“Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan oleh Belanda (1830-1870), tidak hanya membuktikan betapa kayanya negeri ini, dan betapa keserakahan yang menungganginya telah menyisakan pahitnya penderitaan. Kelaparan dan gizi buruk, serangan wabah penyakit, kemiskinan, dan kebodohan, menjadi warna-warna kelam yang sulit dihapuskan dari catatan sejarah bangsa.
Politik kolonialisme dan imperialisme telah mewariskan karakter bangsa tertindas, yang dicirikan dengan perilaku mudah diadu domba, penghambaan diri, feodalisme, ketergantungan ekternalitas yang tinggi, terpupuknya sifat ketidakmandirian, takut menghadapi tantangan akan perubahan, serta yang terparah adalah hilangnya harkat dan martabat bangsa.
“Warna kopi yang hitam, dan rasa pahitnya seolah menggambarkan bagaimana kelam dan pedihnya penderitaan sebagai bangsa yang terjajah. Haruskah akan terulang kembali di zaman ini?”
Revolusi Industri di Inggris pada periode 1760-1850 menyebabkan terjadinya perubahan besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, energi, militer, dan komunikasi. Perubahan tersebut memberikan dampak yang mendalam terhadap dinamika sosial dan budaya, perekonomian, dan lingkungan, secara global.
Droogbakken op het koffie-etablissement Wai-Lima in de buurt van Teloekbetoeng, 1897 (Sumber: Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Revolusi industri mendorong munculnya pergeseran sosial dan budaya dari semula masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Dari petani menjadi buruh pabrik, terjadi transformasi sosial dimana peranan manusia dan hewan tergantikan dengan mesin dan teknologi.
Banyak pabrik-pabrik pengolahan didirikan, yang mendorong sumberdaya hayati dan sumber daya manusia sebagai input industri pun kian banyak dibutuhkan. Revolusi industri mendorong pula terjadinya kerusakan habitat dan ekosistem dimana sumberdaya alam itu dieksploitasi, dan diektraksi secara besar-besaran. Ketimpangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang tinggi menjadi konsekuensi yang harus dihadapi, yang kemudian melahirkan berbagai pandangan liberalisme dan kapitalisme.
Kopi turut berperan mengiringi perubahan atau transformasi sosial yang terjadi. Kopi menjadi simbol dari kultur sekaligus gaya hidup yang dikenal pada masa itu sebagai “bourjuis”. Kopi kian mendorong sistem kapitalis tumbuh dengan suburnya. Kopi melahirkan banyak inovasi dan menumbuhkan berbagai korporasi sebagai “hilirisasi” kopi secara komersil. Kopi tidak hanya sebatas minuman, namun merambah hingga ke medis dan kosmetik.
Contohnya adalah Perusahaan Hill Bros yang pada tahun 1900, memperkenalkan dan memasarkan minuman kopi kalengan, dan pada tahun 1903 Ludwig Roselius, seorang keturunan German berhasil memisahkan kafein dari biji kopi dan menjual produknya dengan nama “Sanka” di Amerika Serikat.
Baca juga: 7 Pemanfaatan Limbah Buah Kopi menjadi bernilai Ekonomis
Tahun 1848 muncul Konstitusi baru di Belanda, dimana Parlemen mempunyai kuasa atas urusan-urusan kolonial. Parlemen terbagi menjadi dua kelompok yang mengkritisi pandangannya terhadap pelaksanaan tanam paksa di daerah jajahan Hindia Belanda, yaitu golongan humanis dan golongan kapitalis.
Golongan humanis meminta sistem tanam paksa harus segera dihapuskan karena telah banyak menindas dan menyengsarakan penduduk di tanah jajahan. Padahal daerah koloni telah memberikan kontribusi besar menyelamatkan negara Belanda dari kebangkrutan akibat perang. Kelompok ini mendukung perlunya perbaikan-perbaikan nasib rakyat di tanah jajahan guna mendapatkan kembali kebebasan sosialnya.
Golongan Kapitalis beranggapan bahwa sistem tanam paksa justru menciptakan kehidupan ekonomi yang tidak sehat dengan memperlakukan rakyat sebagai objek, bukannya sebagai subyek dalam kegiatan ekonomi. Bagi golongan ini, Pemerintah hanya berperan dalam urusan regulasi dan perpajakan, sedangkan urusan perekonomian diserahkan sepenuhnya kepada kelompok kapitalis.
Vrouwelijke contractanten op het koffie-etablissement Wai-Lima in de buurt van Teloekbetoeng, 1897 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Kemenangan partai Liberal atas partai Konservatif dalam parlemen 1860, melahirkan babak baru masuknya politik ekonomi kapitalis di wilayah kolonial, seperti penghapusan perbudakan pada 1 Juli 1863, dan dihapuskannya sistem cultuurstelsel secara bertahap yang dimulai dari tahun 1870. (Tahun 1878, kopi dan tebu benar-benar dihapuskan diseluruh jajahan Belanda).
Pada tahun 1871 diberlakukan undang-undang agraria (Agrarische Wet). Undang-undang ini membuka peluang bagi investor menanamkan modalnya di wilayah Nusantara. Walaupun Agrarische Wet turut menghapus sistem cultuurstelsel, namun pada prakteknya hanyalah memindahkan imperialisme dari pemerintah kepada golongan kapitalis.
Undang-undang agraria 1871, menjadi dasar diterbitkannya peraturan ketenagakerjaan yang disebut sebagai Koelie Ordonnanties di tahun 1880. “Kuli” adalah sebutan untuk buruh kontrak dengan upah rendah (pekerja kasar).
Kopi tanpa disadari turut melatarbelakangi terjadinya reformasi politik dan ekonomi di Nusantara. “Kopi Jawa” merupakan simbol yang menggambarkan penderitaan bumiputera, akibat penindasan dan penjajahan. Sayangnya penderitaan tersebut hanya sampai sebatas tanah jajahan, tidak sampai "dikenal" oleh dunia.
Terbukanya derita bumiputera dibalik kejayaan kopi jawa, dikisahkan melalui novel karya Multatuli yang berjudul "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" ("Max Havelaar: Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda").
Multatuli merupakan nama pena untuk Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820 – 19 Februari 1887), seorang berkebangsaan Belanda. Istilah “multatuli” diambil dari bahasa latin, yang memiliki makna "banyak yang aku sudah derita".
Plantagearbeiders van het koffie-etablissement Wai-Lima in de buurt van Teloekbetoeng, 1893 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Novel satir ini pada dasarnya mempersonifikasikan dari idealisme, emosional, dan sekaligus rasa frustasi Douwes Dekker, atas bentuk-bentuk ketidakadilan yang dilihat dan dirasakannya, semasa bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak Banten.
Eduard Douwes Dekker memiliki karier yang cukup sukses sebagai pejabat pemerintah Belanda di Hindia Timur. Jabatan terakhir E. Douwes Dekker, sebelum berhenti dan menjadi penulis, adalah Asisten Residen Lebak yang berkedudukan di Rangkasbitung. Dia dilantik pada Januari 1856. Semasa menjabat, Dekker melihat berbagai fakta perlakuan tidak adil terhadap pribumi, yang sangat bertentangan dengan hati nurani dan idealismenya.
Tanam paksa kopi menyebabkan rakyat Lebak, mengalami perlakuan yang tidak berprikemanusiaan, disatu sisi dari aturan tanam paksa oleh pemerintah Belanda, dan sisi lainnya adalah perlakuan Bupati Lebak yang seharusnya mengayomi rakyatnya namun sebaliknya malah berbuat sewenang-wenang.
Demi mendapatkan “keuntungan” pribadi melalui sistem tanam paksa kopi, Bupati Lebak, tega menjual nasib rakyatnya sendiri dengan memberlakukan kerja rodi, korupsi, serta mewajibkan rakyatnya menyetorkan kopi dengan imbalan yang sangat rendah, apabila kurang atau tidak memenuhi target yang ditentukan, tak segan Bupati Lebak akan merampas ternak dan harta benda rakyatnya sendiri sebagai kompensasinya.
Eduard Douwes Dekker melaporkan kesewenangan dan penyimpangan yang dilakukan Bupati Lebak kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal, namun Dekker justru mendapatkan peringatan keras dari atasannya. Kecewa atas sikap atasannya dan juga kuatir akan ancaman pembunuhan dari Bupati Lebak, Dekker mengajukan pengunduran diri dari jabatannya dan pulang ke tempat kelahirannya di Amsterdam Belanda.
Berbagai manuskrip, naskah sandiwara, surat menyurat, dan fakta-fakta yang dibawanya selama bertugas sebagai asisten residen, menjadi sumber inspirasi Dekker untuk menulis novel Max Havelaar. Novel Max Havelaar diselesaikannya selama 1 bulan di sebuah losmen di Brusell pada bulan September 1859.
Kantoor van de landbouwconsulent in Tandjoengkarang, Lampongs, 1935 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Novel Max Havelaar dipublikasikan pertama kali pada tahun 1860, dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa, oleh para kritikus sastra. Max Havelaar dianggap sebagai karya tulis modern yang pertama kalinya menyajikan nasib kelam rakyat terjajah, dan perlakuan diskriminatif serta penindasan melalui sistem tanam paksa kopi di daerah kolonial yang ironisnya justru dilakukan oleh negaranya sendiri.
Novel bergaya satir yang memotret penderitaan bumiputera dibalik kejayaan “kopi jawa”, menjadi salah satu Karya Sastra terkenal dunia. Max Havelaar diterjemahkan ke bahasa Indonesia pertamakalinya oleh HB Jassin pada tahun 1972, dan diubah ke layar lebar pada tahun 1976 oleh Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan antara Belanda-Indonesia, namun baru tahun 1987, film Max Havelaar boleh ditayangkan di Indonesia.
Eduard Douwes Dekker memiliki saudara bernama “Jan” yang merupakan kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest François Eugène Douwes Dekker (8 Oktober 1879 – 28 Agustus 1950) yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi. E.F.E Douwes Dekker, bersama dengan Ki Hajar Dewantara, dan Tjipto Mangoenkoesoemo dikenal dengan nama “Tiga Serangkai”. Mereka mendirikan Indische Partij (Partai Hindia) yang menjadi partai politik pertama di Hindia Belanda, pada tanggal 25 Desember 1912.
E.F.E Douwes Dekker adalah orang yang pertama menggagas dan mempopulerkan istilah ‘Nusantara” sebagai nama untuk Hindia Belanda merdeka.
Ada dua “Douwes Dekker” yang berjuang untuk nasib bangsa Indonesia, yaitu Eduard Douwes Dekker yang dikenal sebagai Multatuli, dan Ernest François Eugène Douwes Dekker yang dikenal sebagai Danudirja Setiabudi.
“Kopi walaupun sama-sama hitam dan pahit, namun punya keragaman jenis dan cita rasa yang spesial, ada arabika, robusta, liberika dan ekselsa, dan masing-masing memiliki fanatismenya. Boleh kamu bercerita tentang nikmatnya kopi yang menjadi seleramu, tapi jangan memaksakan fanatisme kopimu pada lain orang, karena kopi bukanlah untuk didebat tapi untuk dinikmati..”
Ekstensifikasi kopi melalui sistem tanam paksa justru menyebabkan pengusahaan kopi menjadi tidak berkelanjutan, dan rakyat semakin jauh dari kemakmuran. Kopi seolah dipandang sebagai “kutukan” daripada dilihat sebagai suatu “keuntungan”.
Koffie stampende vrouwen op het koffie-etablissement Wai-Lima in de buurt van Teloekbetoeng, 1897 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Pada tahun 1876 penyakit karat daun mulai menjangkiti tanaman kopi di nusantara. Hingga tahun 1885, karat daun menyerang dan merusak hampir seluruh perkebunan kopi di Nusantara, terutama yang ditanam di bawah ketinggian 1.000 mdpl.
Produksi “kopi jawa” antara tahun 1896 dan 1900 merosot tajam yakni hanya menghasilkan 25% dari rata-rata jumlah produksi sebelumnya. Pada era ini “kopi jawa” mulai tenggelam dan kopi dari Brazil mulai bangkit mendominasi pasar dunia.
Baca juga: Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian I)
A. Riwayat Kopi di Lampung Barat
Dari banyak pendekatan, Jejak Erwinanta sependapat bahwa awal mula masuknya tanaman kopi di wilayah Lampung Barat, tidak terlepas dari peranan Kongsi Dagang Inggris di Hindia Timur (British East India Company-EIC) pada saat berkuasa di Bengkulu pada tahun 1685-1824.
Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Pesisir Barat, di masa Inggris berkuasa (1811-1816) maupun setelah penyerahan kembali kepada Belanda (Traktat London tahun 1824), keduanya berada dalam satu wilayah yang sama, setingkat Kabupaten, bernama “Afdeeling Krui” yang menjadi bagian dari Keresidenan Bengkulu.
Tahun 1838 hingga 1940, Keresidenan Bengkulu, terbagi kedalam 9 afdeling, yaitu: Bengkulu, Seluma, Manna, Kaur, Lais, Krui, Rejang, Lebong, dan Muko-Muko. Sekitar tahun 1951, Onderafdeeling Krui memisahkan diri dari keresidenan Bengkulu, dan menjadi bagian dari Keresidenan Lampung.
Afdeeling adalah sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten. Administratornya dipegang oleh seorang Asisten Residen. Afdeeling merupakan bagian dari Keresidenan.
Afdeeling Krui berbatasan dengan Keresidenan Palembang, di sebelah Utara, dan Keresidenan Lampung di bagian Timur hingga Selatan. Walaupun diapit oleh daerah penghasil kopi, namun masuknya tanaman kopi ke ladang-ladang masyarakat di Afdeeling Krui, diperkirakan, jauh sebelum Belanda memperkenalkan kopi di Teluk Betung pada tahun 1841, ataupun di daerah Komering pada tahun 1819.
Peta: Overzichtskaarts Bevolking Residentie Benkoelen skala 1:500.000, tahun 1930 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Mundurnya kejayaan Banten, sebagai akibat perebutan kekuasaan dan semakin menguatnya pengaruh VOC di Batavia, menyebabkan maskapai dagang Inggris (EIC) kehilangan mitra dagang strategis dan komoditas dagang potensial di Jawa. Guna memperkuat posisinya di jalur perdagangan rempah-rempah di bagian barat Sumatera, Inggris memperkuat diplomasinya dengan raja-raja di Bengkulu yang masih loyal terhadap Sultan Agung Tirtayasa.
Hubungan tersebut membuahkan hasil dengan diizinkannya Inggris membangun kantor dagang (loji) di Bengkulu, melalui perjanjian Traktat York antara Inggris dengan Kerajaan Selebar dan Kerajaan Sungai Lemau pada tanggal 12 Juli 1685. Setelah mendapat izin, Inggris membangun benteng Fort York di sungai Serut, yang berfungsi tidak hanya sebagai pertahanan, akan tetapi juga sebagai kantor dagang, barak militer, dan pemukiman bagi bangsa Inggris.
Sejak itu Inggris terus memperluas pengaruhnya sampai ke Muko-muko. Di tahun 1692-1700 Inggris telah mendirikan pos di Triamang, Lais, Ketahun, Ipuh, Bantal, dan Seblat, serta memperluas kerja samanya dengan kerajaan-kerajaan lainnya di pesisir barat Bengkulu.
Pada tahun 1701, Inggris mulai memperluas pengaruhnya hingga ke bagian selatan Bengkulu, seperti Seluma, Manna, Kaur dan Krui. Sejak saat itu, “Krui” menjadi bagian dari wilayah Bengkulu.
Tahun 1714, Joseph Collett menggagas untuk membangun benteng baru, menggantikan benteng Fort York yang kondisinya sudah tidak layak. Benteng baru ini dikenal sebagai Benteng Marlborough, yang selesai pembangunannya pada tahun 1715, dan sejak itu pusat perdagangan dan koloni Inggris pindah ke Benteng Marlborough.
Produksi hasil bumi di Bengkulu sangatlah sedikit, hal ini yang kemudian mendorong Inggris mendirikan pos di Pulau Pisang dekat Krui pada tahun 1745. Pulau Pisang digunakan oleh Inggris sebagai jalur penyelundupan kopi dan lada yang berasal dari Lampung, Palembang, dan Banten.
Pada masa itu, VOC merupakan eksportir utama kopi dari pulau Jawa, yang dikenal dengan nama “Java Coffee”. Rendahnya harga kopi yang ditetapkan Belanda, menyebabkan beberapa penguasa atau saudagar lokal, seringkali menyelundupkan kopi dan lada untuk dijual kepada pedagang-pedagang dari Inggris, China dan Arab, dengan harga yang lebih baik dari yang ditetapkan oleh VOC.
In het midden een kruidnagelboom, Lampongs, 1932 (Koleksi Universitas Leiden) |
Pada masa residen Inggris sir Thomas Parr berkuasa di Bengkulu (1805-1807), dilakukan kebijakan yang otoriter, salah satunya adalah pemberlakuan tanam paksa kopi. Thomas Parr, ingin mencontoh konsep “Preangerstelsel Kopi”, yang pernah sukses dijalankan Belanda di tanah Pasundan. Harapannya tanah Bengkulu punya lebih banyak ragam komoditas ekspor yang menguntungkan bagi Inggris.
Sayangnya, Thomas Parr, melupakan bahwa kultur masyarakat Bengkulu, dan Lampung sangat berbeda dengan kultur Jawa. Penerapan tanam paksa kopi yang sepihak memicu ketersinggungan para tokoh Bengkulu yang berujung terbunuhnya Thomas Parr pada tanggal 23 Desember 1807.
Walaupun kebijakan Thomas Parr, kurang mendapatkan sambutan yang baik, namun melalui kebijakannya itu, tanaman kopi mulai diperkenalkan kedalam sistem budidaya masyarakat Bengkulu yang pada umumnya menganut pertanian ladang berpindah.
Tanaman kopi pada akhirnya menyebar hingga ke bukit-bukit di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Hingga tahun 1821, banyak dijumpai ladang-ladang kopi dengan areal yang tidak begitu luas di daerah Kepahiang, Bintuhan hingga distrik-distrik di Balik Bukit (Krui).
Bengkulu mulai menunjukan kemajuannya pada massa Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan Gubernur di Bengkulu (1818-1824). Sebelumnya Raffles pernah ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816), setelah berhasil mengalahkan Gubernur Jenderal Belanda Jan Willem Janssens di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1811, yang diakhiri dengan perjanjian “Kapitulasi Tuntang” pada tanggal 18 September 1811. Salah satu dari isi Perjanjian Tuntang adalah penyerahan wilayah Hindia Belanda kepada pemerintah Inggris di Kalkuta, dan pemberlakuan perdagangan bebas.
Raffles tiba di Bengkulu pada tanggal 22 Maret 1818, menggantikan residen Inggris bernama Siddens. Kondisi Bengkulu pada saat itu ibarat seperti “kota mati”, banyak bangunan yang tidak terawat, rusak, dan tidak berpenghuni, sebagai akibat dari bencana gempa bumi hebat pada bulan April 1811.
Raffles melakukan reformasi dan revitalisasi di Bengkulu, antara lain dengan memberlakukan kebijakan pasar bebas, dimana masyarakat diberi kebebasan menanam komoditas apapun yang disukai, menghapuskan perbudakan, menjaga ketertiban sosial dengan pelarangan judi serta sabung ayam, mendirikan sekolah-sekolah bagi pribumi, normalisasi hubungan dengan para tokoh adat, memperbaiki infrastruktur jalan, dan menerbitkan surat khabar “The Malayan Gazette”.
Selama 6 tahun memerintah Raffles berhasil membangun kembali Bengkulu yang sebelumnya hancur karena bencana, membangkitkan kembali perekonomian, serta memperbaiki citra Inggris di mata masyarakat Bengkulu.
Masa Raffles produksi komoditas ekspor, seperti kopi, lada, damar, rotan dan rempah-rempah lainnya mengalami peningkatan, walaupun belum dikatakan menyaingi daerah sekitarnya (Lampung dan Palembang). Bengkulu semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang asing yang berasal dari Tiongkok, Arab, dan India. Terdapat 3 wilayah sebagai sentra penghasil komoditas pertanian bernilai ekspor di Bengkulu, yaitu distrik Seluma, Kaur dan “Krui”.
Administrateurshuis van een koffieplantage te Redjosari, Lampongs, 1920 (sumber: Koleksi Digital, Universitas Leiden) |
Pada tanggal 29 Januari 1819, Raffles mendirikan sebuah pos perdagangan bebas di pulau Tumasik, ujung selatan Semenanjung Malaka, yang di kemudian hari dikenal sebagai “Singapura”. Raffles memiliki rencana besar untuk memajukan perdagangan di Selatan Malaka dan menyaingi pengaruh Belanda di Batavia, dengan membangun jalur perdagangan dari Bengkulu – Lampung – Palembang – Singapura, dan mendirikan pangkalan angkatan laut Inggris di pesisir Kelumbayan yang terletak di sebelah Tenggara Teluk Semangka.
Sayangnya rencana tersebut tidak sempat diwujudkan, seiring tunduknya Kesultanan Palembang terhadap Belanda dan ditandatanganinya Perjanjian London atau yang dikenal sebagai Traktat London (Treaty of London), pada tanggal 17 Maret 1824.
Traktat London berisi tentang penyerahan Bengkulu dan semua kepemilikan Inggris di Sumatera kepada Belanda, dan sebagai kompensasinya Belanda menarik pasukannya dari Singapura dan menyerahkan wilayah tersebut kepada Inggris, termasuk kota dan Benteng di Malaka. Pada tanggal 22 Agustus 1824, Raffles kembali ke Inggris sekaligus mengakhiri tugasnya di Bengkulu.
Pada bulan April 1825, Belanda mengambil alih Bengkulu. Pada saat penyerahan Bengkulu dari Inggris kepada Belanda, Keresidenan Bengkulu terdiri dari 5 (lima) wilayah afdeling, yaitu: Bengkulu, Lebong, Seluma, Kaur, dan Krui.
Kemudian pada tahun 1838 Pemerintah Belanda membagi Keresidenan Bengkulu, kedalam 9 afdeeling, yaitu: Bengkulu, Seluma, Manna, Kaur, Lais, Krui, Rejang, Lebong, dan Muko-Muko. Jumlah penduduk Bengkulu pada 1838 mencapai ± 82.000 jiwa. Umumnya penduduk berdomisili di daerah pegunungan seperti di Balik Bukit (Krui) dengan mata pencaharian adalah petani dan pengrajin.
Pada tahun 1830-1833, Bengkulu dipimpin oleh Residen Belanda bernama Knoerle. Knoerle menjalankan kebijakan yang kontroversial dan menyebabkan banyak kemarahan elit pribumi Bengkulu, seperti penghapusan gelar kepangeranan (kebangsawanan) dan hak-hak adatnya.
Tahun 1833, Knoerle mewajibkan tanam lada dan kopi, khususnya di wilayah Bengkulu bagian selatan, mulai dari Seluma hingga Krui. Tercatat dari Kampung Pedada di afdeeling Krui, sebanyak 25 orang kepala keluarga telah diikutkan dalam tanam paksa kopi ini.
Untuk memudahkan pengawasan tanam paksa kopi, dibentuk "Penghulu Kepala" yang bertugas untuk mengatur Heerendiensten (pekerjaan paksa / kerja rodi), dan pengawasan tanam paksa kopi. Penghulu kepala digaji oleh Pemerintah Belanda. Rakyat menyebutnya sebagai "Penghulu Rodi" atau "Mandor Besar". Penerapan tanam paksa lada dan kopi tidak memberikan hasil yang memuaskan, hanya di wilayah Krui saja yang memberikan hasil yang cukup baik.
Tahun 1833, Knoerle tewas dibunuh rakyat. Terbunuhnya Knoerle diduga karena terkait penerapan kembali tanam paksa dan kerja rodi yang semasa Raffles telah dihapuskan.
Pada tahun 1847 terjadi pemberontakan rakyat di afdeeling Krui dipimpin oleh Raja Alam dari Penggawa Lima. Motif pemberontakan adalah menuntut adanya perbaikan perjanjian kerja karena ‘wajib tanam lada dan kopi’ dirasakan kian memberatkan penduduk. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Belanda. Pada tahun 1871, wilayah Penggawa Lima dipecah menjadi 3 margahoofd atau pesirah, yaitu Penggawa Lima Ilir, Penggawa Lima Tengah, dan Penggawa Lima Ulu.
Koffie-aanplant met kapok en hevea als tussencultuur, 1915. (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Campur tangan penjajah dalam mengatur hak-hak adat, hingga pemberlakuan kerja paksa maupun tanam paksa bagi rakyat Bengkulu, memicu terjadinya berbagai huru hara. Hingga tahun 1873, tercatat 5 pejabat tinggi baik Inggris dan Belanda yang telah terbunuh di Bengkulu, yaitu Kapten Hamilton (Inggris), Residen Thomas Parr (Inggris), Residen Knoerle (Belanda), Residen Van Amstel (Belanda) dan Kontrolir Cartens (Belanda).
B. Sebaran Ladang Kopi di Afdeeling Krui
Berdasarkan laporan Koloniaal Verslag yang diterbitkan tahun 1880, disampaikan bahwa tahun 1879 sektor pertanian di Bengkulu menunjukan adanya kemajuan, khususnya di afdeling Manna, Kaur, dan Krui. Dilaporkan juga bahwa penduduk afdeling Krui relatif lebih sejahtera dibandingkan dengan afdeeling Manna dan Kaur yang masih tertinggal kesejahteraannya.
Afdeeling krui walaupun masuk dalam wilayah Keresidenan Bengkulu, namun memiliki garis suku yang berbeda dengan Bengkulu. Afdeeling Krui memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dengan adat Lampung Saibatin atau Peminggir. Pada masa itu, pemerintahan adat Lampung di Afdeeling Krui tidak berbentuk kerajaan, tapi terbagi kedalam kepaksian dan marga-marga.
Belanda membentuk sistem pemerintahan setingkat marga dibawah afdeeling yang disebut sebagai margahoofd atau pesirah. Margahoofd atau Pesirah adalah kepala pemerintahan marga pada masa Hindia Belanda di Sumatera Bagian Selatan yang meliputi Keresidenan Lampung, Palembang, dan Bengkulu. Pesirah dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa, dan diangkat melalui pemilihan langsung oleh masyarakat dalam satu marga.
Pesirah diberi gelar “Pangeran”, dan membawahi beberapa desa yang setiap desanya dipimpin ginde (kepala desa) yang bergelar pembarab atau proatin. Ginde membawahi "kerio" (kepala dusun) dengan gelar penggawa. Kini beberapa pesirah sudah berubah menjadi Kecamatan-kecamatan.
Peta Afdeeling Krui, Keresidenan Bengkulu, Skala 1:200.000 tahun 1910, (Sumber: Perpustakaan Digital Universitas Leiden) |
Afdeeling Krui, dipimpin oleh seorang kontroleur yang pada awalnya membawahi 13 margahoofd atau pesirah. Hingga tahun 1930, afdeeling Krui terbagi menjadi 23 margahoofd (pesirah), yang dikelompokan berdasarkan asal patronnya, sebagai berikut:
- Kern Lampongers: meliputi margahoofd Sukau (Negeri Ratu), Liwa (Negeri Agung), Kembahang (Negeri Ratu), Suwoh (Negeri Ratu), Buay Kentyangan (Negeri Ratu), dan Buay Belunguh (Kenali)
- Peminggir Lampongers: meliputi margahoofd: Belimbing (Bandar Dalam), Bengkunat (Suka Marga), Krui (Pasar Krui), Ngambur (Ngambur), Ngaras (Negeri), Ulu Krui (Sukaraja), Penggawa Lima Ilir (Pedada), Penggawa Lima Ulu (Laay), Penggawa Lima Tengah (Bandar), Pugung Raya (Lemong), Pugung Penengahan (Pugung), Pugung Tampak (Kuripan), Pulau Pisang (Pasar Pulau Pisang), Tenumbang (Bumi Lebuh), Way Napal (Wai Napal), Way Sindi (Olok Pandan).
- Semendo: meliputi margahoofd Way Tenong (Mutar Alam)
Ibukota afdeeling Krui berada di Krui, namun pada tanggal 22 Agustus 1934, Afdeeling Krui dirubah menjadi onderafdeeling, dan ibukotanya dipindahkan ke Negara Batin (Liwa), termasuk kantor Kontroleur.
Onderafdeling adalah suatu wilayah administratif setingkat kawedanan yang diperintah oleh seorang wedana dari bangsa Belanda yang disebut Kontroleur.
Nama “Liwa” pada masa ini memiliki dua makna, yaitu menunjukan ibukota dari onderafdeeling Krui yang berada di Negara Batin (Liwa), dan juga menunjukan margahoofd Liwa yang berkedudukan di Negeri Agung (sekarang pekon Empulau Ulu).
Afdeling Krui dikenal sebagai daerah penghasil beras, damar mata kucing, rotan, kopi, dan sarang burung walet, yang diperdagangkan melalui jalur pelabuhan Krui yang ada di Pedada (Pesirah Penggawa Lima Ilir).
Jumlah penduduk di Afdeeling Krui berdasarkan Peta Overzichtskaarts Bevolking Residentie Benkoelen skala 1:500.000 pada tahun 1930 sebanyak ± 47.859 jiwa, yang tersebar di 23 pesirah. Jumlah penduduk terbanyak berada di pesirah Liwa (± 6.883 jiwa), Buay Belunguh (± 4.140 jiwa) dan Krui (± 4.139 jiwa), sedangkan jumlah penduduk terendah berada di pesirah Way Tenong (± 279 jiwa), Suwoh (± 439 jiwa), dan Belimbing (± 477 jiwa).
Haven te Kroeï, 1936 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Depresi ekonomi yang terjadi di penghujung abad 19 di Eropa ditandai dengan jatuhnya beberapa komoditas ekspor seperti kopi dan gula, menyebabkan Belanda, mengurangi kebijakan liberalnya di tanah jajahan. Pada tahun 1901, Belanda menerapkan politik balas budi yang dikenal dengan Politik Etis. Politik Etis, meliputi 3 (tiga) jargon yang dijalankan oleh Pemerintah Belanda, yaitu transmigrasi, irigasi, dan pendidikan. Faktanya politik ini dijalankan guna mendukung ketersediaan tenaga kerja bagi perkebunan-perkebunan swasta milik Belanda.
Pada masa ini, berkembang pula perusahaan-perusahaan perkebunan yang dikelola oleh swasta atau disebut onderneming. Hingga tahun 1918, di Keresidenan Bengkulu terdapat 20 persil tanah erfacht dengan luas mencapai 23.495 bahu (1 Bahu = 0,74 hektare), yang dikelola oleh investor dari Belanda dan China. Lahan perkebunan yang ada di Keresidenan Bengkulu, umumnya berupa kebun campuran, yang didalamnya terdiri dari tanaman padi (pangan), tembakau, kelapa, sagu, kopi, karet, cengkeh, kina, panili dan lada.
Tumbuhnya perkebunan-perkebunan swasta dan ditambah dengan merebaknya penyakit karat daun, turut mempengaruhi penyebaran beragamnya jenis kopi, seperti jenis Liberika, Ekselsa, dan juga kopi Robusta di Keresidenan Bengkulu.
Situs megalitikum Batu Brak, ditemukan ditengah ladang kopi, foto tahun 1931. (sumber: Tropen Museum) |
Begitupula di afdeeling Krui, kopi robusta lebih diminati oleh marga-marga Lampung Saibatin dan Semendo. Aromanya yang kuat, tahan terhadap penyakit, produksinya yang dua kali lebih banyak dari kopi lainnya, dapat ditanam secara tumpangsari, dan cabang yang dapat dipergunakan sebagai kayu bakar, menjadi alasan mengapa kopi robusta lebih diminati oleh marga-marga di Afdeeling Krui khususnya bagi penduduk yang berada di “Balik Bukit”.
Rata-rata produksi kopi dari Keresidenan Bengkulu tahun 1913-1916 mencapai 20.000 pikul per tahun (1 pikul = 60,5 Kg) atau sekitar 1.200 ton/tahun.
Di Afdeeling Krui, kopi ditanam dengan pola kebun campuran oleh masyarakat, dalam satu bahu (0,74 Ha), ditanam dengan banyak komoditas, seperti lada, kopi, cengkeh, aren, pisang, padi, kapuk randu, dan sebagainya. Tak heran jika produktivitas kopi sangat rendah sekitar 100-200 kg per hektar, atau rata-rata sekitar 2 pikul kopi per hektar (1 pikul = 60,5 kg). Namunpun begitu dalam satu hektar nya, penduduk mendapatkan beragam komoditas yang dapat diperdagangkan dan dikonsumsi untuk mencukupi keperluan hidup sehari-hari.
Inilah yang membuat afdeeling Krui pada masa tanam paksa, tidak terdengar berita penduduknya mengalami kelaparan seperti di pulau Jawa, bahkan justru meningkat kesejahteraannya di masa setelah tanam paksa dihapuskan.
Pola pertanian dengan kebun campuran, merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Lampung di afdeeling Krui. Dikenal dahulunya dengan istilah “repong”, atau dalam bahasa sekarang “agroforestry”. Sisa-sisa agroforestry yang sekarang masih dapat dilihat adalah “repong damar” yang ada di wilayah Kabupaten Pesisir Barat.
Pada tahun 1915, kopi yang berasal dari Afdeeling Krui pernah di ekspor ke Amerika, dan diminati oleh masyarakat disana. Jarak yang jauh menyebabkan “Kopi Enak dari Krui” ini dikirim dengan menggunakan kapal laut yang dikemas secara khusus, menurut importir Amerika, rasanya makin “enak” kalau diangkut dengan kapal layar khusus. Metode pengangkutan khusus ini menjadi standar di Eropa, yang dikenal pada masa itu sebagai Standar Kopi Bengkulu (Bencoelen Standard).
Pada tahun 1907-1916, Belanda melakukan survey Kartografi diwilayah afdeeling Krui, yang kemudian menjadi peta Topografi Skala 1: 100.000 yang diterbitkan di Batavia, pada tahun 1922. Pada peta tersebut, menunjukan pula informasi tentang tutupan lahan seperti kebun kopi, pemukiman, hutan, dan bambu.
Peta Topography, Lembar Kota Batu, Skala 1:100.000 Tahun 1922 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
- Kebun kopi terluas berada di wilayah Pesirah Sukau dengan luas ± 3.493 Ha. Ladang kopi menyebar dari tepian danau Ranau pada ketinggian 550 mdpl, hingga ke bagian hulu sungai Warkuk dengan ketinggian tempat mencapai 900 mdpl. Lokasi ladang kopi berada di Sukabanjar, Lumbok, umbul Johor, Heni Arong, Tanjungan, umbul Ulu, umbul Kembang Cengkeh, umbul Penyantunan, umbul Sidung, Bumi Waras, Talang Jagaragas, umbul Pematang Kejai, umbul Kangonan.
- Kebun kopi di Pesirah Kembahang dengan luas ± 831 Ha. Ladang kopi di pesirah ini tersebar di bagian sungai way Semaka, dan hulu sungai Andaraman, dengan ketinggian tempat 800 – 900 mdpl. Lokasi kebun kopi berada di Kembahang, umbul Pikir, umbul Cenggiring, Canggu, dan Gunung Sugih.
- Kebun kopi di Pesirah Buay Belunguh memiliki luas ± 686 Ha. Tersebar di sekitar sungai-sungai Hilian Manah, Seburas, Hulu Semaka, Way Remelai, Way Pahiton, dan Way Menatak, dengan ketinggian 800-1100 mdpl. Lokasi kebun kopi dominan berada di Hujung, umbul Menguk, umbul Pontai, Bedudu, Serungkuk, Wai Turgak, Awi, Giham, dan Sangir.
- Kebun kopi di Pesirah Liwa memiliki luas ± 623 Ha. Tersebar di sekitar sempadan sungai way Robok dan way Warkuk, dengan ketinggian 900 mdpl – 1000 mdpl. Lokasi kebun kopi berada di Way Mengaku, umbul Lioh, umbul Balak, umbul Limau, Padang Dalom, Koto Banglei, umbul Bawang, dan umbul Kuparan.
- Kebun kopi di Pesirah Way Tenong dengan luas ± 475 Ha. Tersebar di sempadan sungai Way Campang Limau, Way Hitam, dan Way Besai, dengan ketinggian 800 – 1000 mdpl. Lokasi kebun kopi berada di Sukaraja, umbul Sembilan, Karang Tanjul, Gunung Terang, dan Gedung Surian.
- Kebun kopi di Pesirah Kentyangan seluas ± 270 Ha. Tersebar di sempadan sungai way Remelai dan Way Andaraman, dengan ketinggian 700 mdpl – 800 mdpl. Lokasi kebun kopi berada di Sukaraja, umbul Sukabumi.
Masyarakat setempat menyebutkan lahan kebun mereka dengan nama umbul. Umbul berdasarkan definisi dari Belanda, adalah pemukiman untuk tempat tinggal sementara (musiman) masyarakat pada saat melakukan pembukaan, pemeliharaan dan pemanenan hasil kebun atau ladang. Beberapa desa yang ada di Kabupaten Lampung Barat, awalnya merupakan daerah yang dahulunya sebagai pemukiman kebun atau umbul.
Sebaran kebun kopi tahun 1907-1916 di wilayah afdeeling Krui, berdasarkan peta Topography 1922 (sumber: jejak erwinanta) |
Baca juga: Danau Suoh : Jejak Erupsi Freatik pada Jalur Tektonik
Hingga tahun 1935, ladang kopi semakin meluas hingga ke daerah bukit Rigis yang sekarang bernama Sumber Jaya. Pada tanggal 30 Maret 1937 diresmikan pembukaan jalan dari Bukit Kemuning (Keresidenan Lampung) menuju Mutar Alam (Way Tenong- Onderafdeeling Krui).
Dibukanya akses jalan tersebut, semakin memperluas ladang-ladang kopi robusta, dan juga penyebaran permukiman masyarakat, khususnya di lahan-lahan kebun masyarakat suku Semendo, yang banyak mendiami daerah tersebut.
- Km0 - km32 : Krui – Negara Batin (Liwa), tipe perkerasan Grindweg (kerikil)
- Km 32- Km 56+250: Negara Batin (Liwa) – Kota Batu (Batas Residen Palembang), tipe perkerasan kerikil,
- Km 32 – Km 54: Negara Batin (Liwa) – Kenali tipe perkerasan kerikil,
- Km 54 – Km 58 Kenali – Bakhu, tipe perkerasan kerikil.
- Km 58 – Km 81: Bakhu – Sukaraja (Way Tenong), tipe perkerasan Karreweg (jalan gerobak)
- Negara Batin (Liwa) – Padang Dalem – Jejawi, tipe perkerasan jalan grobak
- Pekon Balak – Suwoh, tipe perkerasan jalan grobak
- Sukaraja – Gedung Surian – Ulu Belu, tipe perkerasan jalan grobak
- Mutar Alam – Bukit Kemuning, tipe perkerasan kerikil.
Ladang kopi yang ada di Lampung Barat, memiliki nilai historis dari ragam peristiwa, yang pada akhirnya menempatkan kopi sebagai bagian dari warisan kearifan lokal. Keberadaan perkebunan kopi rakyat di Lampung Barat turut menentukan eksistensi perkopian nasional.
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian, telah menetapkan perkebunan kopi di Lampung Barat seluas 60.483,7 Ha sebagai Kawasan Perkebunan Kopi Nasional, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 46/Kpts/PD.300/1/2015 tanggal 16 Januari 2015.
Produk kopi robusta Lampung Barat juga telah mendapat Sertifikasi Indikasi Geografis dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan pada tanggal 13 Mei 2014 dengan nama “KOPI ROBUSTA LAMPUNG”.
De Javanen worden na hun debarkatie in Oosthaven, Lampongs verder vervoerd met vrachtwagens en bussen, 1935 (Koleksi Digital Universitas Leiden) |
Kopi dan riwayatnya menjadi rekaman dari fakta sejarah perjuangan bangsa ini untuk merdeka dan hidup sebagai bangsa yang bermartabat. Pelajaran terpenting adalah sesuatu dilakukan dengan pendekatan 3 M (merampas, memaksa, dan menguasai), tentunya akan menghasilkan penderitaan dan gejolak, tapi jika dilakukan dengan 3P (Perlindungan, Pengawetan dan Pelestarian), akan mengubah yang pahit menjadi “obat” untuk keberlanjutan penghidupan.
"Kini tanam paksa kopi sudah tidak ada lagi, dan Max Havelaar pun mungkin sudah beralih profesi menjadi barista, namun ideologi tanam paksa, masih tetap ada dan nyata, hingga kini dengan fashionnya yang baru. Bukan lagi komoditas seperti kopi, lada, cengkeh, sawit, yang dipaksakan untuk ditanam, tapi “jasa”, yang wajib dijual kembali kepada “sang pemberi jasa” dengan harga yang begitu murah. Tidak lagi ada “ketulusan”, yang ada adalah “pamrih”.
Rusaknya lingkungan, menjadi bukti bahwa jasa yang dihasilkan, masih dihargai dengan sangat murahnya, dan Krisis Iklim menjadi bentuk pemberontakan alam terhadap “pamrih” manusia.
Dengan Kopi, masyarakat Lampung Barat, pernah merasakan penderitaan akibat di jajah Inggris, Belanda, dan Jepang. Seharusnya kian membuat kita makin tangguh dan kuat, bukan sebaliknya menjadi generasi yang naif, dan apatis.
Salam Lestari.
Referensi:
- Sejarah Bengkulu Sumber: https://id.wikisource.org/wiki/Sejarah_Daerah_Bengkulu/Bab_5
- G.J.F. Biegman, G.J.F. 1894. Hikajat Tanah Hindia, Enambelas Tjeritera. Pertjitakan Goebernemen. Bandar Batavia.
- Sejarah Kopi Lengkap – Asal, Legenda, Sebaran, Budaya & Perdagangan (sumber: https://rimbakita.com/sejarah-kopi/)
- Kroe Dari Masa Ke Masa (link: https://cahayaagung.id/2021/07/03/kroe-dari-masa-ke-masa/)
- Cerita KROE Dalam Koran Belanda (link: https://cahayaagung.id/2020/04/18/cerita-kroe-dalam-koran-belanda/)
- Seputar Krui (link: https://waykrui.wordpress.com/about/)
- Koleksi Digital, Universitas Leiden (Link: http://hdl.handle.net/1887.1/)