hasil penelitian Sunanisari, 2002, Vegetasi air di zona Littoral danau Ranau didominasi kelompok Submerse, yaitu katagori tanaman terendam dan Free Floating (terapung bebas). Kelompok submerse didominasi adalah jenis Ceratophyllum demersum, Hydrilla verticillata, dan free floating adalah eceng gondok (Eichornia crassipes).  Eceng Gondok menjadi ancaman terhadap produktifitas zona littoral, disamping ancaman lainnya seperti keramba tancap, rapatnya keramba jaring apung, reklamasi dan sedimentasi. 

D. Zona Riparian

Zona Riparian merupakan daerah daratan yang menjadi batas dari ekosistem danau yang masih dipengaruhi oleh batas air tertinggi danau. Zona Riparian berisi vegetasi yang  menjadi filter terhadap komponen allochtonous yang dapat mengancam kesehatan danau.  

Zona Riparian berbeda dengan sempadan danau.  Sempadan danau adalah  Luasan lahan yang mengelilingi dan berjarak tertentu dari tepi badan danau yang berfungsi sebagai kawasan pelindung danau .  Garis sempadan danau ditentukan mengelilingi danau paling sedikit berjarak 50 m dari tepi muka air tertinggi yang pernah terjadi (Pasal 12 Permen PUPR Nomor: 28/PRT/M/2015 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau).  Idealnya garis sempadan danau ditentukan lebarnya dari zona riparian ditambah 50 m ke arah daratan. Luas zona Riparian danau Ranau di wilayah Lampung Barat: ± 60,2 ha, sedangkan luas sempadan danau di diukur dari zona Riparian ± 106  ha.  

riparian d ranau
zona Riparian (hijau), Sempadan (orange), JE 2022

Hasil penelitian Sunanisari (2002) teridentifikasi jenis vegetasi di  zona Riparian terdiri dari ± 17 jenis rumput-rumputan, 35 jenis herba, dan  ± 26 jenis vegetasi pohon hutan, dan ± 15 jenis tanaman budidaya.  Ancaman terhadap zona Riparian adalah konversi lahan menjadi permukiman dan areal terbangun lainnya, sehingga tidak ada lagi filter yang menyaring limbah pertanian dan rumah tangga ke perairan danau Ranau. 

E. Zona Daerah Tangkapan Air (Catchment Area)

Daerah tangkapan air  (DTA) adalah luasan lahan yang mengelilingi danau dan dibatasi oleh tepi sempadan danau sampai dengan punggung bukit pemisah aliran air (Pasal 1 ayat 12 Permen PUPR No.:  28/PRT/M/2015).  Luas DTA Ranau berdasarkan data BBWSS VIII tahun 2021 ± 491.7  km2. Sedangkan luas DTA Ranau di Lampung Barat ± 240 km2, yang terdiri dari DTA Lumbok ± 85 Km2 dan DTA Warkuk ± 155 Km2.  DTA Ranau juga berperan penting dalam memilihara kelestarian cekungan air tanah (CAT) Ranau, yang merupakan CAT lintas propinsi.  Luas CAT Ranau ± 1.501 km2. CAT adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas dan tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah. (Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah RI No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah).  

Informasi penting dari daerah tangkapan air, adalah data tentang tata guna lahan, atau tutupan lahan.  Berdasarkan peta tutupan lahan dari luas DTA yang berada di Lampung Barat sekitar 24,15% merupakan kawasan hutan, 67,45% merupakan lahan budidaya pertanian lahan kering, dan sekitar 6,25% adalah budidaya  pertanian lahan basah.      


Baca Juga:  | Danau Ranau - Kemilau Masa Depan |


Mitigasi Bintelehan 

Jika melihat karakteristik ekosistem danau Ranau, maka pemicu terjadinya bintelehan bisa berasal dari dalam ekosistem danau Ranau atau berasal dari luar ekosistem danau Ranau.  Mungkin kita tidak mampu mencegah datangnya “bintelehan”, tapi bisa meminimalisir kerugian yang terjadi. Berikut beberapa saran dan masukan guna mengantisipasi “bencana bintelehan”:

  • Menetapkan SOP dan membangun kelompok Nelayan KJA yang responsive terhadap Bintelehan dan peduli akan kesehatan ekosistem danau Ranau.

Jika puluhan ton ikan mati tidak cepat tertangani tentunya akan menambah persoalan baru yang mengancam kesehatan masyarakat dan ekosistem danau secara luas. Untuk itu perlu dibangun kelompok nelayan KJA layaknya seperti satgas yang responsive terhadap bencana bintelehan, mulai dari upaya pencegahan, kesiapsiagaan, evakuasi, hingga penanganan kedaruratan. Penanganan bintelehen melibatkan banyak pihak, karenanya perlu dituangkan kedalam SOP yang jelas, agar setiap elemen mampu menjalankan aktivitas dengan tepat, cepat, efektif, efisien, dan terhindar dari kesalahan.  

SOP penanganan
Contoh Bagan alir penanganan kematian ikan di danau (Puspasari, et. al., 2017).


  • Menetapkan, mengatur, dan mengendalikan produksi perikanan budidaya agar tidak melebihi daya dukung dan daya tampung danau Ranau.  

Perairan danau yang terlalu subur (eutrofik-hipereutrofik) berpeluang terjadinya bintelehan semakin sering terjadi, dan tentunya danau semakin tidak cocok sebagai lokasi usaha budidaya KJA.  Berdasarkan Dokumen Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Prioritas Lumbok Seminung (Danau Ranau), Kementerian ATR/BPN (2020), telah memberikan rekomendasi tentang kapasitas   produksi perikanan budidaya KJA di danau Ranau yakni sebesar 336 ton/tahun untuk target kesuburan rendah (oligotropik) dan 3.702 ton/tahun untuk target kesuburan sedang (mesotropik), dengan luas   yang disarankan ±  61,65 Ha.   Target produksi ini bisa digunakan sebagai indikator dalam rangka pemanfaatan dan pengendalian ruang perairan danau Ranau, agar tidak melebihi daya dukung danau Ranau. Selain itu, usaha budidaya KJA yang dilakukan juga harus mengacu pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 02/MEN/2007 Tentang Cara Budidaya Ikan Yang Baik.

  • Pemasangan Early Warning System (EWS)
Salah satu teknologi EWS adalah buoy PLUTO yang pernah diujicobakan di waduk Jatiluhur, waduk Cirata, dan Danau Maninjau tahun 2015 oleh Pusat Pengkajian dan Perekayasaan Teknologi Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Prinsip kerja teknologi EWS adalah merekam parameter perairan seperti kondisi oksigen, suhu, TDS (Total Dissolved Solid), DO (Dissolved Oxygen), H2S (Hidrogen Sulfida), dan pH.  Perubahan kondisi parameter dari normal menjadi tidak normal akan memprediksi munculnya bintelehan. Kelemahan dari teknologi ini adalah segi biaya yang tidak murah dan pemeliharaannya harus dilakukan secara kontinu sepanjang tahun (Sulaiman, 2020, p 65).

  • Memperbaiki teknik budidaya dan manajemen pemberian pakan ikan yang efisien dan ramah lingkungan. 
Salah satu upayanya adalah dengan mengurangi kepadatan tebar. Padat tebar yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kompetisi dalam memperebutkan ruang, makanan dan oksigen.  Padat tebar optimal untuk budidaya jenis ikan nila di dalam KJA adalah sekitar 20-109 ekor/m2.  Teknologi pemberian pakan ikan terapung dengan kandungan phospat dalam pakan maksimal 1% akan mengurangi dampak penyuburan perairan danau (Sulaiman, 2020).  Opsi lainnya adalah dengan mengaplikasikan teknologi KJA ramah lingkungan seperti KJA SMART dan KJA Berlapis (jaring ganda), serta metode pemberian pakan ikan yang efisien seperti metode 90% Satiation Feeding, dan  Protein Sparring.
  
  • Mempertahankan kualitas perairan danau 
Melalui upaya-upaya pengendalian pencemaran limbah organik di  DTA danau, seperti program sanitasi atau penyehatan lingkungan permukiman, penerapan budidaya pertanian organik yang ramah lingkungan,  pembangunan IPAL,  kampanya dan advokasi lingkungan hidup, dan sebagainya.     


Inilah lima hal yang Jejak Erwinanta sarankan, semoga bermanfaat ya.  Yuuk Kita Selamatkan danau Ranau agar terus memberikan manfaat hingga generasi di masa depan.  Salam Sehat, Salam Lestari.


“... dan janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik, berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya kasih sayang Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik...”    QS. Al-A’raf ayat 56



Referensi:

Zaenudin, Akhmad, et all. 2011. Studi Awal Fenomena Kematian Ikan di Danau Ranau, Sumatera Selatan. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol 2. No. 2. Edisi Agustus 2011.  Badan Geologi. Bandung. Halaman 77-94

Subagdja, et all. 2013. Laporan Teknis Ekologi, Biologi dan Kapasitas Penangkapan Sumberdaya Ikan di Danau Ranau Provinsi Sumatera Selatan.  Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Mengenal Ekosistem Danau (Sumber: http://www.limnologi.lipi.go.id/newsdetail.php?id=1020)

Eutrofikasi Penyebab Kematian Massal Ikan (Sumber: http://lipi.go.id/berita/single/Eutrofikasi-Penyebab-Kematian-Massal-Ikan/10464)

Sulaiman, P.S., et all. 2020.  Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kematian Massal Ikan di Danau dan Waduk. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, Volume 12 Nomor 2 November 2020.  


9 komentar:

  1. Semoga cepat teratasi. Jangan salahkan alam, hanya untuk sekedar menutupi kesalahan kita.

    BalasHapus
  2. dari kemarin mau komen, error melulu. sekedar mengingatkan, danau ranau itu milik umum, tapi bukan wc umum lur...

    BalasHapus
  3. Pemkabnya sosialisasikan, pengusaha KJA jgn hanya mikirin target & setoran saja, kalau sdh begini kalian jg yg rugi kan?

    BalasHapus
  4. Sehat selalu ya bang

    BalasHapus
  5. KJA SMART & KJA Berlapis, merupakan model KJA Ramah Lingkungan yang dapat diterapkan di waduk maupun danau. Ada dua tujuan utamanya yaitu mengurangi pemborosan pakan ikan yang beresiko terhadap penurunan kualitas air, dan keragaman produk yang dapat menambah pendapatan. KJA SMART adalah KJA Sistem Manajemen Air dengan Resirkulasi dan Tanaman. KJA SMART mengadopsi teknologi Aquaponik. KJA berlapis merupakan pengembangan dari teknologi Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA), dimana dalam satu petak KJA terdapat dua lapis jaring yang berisi dua jenis ikan, dimana ikan pada lapis jaring kedua memanfaatkan sisa pakan ikan dari jaring lapis pertama. Demikian penjelasan singkatnya, semoga bermanfaat. Salam lestari juga ... he he he

    BalasHapus
  6. Terimakasih atas saran-sarannya, semoga makin melengkapi informasi ttg d. Ranau. Tentunya pemkab lambar dan prop. Lampung tengah berupaya mengatasi persoalan2n ini secara maksimal. Sebagai bentuk penyelamatan ekosistem d. Ranau lainnya adalah penyelamatan ikan semah (Tor dourenensis) yg dulu byk ditemukan di sungai Silabung dan d. Ranau, kini sdh makin mendekati kepunahan.

    BalasHapus
  7. Semoga danau Ranau tetap menjadi kawasan yang bernilai strategis, terjaga keindahan bentang alamnya, luhur masyarakatnya, dan lestari sumberdaya alamnya.

    BalasHapus

Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer