Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Desember 2023

Kearifan Lokal Prasasti Hujung Langit, Tinggalan Budaya Klasik yang tersisa di Lampung Barat (Bagian I)

 

“Gunung Pesagi pagi ini nampak begitu elok. Selapis kabut putih, bak selendang sutra,  menyelimuti kakinya di tepian horizon, memisahkan puncak dan bahunya. Seolah  bersimpuh dia di atas singgasana gading nan anggun. Cakhmumung membawanya bergegas ke penghujung langit, seolah tak sabar, lepaskan hasrat, bermunajat kepada Sang Pencipta. Apakah gerangan yang engkau bisikan wahai Pesagi?”

“Hujung Langit”, mungkin nama inilah yang terbersit pertama kalinya dibenak sang Raja yang bergelar Punku Haji Yuwaraja Sri Haridewa, untuk menyimpulkan keindahan landskap Pesagi yang begitu ekspresifnya. 

Nama yang kemudian, dia ukirkan pada sebuah prasasti, sebagai tanda bahwa lahan perdikan (sima) yang dia hibahkan adalah tanah suci yang kelak akan mendatangkan kemakmuran serta kejayaan bagi penduduknya.

Menghadap arah Timur Laut dari tempat yang dianggap sakral ini, nampak jelas  bumi dan langit seolah dipertemukan di puncak Pesagi yang bertahtakan cahaya keemasan sinar mentari pagi. Sajikan sosok mithology bermahkota tiga yang sedang memandang masygul hiruk pikuknya kehidupan duniawi yang terpampang di ujung kakinya.

Negeri di Ujung Langit (Jejak Erwinanta, 2017)

Negeri Lampung amatlah luas dan kaya, namun hanya ada satu negeri yang terletak diantara gunung Pesagi dan danau Ranau, yang memiliki keistimewaan, yakni negeri yang menempati dataran tinggi Liwa (Liwa plateau), dengan buminya yang selalu bergoyang. Seolah negeri itu berada di punggung seekor naga yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya. 

"Way Warkuk, Way Rubok, dan Way Semaka, adalah perwujudan tubuh hijau sang Naga raksasa. Mahkotanya gunung Seminung, Kukusan, dan Pesagi. Sang Naga pun siap membawa negeri ini menembus langit, menunjukkan kembali kejayaan yang dahulu pernah mengharumkan namanya."

William Marsden dalam bukunya yang berjudul History of Sumatra (1811) menggambarkan keindahan negeri ini sebagai berikut: 

“Di ujung selatan dari Passumah (Pasemah?) terdapat suatu negeri yang berbeda tatacara pemerintahannya, para pemimpinnya tidak memiliki kekuasaan yang bersifat mutlak.  Perbedaan ini tidak diragukan lagi bersumber dari peperangan dan invasi yang pernah dialami di negeri ini sebelumnya. Agama penduduknya mengikuti ajaran Muhammad (Islam), namun tidak tunduk pada Kesultanan Palembang”. 

“Memiliki danau yang luas (danau Ranau) dengan udara yang dingin seperti kebanyakan negeri di Eropa. Daratan hingga gunung-gunungnya selalu dilapisi oleh kabut tebal seperti salju”. 

“Dihuni oleh penduduk yang bentuk wajah dan matanya mirip orang Tionghoa. Mereka ramah dan sangat menghormati tamu, lebih-lebih jika tamu itu memiliki kedudukan penting. Mereka pandai menanak nasi di dalam bambu yang dibakar (lemang?), dan membuat gula dari sejenis pohon palem (Aren?)”. 

“... Dari negeri yang terletak antara gunung tinggi (Pesagi ?) dan danau yang luas (Ranau) inilah, keturunan dari orang Lampung berasal...” (Marsden, (1811), p. 30, 33, 71, 95, 214, 286).

Pada masa budaya klasik, dimana peradaban India dengan ajaran Hindu dan Buddha mendominasi sebagian besar wilayah Nusantara, di negeri Lampung tidak ditemui adanya kerajaan yang diidentikkan sebagai pusat peradaban dan kekuasaan. (Widyastuti, 2010).  

Namunpun begitu, kata “Lampung” ditemukan tertulis dibeberapa catatan kuno dari tinggalan sejarah kebudayaan klasik.  Ada dua kitab kuno tinggalan kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara yang menorehkan kata “Lampung” didalamnya. 

Pertama adalah kitab Negarakertagama karya empu Prapanca yang beraksara dan berbahasa Jawa Kuno. Kitab ini ditulis di masa kerajaan Majapahit (abad XIII s.d. XV masehi).  Dalam kitab ini, “Lampung” menjadi salah satu dari “Negeri-negeri Melayu” yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit (Muljana, 1979 dalam Widyastuti, 2010).  

Kitab yang kedua bernama “Amanat Galunggung” yang beraksara dan berbahasa Sunda Kuno. Kitab ini ditulis di masa kerajaan Sunda (abad X – XVI masehi).  Kitab Amanat Galunggung, berisi tentang nasehat Rakeyan Darmasiksa (1172-1297) kepada putranya Sang Lumahing Taman, yang isinya:

"Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung” (Danasasmita, 1987, dalam Widyastuti, 2010). 

Catatan-catatan tersebut membuktikan, walau tidak memiliki pusat kekuasaan mutlak serupa kerajaan. “orang Lampung” sudah begitu terkenal dan diperhitungkan sebagai etnis yang beradab, memiliki kedigdayaan, serta dianugerahi kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. “Orang Lampung”  pada kenyataannya sudah mampu berinteraksi dengan banyak kerajaan besar di masa itu, bahkan hingga ke negeri China. 

Hujung Langit merupakan bagian dari negeri pedalaman yang oleh Kerajaan Sriwijaya disebut sebagai wilayah “uluhan musi”.  Negeri ini kaya akan hasil hutan dan pertanian, yang turut mengangkat nama Sriwijaya menjadi terkenal, sesuai arti namanya, yakni “cahaya kejayaan”. 

Negeri ini terkenal penghasil komoditas berupa getah damar, kemenyan, rotan, madu, kayu manis, lada, dan beras. Komoditas ini diangkut menyusuri sungai way Warkuk - danau Ranau - Silabung dan dikumpulkan di sungai Komering sebagai “feeder points” dari sistem perdagangan Sriwijaya (Leong Sau Heng, 1990; dalam Purwanti, 2017).  

Prasasti Hujung Langit / Bunuk Tenuwar / Harakuning / Bawang (JE, 2023)

Prasasti Hujung Langit ditemukan oleh Tim Survey Topografi Belanda pada tahun 1912 di suatu tempat di dusun Umbul Bawang yang bernama Harakuning, karenanya prasasti ini juga sering disebut sebagai prasasti Harakuning atau prasasti Bawang. Namun abklats-abklats (cetakan prasasti dari kertas singkong) di Dinas Purbakala Indonesia menyebutnya sebagai prasasti Bunuk Tenuwar (Damais, 1995). 

Keempat nama ini menunjukan objek yang sama, yakni sebuah prasasti berbahan batu andesit berbentuk kerucut dengan tinggi 162 cm dan lebar bawah 60 cm. Prasasti ini berada diantara hulu sungai Way Warkuk (sungai Way Menjadi), yang mengalir di sisi Utara prasasti hingga ke Barat, dan Hulu sungai Way Rubok yang mengalir di bagian Selatan prasasti hingga ke arah Timur.  

Terletak pada koordinat  4°59'37.96" Lintang Selatan (LS) dan 104° 4'47.97" Bujur Timur (BT) dengan ketinggian tempat ± 875 mdpl. 

Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, di mana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari tentang prasasti disebut Epigrafi.   (wikipedia).

Kini tempat yang bernama “Harakuning” telah berubah nama menjadi pekon (desa) Hanakau, Kecamatan Sukau, dan dusun Bawang menjadi salah satu dari pemangkunya. 

Nama “Harakuning” sendiri berasal dari bahasa Lampung “Haugh Kunjekh”, kata “haugh” atau “kawokh” diartikan sebagai “bambu”, dan kata “kunjekh” sebagai warna “kuning”. Haugh Kunjekh atau Harakuning diartikan sebagai “Bambu Kuning” (Bambusa vulgaris var. Striata).

Sama dengan masyarakat Jawa, dan Tiongkok, masyarakat Lampung menggunakan tanaman bambu tidak hanya untuk keperluan yang bersifat profan (pemukiman), namun juga digunakan untuk keperluan yang bersifat dinamisme dan sakral.

Jenis bambu yang bernilai sakral lainnya adalah "bambu buntu", yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai kawokh bungkok dengan nama botani Schyzotachyum caudatum Backer ex Heyne. 

Tidak seperti tanaman bambu pada umumnya, kawokh bungkok tidak memiliki rongga diantara ruas-ruas pada batangnya. Inilah yang menyebabkan “bambu buntu” begitu unik sekaligus mistis.

“Menurut legenda, bambu buntu tercipta dari jari telunjuk seorang saudagar kaya raya, namun bodoh lagi congkak. Saudagar ini tinggal di suatu negeri yang subur di tepian sungai Semaka. Apapun sang Saudagar itu suka, tinggal menggerakan telunjuknya saja, begitupula jika menyuruh sesuatu, tinggal tuding tanpa menghiraukan perasaan dan kesusahan orang. Perilaku sang saudagar ini membuat murka si Pahit Lidah, dan mengutuk jari telunjuk sang saudagar menjadi rumpun bambu yang terus memanjang seperti tongkat. Si Pahit Lidah adalah puyang sakti yang berasal dari Negeri Pasemah. Kesaktiannya terletak pada lidahnya, konon apapun kutukan yang dia ucapkan akan selalu menjadi kenyataan.” 

Sedikit sekali yang dapat dimanfaatkan dari bambu buntu ini. Kesehariannya bambu buntu hanya dipergunakan sebagai tongkat, yang dipercaya dapat mendatangkan kewibawaan, pelindung dari gangguan mahluk halus dan ancaman binatang berbisa.

Tongkat Bambu Buntu (Jejakerwinanta, 2023)

Dibalik pandangan orang tentang kesaktian bambu buntu, dan legendanya, sebenarnya, para orang tua kita, ingin menanamkan dan mengajarkan pentingnya etika dalam hidup serta hikmat kebijaksanaan dalam setiap pengambilan keputusan. 

“Kemuliaan” itu diukur bukan dari seberapa banyak harta, tapi dari luasnya pengetahuan yang memenuhi isi kepala, dan ditunjukan secara lahiriah melalui adab (akhlak) dalam perilaku hidup sehari-hari”.  

Mungkin tutur legenda bambu buntu, merupakan pembelajaran sederhana bagaimana memahami makna “pi’il pesenggiri” - salah satu dari 5 prinsip hidup orang Lampung - yakni “mengedepankan harga diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat”.

Bawang” bukanlah nama jenis tanaman untuk bumbu masak. Bawang menurut masyarakat Sukau adalah sejenis tanaman air yang bentuknya seperti genjer.  Apakah tanaman yang dimaksud sama dengan tanaman langka bernama “Bawang Air Thailand” (Crinum thaianum), ataukah sejenis lili rawa yang bernama Crinum asiaticum, yang dahulunya sering digunakan masyarakat setempat sebagai bahan pembuat racun untuk berburu?  Entahlah saya sendiri belum pernah ditunjukan atau diperlihatkan tanaman “bawang” yang mengilhami nama tempat tersebut.

Hal yang sama mengingatkan saya tentang arti “Sekala Bekhak”. Sekala merupakan sejenis herba berimpang yang dikonsumsi bunganya oleh masyarakat sebagai sayuran dan obat tradisional. Tanaman ini termasuk vegetasi bawah penghuni ekosistem hutan hujan tropis. Banyak dijumpai di hutan sekunder hingga ketinggian mencapai 1700 mdpl. Dikenal dengan nama umum Kecombrang (Etlingera elatior Jack). 

Sekala Bekhak’ adalah “hamparan tanaman sekala yang luas atau lebar”.  Bunganya berbentuk seperti gada berwarna merah. Mungkin karena tampilannya yang cantik dan menyerupai bunga padma (teratai), menjadikan tanaman ini oleh masyarakat lampau, dianggap suci dan dipergunakan untuk berbagai keperluan ritual. 

Bunga Sekala (Amijaya, Wikipedia, 2017)

Ada sebuah pendapat yang cukup menarik, dimana tempat yang kini bernama “umbul Bawang” dianggap dahulunya sebagai lokasi dimana Kerajaan Tulangbawang berada. Pendapatnya ini didasarinya dari hasil intrepretasi catatan perjalanan biksu China bernama I-Tsing pada abad VII yang menceritakan tentang kerajaan bernama To-Lang Po-Hwang (Tulang Bawang), yang berada dipedalaman Sriwijaya. 

Kata “pedalaman” dan arti lain dari to-lang-po-hwang sebagai “dataran tinggi”,  ditambah dengan keberadaan prasasti Bawang (Hujung Langit) yang dibuat di masa Kerajaan Sriwijaya, semakin memperkuat argumentasinya, tentang lokasi To-Lang Po-Hwang. Sriwijaya sendiri didirikan oleh Raja Dapunta Hyang pada tanggal 16 Juni 682 M (Prasasti Talang Tuo).

Catatan babad sunda “Pustaka Raja Parwa” menceritakan bahwa pada abad ke-5 masehi, telah terjadi letusan dahsyat gunung Krakatau Purba (bernama gunung Batuwara). Kedahsyatan erupsi gunung Krakatau Purba setinggi 2000 m, menyebabkan terbentuknya selat Sunda yang memisahkan antara pulau Sumatera dan pulau Jawa. 

Abu vulkanik dari erupsi gunung Batuwara menyebabkan langit menjadi gelap selama lebih 10 hari lamanya, mengakibatkan musnahnya peradaban Pasemah dan hilangnya kerajaan sunda Salakanegara. Dampak lainnya adalah terjadinya perubahan iklim yang memicu hilangnya beberapa peradaban di Asia dan Eropa. 

Menyatukan kisah-kisah di atas, kemungkinan pemukiman yang terletak di sekitar kaki gunung Pesagi, atau dataran tinggi Liwa, (termasuk umbul Bawang), merupakan sisa-sisa masyarakat penganut tradisi megalitikum yang bermigrasi ke daerah tinggi, guna menghindari bencana yang ditimbulkan oleh erupsi gunung Krakatau Purba ini.  

Apabila melihat peta terbitan Belanda, seperti peta Afdeeling Krui tahun 1910, dan peta Topografi tahun 1922, nama “umbul Bawang” memang selalu ada tertera di dalam kedua peta tersebut, dibandingkan nama Harakuning itu sendiri.  Nampaknya teori pusat kerajaan Tulang Bawang berada di “umbul Bawang”, sebagaimana pendapat yang pernah dikemukakan, bisa jadi benar sebagian, namun tidak untuk sebagian yang lain.

Ada dua toponimi di dataran tinggi Liwa yang namanya tercantum di dalam naskah prasasti dan juga tertera dalam peta Afdeeling Krui (1910) dan juga Peta Topografi (1922). Di masa sekarang pun nama-nama tersebut masih tetap digunakan dan dipertahankan walaupun sudah mengalami reduksi, yaitu desa “Hujung” di Kecamatan Belalau (prasasti Hujung Langit), dan pemangku “Bumi Jawa” di pekon Bumi Jaya Kecamatan Sukau (prasasti Palas Pasemah).  

Pekon Hujung terletak ± 15 km arah Timur Laut dari prasasti Hujung Langit.  Baik Damais (1995) maupun Tobing (2004), memberikan dugaan yang sama, bahwa lahan sima atau perdikan sebagaimana isi prasasti Harakuning atau Bunuk Tenuwar, sesungguhnya adalah pekon Hujung yang sekarang ada di Kecamatan Belalau.  

Dugaan tersebut didasari bukan saja karena adanya kemiripan nama tempat, namun juga didasari atas kesamaan temuan arkeologis di situs Kampung Tuha Hujung, seperti tembikar, keramik-keramik dinasti china, umpak batu, tumulus dan struktur bangunan tradisional yang terbuat dari bambu. 

Arsitektur dan konstruksi hunian dari bambu ini diyakini sebagai bentuk atau model asli hunian masyarakat kuno Lampung. Hingga saat ini, bangunan-bangunan tradisional ini tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat Hujung.

Rumah Tradisional berbahan bambu di Pekon Hujung, Belalau (Bappeda LB, 2012)

Toponimi berikutnya bernama Bumi Jawa, yang terletak ± 9 Km arah Barat Laut dari Prasasti Hujung Langit. “Bumi Jawa” dituliskan "Bhumijawa" dalam prasasti Palas Pasemah (abad VII), merupakan wilayah pemangku di pekon “Bumi Jaya”, Kecamatan Sukau.  Bhumijawa  disebut-sebut dalam prasasti Palas Pasemah, sebagai negeri yang tidak patuh dan akan ditaklukan oleh Kerajaan Sriwijaya. 

Walaupun berakhiran “Jawa”, pemangku Bhumijawa, sejak dahulunya dihuni oleh masyarakat asli penduduk Sukau, atau Buay Nyerupa.  Hasil penelitian Andrianto dkk (2012), menunjukan bahwa tempat ini tidak ada sama sekali dipengaruhi oleh Jawa. 

Bhumijawa merupakan salah satu pemukiman tua di dataran tinggi Liwa, yang wilayahnya berada di dalam daerah aliran sungai Way Warkuk. Bukti bahwa Bhumijawa merupakan pemukiman tua adalah dengan ditemukan beberapa peninggalan tradisi megalitikum, dan fragmen keramik China dari abad X masehi. Temuan arkeologis yang berumur sama dengan temuan di sekitar Prasasti Hujung Langit.

Memahami arti toponimi suatu tempat dapatlah ditarik pembelajaran bahwa masyarakat dahulu, memberi nama daerahnya, didasari pada kesan mendalam terhadap karakter suatu objek atau peristiwa yang khas, penting dan sakral yang terjadi di tempat tersebut. 

Nama-nama seperti Harakuning, Bawang, dan Sekala Bekhak merupakan contohnya. Bahkan ada toponimi yang tercatat dalam prasasti hingga kini  masih tetap dipertahankan,  walaupun sudah mengalami sedikit penyesuaian, seperti misalnya pekon Hujung (Kecamatan Belalau) dan pemangku Bumi Jawa (Kecamatan Sukau). 

Sayangnya pekon-pekon tua yang memiliki aspek kesejarahan dan sarat dengan peninggalan tradisi masa lampau, kini tidak cukup baik perkembangannya.  Padahal cerita tentang masa lalu suatu tempat, merupakan bagian penting dari “Sejarah Desa”.  

Sejarah tentang ihwal  desa tidak hanya memperkuat identitas, namun membuka peluang promosi berbagai usaha ekonomi kreatif desa. Lihat saja seperti Kampung Wisata Sade, Kampung Naga, dan Kampung Osing.

Selain pemberian nama suatu tempat, pemilihan lokasi untuk pemukiman oleh masyarakat lampau juga dikatagorikan sebagai kearifan lokal. Pemahaman atas makna keseimbangan alam dari sudut pandang fisik maupun metafisik (spiritual), merupakan model kearifan lokal masyarakat lampau, yang kini turunannya dikenal sebagai “Pembangunan berbasis mitigasi bencana dan perubahan iklim”. 

Dataran tinggi Liwa dilalui oleh sesar tektonik aktif yang bernama sesar Semangko sehingga banyak menghasilkan bentang alam yang terbentuk melalui proses horst dan graben.  

“Horst”, adalah daratan yang terbentuk karena terjadi amblasan lapisan tanah disekelilingnya. Membentuk lembah-lembah yang kemudian terisi oleh air. Horst menghasilkan situs-situs geologi seperti “pulau” atau “tanjung” yang subur, dengan aliran air yang mengelilinginya. Lawan dari horst adalah “graben”. 

Sebaran Arkeologis di kaki gunung Pesagi, Kukusan, Seminung (JE, 2023)

Lukisan bentang alam dataran tinggi Liwa, jika dilihat dari angkasa, nampak bahwa pada bagian utaranya berdiri tiga buah gunung.  Ketiga gunung itu adalah gunung Seminung di sisi kiri, gunung Kukusan di tengah, dan gunung Pesagi di kanan.  Posisi ketiga gunung seperti dewa-dewa mitologi yang siap menjaga bumi ini agar tidak terpisah dan tenggelam. Menambah kesan religius, dan memperkuat ikatan spiritual penduduknya terhadap dataran tinggi Liwa.  

Bentang alam yang khas memberikan nuansa psikologis bagi masyarakat penghuni dataran tinggi Liwa, walaupun sering mengalami bencana gempa, faktanya mereka akan tetap selalu datang kembali ke tanah perdikan ini. Ikatan bathin masyarakat Liwa terhadap tanah airnya ini begitu kuatnya. 

Teringat kelakar seorang teman “... Kalau sudah minum air dari sungai Way Rubok, bakalan sulit untuk melupakan Liwa ...”. Ternyata ucapannya pun benar-benar jadi kenyataan.

Landskap dengan sumberdaya fisik yang melimpah ditambah dengan kesan spiritual yang mendalam, menjadi pilihan ideal bagi masyarakat kuno untuk membangun pemukiman, memperkuat sistem sosial, dan  sekaligus menjadikannya sebagai basis pertahanan.

“Hunian masyarakat tertua terbanyak, berada di dataran tinggi Liwa, menempati situs-situs di perbukitan datar yang subur dan dikelilingi kolam mata air. “Sebanyak 16 (enam belas) situs pemukiman kuno” ditemukan di tepian sungai Way Rubok. Ratusan fragmen keramik dan tembikar yang ditemukan, menandai intensnya aktivitas kehidupan masa lampau di wilayah ini.” (Rusyanti, 2021, p.100).

Ada satu spot “horst” yang saya duga dahulunya merupakan pemukiman kuno, yakni di pemangku Bekal Jaya, Pekon Padang Cahya (Kecamatan Balik Bukit). Horst Bekal Jaya ini berada di hulu sungai Way Warkuk. Tinggalan tradisi megalitikum yang dijumpai berupa batu tumpat, dolmen, dan batu bergores.  Masyarakat setempat meyakini bahwa daerah ini dahulunya dihuni oleh marga Way Tetuga.  Semoga saja Pemkab Lampung Barat, dapat mendorong penelitian arkeologis di lokasi ini, sehingga makin memperkaya khazanah tentang pemukiman kuno di bumi beguai jejama sai betik

Temuan batu bergores berbahan batuan sedimen di Padang Cahya (JE, 2023)

Penelitian menguak tabir Prasasti Hujung langit telah banyak dilakukan, baik oleh para pakar arkeolog dari Eropa maupun Indonesia seperti JG de Casparis, NJ Krom, Louis Charles Damais (1954-1957), Buchari dan Hasan Djafar (1995). Kemudian penelitian oleh Binsar D.L Tobing di tahun 2004 dan Terakhir pada tahun 2018 oleh Balai Arkeologi Bandung. 

Di Provinsi Lampung, hingga saat ini, ditemukan sebanyak 9 (sembilan) prasasti, dimana 3 (tiga) diantaranya ditemukan di dataran tinggi Liwa, yakni prasasti Hujung Langit (abad X), Tanjung Raya 1 (abad X) dan Tanjung Raya II  (abad XIV). Kronologi Prasasti dipengaruhi oleh kerajaan bercorak Melayu (Sriwijaya), dan Jawa (Sunda, Majapahit), namun masyarakatnya diyakini sudah ada sejak era tradisi megalitikum.  

Baca Juga: Mengenal Tradisi Megalitikum di Lampung Barat (Bagian I) 

Prasasti Hujung Langit beraksara Jawa Kuno (pallawa) dan berbahasa Melayu Kuno. Tulisan dipahat di permukaan datar (recto) batu andesit, memuat 18 baris kalimat, yang kini aksaranya semakin memudar.  Prasasti ditetapkan oleh Penguasa Hujung Langit bergelar “Pungku Haji Yuwa Rajya” bernama Sri Haridewa, pada hari suklapaksa bulan margasira 919 saka, atau bertepatan dengan tanggal 12 November 997 Masehi (Tobing, 2004)

Memperhatikan tujuan pemberian sima, dan kronologisnya, prasasti Hujung Langit dibuat pada akhir abad ke-10. Kondisi dimana pengaruh kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha sudah mulai melemah.  

Salah satu penyebab melemahnya Kerajaan Sriwijaya, adalah karena invasi Raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang di Jawa Timur. Serbuan kedua raja Medang pada tahun 992 masehi, walaupun dapat digagalkan, namun menyebabkan kerusakan parah di ibukota Sriwijaya di Palembang, dan melemahkan roda perekonomian.   

Prasasti Hujung Langit sejak dibuat, dan ditempatkan tidak berubah posisinya hingga ditemukannya pada tahun 1912.  Prasasti ini memiliki tata aturan penulisan dan informasi yang lengkap. Bagian-bagian kalimat prasasti terdiri dari pembukaan, penanggalan, isi atau berita, kutukan dan larangan (sanksi), para saksi-saksi (pejabat), Raja atau penguasa yang mengesahkan, dan kalimat penutup. 

Prasasti kadang dilengkapi dengan simbol-simbol yang menunjukan kekuasaan atau kewibawaan Raja yang menetapkan. Begitupun pada prasasti Hujung Langit, pada bagian atas baris tulisan terdapat relief berbentuk belati dengan bilah tajam mengarah ke kanan (ke Timur). 

Secara umum, Prasasti berisi tentang pemberian lahan sima (perdikan) berupa hutan dan lahan untuk pembangunan tempat suci Vihara oleh Penguasa wilayah Hujung Langit yang bergelar  Pungku haji Yuwa Rajya Sri Haridewa Sakti

Relief belati di Prasasti Hujung Langit (Tobing, 2004)

Ada dua terjemahan prasasti Hujung Langit, yaitu terjemahan menurut Damais (1995) dan Binsar D.L. Tobing (2004). Terjemahan Damais dapat disimak di wikipedia, sedangkan berikut adalah terjemahan menurut Tobing (2004):

“Selamat! Ketika sang waktu pada tahun saka telah berlangsung selama 919 tahun lamanya, Margasira bulannya (masa), tanggal 9 paro terang (suklapaksa) was wage Sukra (adalah) waranya. Kuningan (adalah) wukunya, pada saat (penguasa) daerah Hujung Langit mempersembahkan seluruh hutan (dan) seluruh tanah (pada) bulan asuji (yang apabila) perintah ini dilanggar akan ditusuk (oleh senjata tajam) dan diremas badan (nya) (dalam) seluruh kematian (dan) seluruh kehidupan (secara) terus menerus ... , ketika Pungku haji Yuwa Rajya (yang bernama) Sri Haridewa Sakti (bersama) juru redap, juru ... dan juga juru pajabat (memberikan) hadiah (berupa) tanah (untuk) datang mempersembahkan (dan) memuja, juru natalan terdapat wihara ....  samgat juru pajak. Demikian pramukha kabayan dipekerjakan (di sana) ... wayan di Hujung Langit ... perahu ...  juru samya danda ... bunga pinang yang mati muda (sehingga tidak menghasilkan) buah, memberi kembang untuk barang-barang pusaka, juru mabwang pamgat, juru ruhanan ... pramukha Sri di banwa  ... rama, hulun (demikianlah) perintah (ini) (diturunkan) untuk semuanya (dari) pemilik ketentuan (daerah) yang bernama Hujung Langit .... (Penutup)”.   

Catatan: tanda titik-titik merupakan kata atau kalimat yang tidak terbaca dari tulisan di prasasti 

Pemilihan letak dan keruangan, latar belakang dan kandungan isi prasasti, begitu sarat dengan makna-makna Kearifan Lokal, yang bisa jadi masih sangat relevan untuk menghantarkan kemajuan bagi negeri ini.  Setiap simbol dan kata yang diguratkan, seperti belati, penanggalan, hutan, kutukan, para juru, perahu, pinang, bahkan nama gelar pungku haji yuwa rajya,  bagi saya masih menjadi kelambu misteri, yang menggoda untuk terus menyibaknya. 

Entah apa makna sebenarnya dibalik pesan-pesan bijak sang Penguasa Hujung Langit kepada generasinya kini, yang bisa jadi tidak pernah mengetahui jika prasasti ini ada? 

Hujung Langit tidak hanya sebuah nama yang tertoreh dipermukaan batu prasasti yang menandai  awal babad sejarah kebudayaan klasik di negeri para saibatin ini. Bagi saya “Hujung Langit”  mengandung makna filosofis, yang menyiratkan pesan-pesan moral yang kuat. 

“Hujung langit, kata-kata yang mengetuk hati Saya untuk selalu mawas diri dalam menggapai tujuan hidup.  Kemanakah lagi kaki harus dilangkahkan, manakala kita sudah tiba di penghujung kehidupan?” 

“Akankah kita masih punya cukup bekal untuk mengarungi ruang hampa yang luas di atasnya? Ataukah masih punya cukup nyali mengarungi jalan curam di bawahnya?” 

 

Salam Lestari untuk Literasi 


Referensi:

  • Rusyanti, dkk. 2021. Stay or Leave ? Dinamika Landskap Arkeologi di Sesar Semangko Provinsi Lampung. Karya Terpilih Program Akuisisi Pengetahuan Lokal. LIPI Press;
  • Rusyanti, dkk. 2018. Berkelana ke Hujung Langit, mengenal Bukti Arkeologis Tertua di Lampung Barat, Balai Arkeologi Jawa Barat;
  • Abrianto dkk. 2012. Some Consideration on Location of “Bhumi Jawa”. Jurnal Purbawidya Vo.1. No.2 Tahun 2012. Page 277-288;
  • Widyastuti, Endang. 2010. Kondisi Masyarakat Lampung pada Masa Pengaruh Hindu-Buddha. Dari Masa Lalu ke Masa Kini – Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi. Balai Arkeologi Jawa Barat. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung;
  • Tobing, Binsar DL. 2004. Prasasti Hujung Langit 919 saka (997 Masehi). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,  Universitas Indonesia (Skripsi);  
  • Purwanti. 2017. Damar dalam Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Sriwijaya. (link: Link: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/damar-dalam-jaringan-perdagangan-masa-kerajaan-sriwijaya/);
  • Marsden, William. 1811. The History of Sumatra, containing an account of the government, laws, customs, and manners of the native inhabitants, with a description of the natural productions, and a relation of the ancient political state of that island. J. M'creery, Black-Horse-Court. The third edition. London.


Jumat, 15 Desember 2023

Mengenal Tradisi Megalitikum di Lampung Barat (Bagian I)

"Kedatangan tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII (BPK VII) Bengkulu-Lampung pada akhir November 2023 yang lalu, seperti “energy drink” yang menambah gairah saya untuk menyelami kembali arsip-arsip tinggalan tradisi megalitikum yang sebelumnya pernah diteliti oleh seorang sahabat di BRIN pada tahun 2012, 2014, 2018 silam". 

Alangkah indahnya jika negeri ini dapat dijuluki sebagai “Negeri Seribu Megalitikum”. Julukan yang semakin memperkokoh bahwa benar etnis Lampung aslinya berasal dari wilayah ini.  

Situs Megalitikum Batu Berak (Sumber: JE, 2014)

Namun melihat kondisi tinggalan yang semakin rusak tak terawat, harapan itupun lantas pupus dan justru menyisakan banyak kekuatiran. Ibarat selembar arsip tak bernilai, yang ditumpuk-tumpuk dalam lemari yang usang. 

Lampung Barat pernah berkomitmen sebagai “Kabupaten Literasi”. Tidaklah sulit untuk menempatkan kekayaan arkeologisnya sebagai “literasi budaya”, agar semakin kokoh nilai-nilai kebhinekaan dan identitas daerah. Nilai-nilai ini penting agar kejayaan negeri ini dapat kembali diusung bersama-sama.

"Saya bukan seorang arkeolog apalagi antropolog, bahkan bertugaspun tidak ada terkait dengan urusan kebudayaan, namun saya tertarik untuk belajar memahami bagaimana suatu tradisi terbentuk.  Apalagi jika tradisi tersebut lahir sebagai makna dari proses adaptasi manusia terhadap sumber daya alamnya. Inilah yang saya sebut sebagai “kearifan lokal”. 

Tak elok rasanya, jika keinginan untuk mengembangkan potensi kearifan lokal, tidak disertai dengan pengenalan dan pemahaman atas eksistensi kebudayaan masyarakat lampau, dimana kearifan lokal tersebut terbentuk.

"Mempelajari tradisi megalitikum di bumi Lampung Barat, secara tidak langsung akan mengajak kita, mengenal dan memahami lebih jauh darimana nenek moyang kita berasal. Termasuk kebudayaan yang menyertainya”.    

Benarkah secara genetik kita berkerabat dengan manusia purba Pithecanthropus erectus, yang ditemukan fosilnya oleh Eugene Dubois di tahun 1891? Benarkah kita spesies Homo sapiens yang terbentuk karena teori evolusi Charles Darwin? 

Para ahli menyepakati bahwa perkembangan sejarah peradaban manusia, dikelompokan menjadi dua, yaitu masa prasejarah dan masa sejarah.  

Masa prasejarah merujuk pada istilah dimana manusia belum mengenal atau menggunakan tulisan atau aksara (pra artinya sebelum, dan sejarah artinya catatan tertulis tentang cerita atau kisah hidup manusia). 

Masa sejarah, tentunya kebalikannya dari pra sejarah, yakni zaman dimana manusia sudah mengenal aksara, dan mencatatkan peristiwa atau kejadian kehidupannya pada suatu media tulis.  

Masa prasejarah diistilahkan pula sebagai praaksara atau nirleka (nir = ketiadaan, dan leka = tulisan). Namunpun begitu manusia prasejarah atau praaksara sudah pandai membuat lambang-lambang, tanda-tanda, maupun gambar-gambar, serta memiliki bahasa pengantar atau tutur (lingua franca).

Masa prasejarah (praaksara), dikelompokan  kedalam 3 (tiga) zaman, yaitu zaman batu, zaman megalitikum, dan zaman perundagian. Adapula yang membaginya menjadi zaman batu, zaman perunggu, dan zaman besi, bahkan hanya dua zaman saja yaitu zaman batu dan zaman logam

Zaman Batu adalah periode di mana manusia praaksara hidup dengan peralatan yang terbuat dari batu. Periode ini berlangsung dalam waktu ratusan ribu tahun, yang terbagi menjadi zaman batu tua (paleolitikum), zaman batu tengah (mesolitikum), dan zaman batu muda (neolitikum).

Zaman Perundagian atau Zaman Logam: merupakan periode akhir prasejarah atau yang lazim disebut Zaman Logam. Pada zaman ini, peradaban sudah berkembang beragam dan cukup pesat. Manusia tidak hanya menggunakan bahan batu untuk membuat perkakas, tetapi juga sudah menggunakan bahan logam, seperti tembaga, perunggu dan besi. Zaman perundagian di Indonesia diperkirakan dimulai sejak 1000 SM – 400 M.

Zaman Megalitikum merupakan peralihan atau transisi kebudayaan antara periode akhir zaman batu muda (Neolitikum)  dan Zaman Perundagian. Tinggalan tradisi megalitikum tidak hanya bercirikan monumen batu berukuran besar saja, namun susunan batu berukuran kecilpun bisa dikatagorikan sebagai tinggalan megalitikum, selama difungsikan untuk tujuan sakral, seperti pemujaan atau penghormatan kepada roh leluhur.

Megalitikum” berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “Mega” yang artinya “besar”.  Kata “Litik” atau “Lithos” yang berarti “batu” dan kata “Kum” sebagai akhiran yang bermakna periode atau zaman.   Megalitikum secara umum dimaknai sebagai “Zaman Batu Besar”.

Pada zaman “batu besar” manusia sudah mulai mengenal teknologi pengolahan logam seperti tembaga dan perunggu. Namun masih tetap mempertahankan penggunaan batu-batu besar dalam mendukung sistem kepercayaan dan norma sosial lainnya (kematian dan pengakuan strata sosial).  Diperkirakan zaman megalitikum di Indonesia berada pada kisaran waktu 2.500 SM – 100 SM. 

Akhir masa prasejarah atau awal masa sejarah berbeda-beda disetiap wilayah kebudayaan, seperti bangsa Sumeria pendukung dari peradaban Mesopotamia, mengakhiri masa prasejarahnya setelah mengenal “aksara paku” atau “tulisan paku” (Cuneiform) yang dicetak pada lempengan tanah liat sebagai medianya (tablet).   

Aksara paku merupakan tulisan pertama di dunia yang dibuat oleh manusia sekitar tahun 3.200 SM – 3000 SM. Berkembang pesat di wilayah Mesopotamia hingga meredupnya pengaruh kekaisaran Babilonia pada tahun 2000 SM. 

Ingat kisah Nabi Ibrahim a.s dan raja Babilonia bernama Namrud? Nah peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada tahun 2150-2080 SM, dimana penggunaan aksara paku ini sudah meluas dan diadopsi hingga ke wilayah Mediteranian (Yunani Kuno) dan Mesir.

Di tenggang waktu yang sama, Indonesia masih berada pada fase prasejarah dari babak baru tradisi zaman batu besar (Megalitikum).

Akhir masa prasejarah di Indonesia, diperkirakan baru dimulai pada abad 1 – 5 M setelah diperkenalkannya tulisan Pallawa (aksara Jawa Kuno) yang diadopsi dari peradaban Industan melalui kisah yang kita kenal sebagai legenda Aji Saka (sekitar tahun 100 M), dan setelahnya dengan munculnya kerajaan-kerajaan tertua seperti Salakanegara (wangsakerta) di Jawa Barat (150 M) serta Kutai Martapura di Kalimantan Timur tahun 450 M.  Awal masa sejarah di Indonesia, umumnya dipengaruhi oleh peradaban Hindu-Budha.

Batu Bergores di Mutar Alam, 1919. (Digital Collection Univ. Leiden)

Bagaimana di Lampung Barat? Diperkirakan akhir masa prasejarah di Lampung Barat dimulai pada akhir abad ke-10, setelah ditemukannya prasasti Hujung Langit di umbul Bawang pekon Hanakau (Kecamatan Sukau). Prasasti ini bertuliskan aksara Jawa Kuno (Pallawa) dan berbahasa Melayu Kuno. 

Prasasti Hujung Langit bercorakan peradaban Hindu-Budha bertahun 919 saka atau 997 M, dan, berisikan 18 baris kalimat yang dipahat dipermukaan batu andesit. Pahatan tulisan tersebut memuat titah Raja Punku Yuwaraja Sri Haridewa (diperkirakan dari Kerajaan Sriwijaya) yang ditujukan kepada para “juru” (orang pandai) dan masyarakat di daerah yang bernama Hujung Langit

Prasasti ini berisikan tentang tanggal penetapan lokasi tanah sima bernama Hujung Langit sebagai tempat suci wihara, pembebasan pajak atas tanah sima, bunga pinang sebagai sesembahan untuk barang pusaka, kewajiban menjaga sima dan hutan sekitarnya, serta berisi sanksi berupa kutukan apabila larangan tersebut dilanggar. 

“Hal menarik bagi saya dari isi prasasti ini adalah disebut-sebutkannya tentang tanaman pinang (Areca catechu).  Ada apa ya dengan tanaman pinang ini? Sehingga begitu bernilai sakral pada masa itu dan apakah ada keterkaitan filosofi dengan tradisi Sekura Cakak Buah yang masih lestari hingga kini?” 

Penciri utama tradisi megalitikum berupa tinggalan susunan atau struktur bangunan berbahan dasar batu. Susunan batu-batu ini berfungsi sebagai tempat pemujaan dan penghormatan kepada roh leluhur, pemakaman, dan fungsi-fungsi yang berhubungan dengan pengaturan hidup secara kolektif (norma adat/hukum adat). 

Jika kita membayangkan bahwa masyarakat pengusung kebudayaan megalitikum seperti film animasi Mr. Flinstone, mungkin imajinasi kita perlu sedikit direvisi. Budaya dan penguasaan teknologi masyarakat megalitikum lebih maju dibandingkan era generasi zaman batu sebelumnya.

Masyarakat zaman Megalitikum sudah mengenal budidaya pertanian menetap (bercocok tanam), artinya pada zaman ini, masyarakatnya sudah memiliki kemampuan untuk memproduksi makanannya sendiri (Food Producing) dibandingkan generasi zaman batu sebelumnya yang hidup secara nomaden dan bertahan hidup dengan mengumpulkan makanan (Food Gathering).

Jenis tanaman budidaya yang dibawa pada zaman megalitikum di Indonesia terutamanya adalah jewawut (Setaria italica),  padi (Oryza sativa), enjelai atau jali (Coix lacryma), dan sorgum (Sorghum bicolor). Masyarakat megalitikum juga  sudah mengenal hewan ternak domestik, seperti kerbau, dan babi.

Permukiman dengan pola  pertanian menetap ini, menunjukan bahwa masyarakat megalitikum sudah memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang lebih maju. 

Beberapa pengetahuan yang berkembang pada masyarakat pra aksara zaman megalitikum antara lain pengetahuan astronomi dan iklim, kemampuan mengetahui tanah subur, teknologi pembangunan parit (irigasi), teknologi pengolahan makanan, pengobatan (tanaman obat), pembuatan pakaian, kerajinan tangan, mengenal seni, konstruksi bangunan tempat tinggal, sarana transportasi berupa sampan atau perahu, ketrampilan menjinakan hewan liar, penambangan dan pengolahan perunggu, memiliki bahasa pengantar (lingua franca) serta penerapan aturan-aturan atau norma yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa pada zaman megalitikum sudah mengenal pengangkatan pemimpin atau kepala suku. Pemilihan dilakukan dengan cara hukum rimba “siapa yang kuat dia yang berkuasa” (primus interpares). 

Situs Batu Tumpat (Padang Cahya), digunakan
untuk memanggil Roh Leluhur (JE, 2023)

Ciri terpenting dari tradisi megalitikum adalah adanya keyakinan animisme dan dinamisme, dengan  menggunakan monumen batu sebagai simbol religius dan media penghubung antara alam nyata dengan roh leluhur. 

"Animisme" berasal dari bahasa Latin yakni “anima” atau “animae” yang berarti jiwa atau roh. Penganut kepercayaan animisme meyakini bahwa semua objek di bumi dan langit memiliki jiwa atau roh yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia sehari-hari. 

Bahkan mereka percaya bahwa manusia yang mati, rohnya masih tetap ada dan menjelma atau berpindah menjadi entitas lain yang tinggal berdampingan dengan keturunannya yang masih hidup. Oleh karenanya bagi penganut kepercayaan ini, kematian seseorang menjadi sesuatu yang sakral.

Istilah “dinamisme” berasal dari bahasa latin “dunamos” yang berarti “kekuatan”. Penganut dinamisme meyakini bahwa benda-benda disekitarnya, memiliki kekuatan gaib atau supranatural yang dapat membantunya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. 

“Untuk memahami tinggalan tradisi megalitikum, ternyata tidak cukup hanya mempelajari fenotipanya saja, namun perlu memahami pula bagaimana tradisi ini membentuk suatu ekosistem kebudayaan”.

Ada 4 (empat) teori yang menjelaskan, darimana nenek moyang bangsa Indonesia berasal, yaitu: Teori Yunan yang didasari adanya kesamaan temuan arkeologis. Teori Nusantara yang didasari dari  temuan fosil manusia purba jawa. Teori Out of Taiwan yang didasari oleh adanya kemiripan tutur atau rumpun bahasa, dan  Teori Out Of Africa yang didasari keterkaitan secara genetika.

Namun dari ke-empat teori migrasi tersebut yang banyak dirujuk adalah apa yang dikemukakan oleh Von Heine Geldern (1945).  Menurutnya tradisi megalitikum yang tumbuh dan berkembang di Indonesia berasal dari kebudayaan bangsa Austronesia yang berada di Tiongkok Selatan. 

Von Heine Geldern pendukung Teori Yunan. Pendapatnya didasari dari hasil temuan arkeologis berupa kapak batu persegi dan kapak batu lonjong yang sama dengan tinggalan bangsa Austronesia di Tiongkok (China) Selatan.  

Migrasi masyarakat pengusung tradisi megalitikum di Indonesia menurut Von Heine Geldern, terbagi kedalam dua golongan, yaitu golongan Megalitikum Tua (older megalithic) dan Megalitikum Muda (younger megalithic).  

Megalitikum Tua, terjadi pada periode akhir zaman Neolitikum (2500-1500 SM) dibawa oleh pendukung kebudayaan kapak batu persegi (Proto Melayu). Ciri peninggalan tradisi Megalitikum Tua antara lain monumen batu dengan bentuk-bentuk yang statis. 

Monumen batu yang dipergunakan dipilih langsung dari alam dan belum ada sentuhan seni dan cipta rasa manusia. Tinggalan megalitikum tua antara lain monolit, dolmen, undak batu, limas berundak, pelinggih, patung simbolik, tembok batu, dan jalan batu. Contoh Tradisi Megalitikum Tua adalah punden berundak Gunung Padang di Jawa Barat.

Tradisi Megalitikum Muda masuk dan menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000 SM - 100 M) dibawa oleh pendukung kebudayaan Dongson (Deutro Melayu) yang berasal dari lembah Song Hong, Vietnam Utara. Umumnya monumen batu yang dibuat tidak hanya menyajikan makna religius namun juga bernilai estetika.    

Ragam tinggalan megalitikum muda antara lain menhir, batu bergores, dolmen, batu lumpang, kubur batu, punden berundak, waruga, sarkofagus, perkakas terbuat dari logam perunggu, phallus (arca menyerupai alat kelamin pria) dan arca-arca dinamis (Von Heine Geldern menyebutkannya sebagai "strongly dynamic agitated").  Contoh tinggalan tradisi megalitikum muda adalah situs megalitikum Pasemah (Basemah) di Sumatera Selatan.

Diperkirakan tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat, berasal dari dataran tinggi Basemah (situs Pasemah). Artinya bahwa tinggalan megalitikum di Lampung Barat termasuk golongan megalitikum muda (younger megalithic) dan sama artinya bahwa leluhur etnis Lampung Barat diduga berasal dari bangsa Austronesia sub bangsa Deutro Melayu yang bermigrasi dari lembah Song Hong, Vietnam Utara.  

Salah satu garis hubung kesamaan antara situs megalitikum Pasemah dengan situs megalitikum di Lampung Barat, khususnya yang berada di dataran subur danau Ranau, adalah kesamaan tutur legenda rakyat (folklore) “si Pahit Lidah dan si Mata Empat” (Van der Hoop,- Megalitics Remains of Sumatera- 1932)

Sebaran tinggalan megalitikum di danau Ranau, berada di sisi utara hingga barat daya sempadan danau, membentuk pola bulan Sabit mulai dari Padang Ratu, Jepara, Surabaya, Subik, Kota Batu, Pagar Dewa (Kabupaten OKU Selatan), Lumbok, Sukabanjar dan Tawan Sukamulya (Kabupaten Lampung Barat).

Phallus (?) dan Figurine Buay Nyerupa (Badan Arkeologi Bandung, 2018)

Sebagian besar tinggalan megalitikum di Lampung Barat memiliki corak statis dan sedikit yang bercorak dinamis. Apakah karena adanya pencampuran budaya atau persaingan ruang hidup antara masyarakat pengusung megalitikum muda dengan masyarakat pengusung tradisi megalitikum tua?, ataukah karena keterbatasan bahan baku batu, dimana sebagian besar adalah batuan tuff yang kasar dan gampang hancur? Nampaknya perlu dikaji lebih lanjut.

Keunikan lainnya terletak pada tinggalan monumen batu, yang hanya dikhususkan untuk tujuan penghormatan kepada roh leluhur. Monumen batu tidak digunakan sebagai tempat penguburan mayat yang menjadi ciri umum tinggalan tradisi megalitikum muda. 

Keberadaan sungai-sungai besar yang ada, tidak hanya menyediakan lahan-lahan subur untuk bermukim dan bercocok tanam, namun berfungsi pula sebagai jalur migrasi penduduk kuno dalam membentuk dan mengembangkan kelompok sosialnya yang baru.

Paling tidak terdapat 4 (empat) zona tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat, yaitu:

(1) Zona danau Ranau

Sebaran situs megalitikum pada zona ini berada pada daerah tinggi sepanjang sempadan danau Ranau di Kecamatan Lumbok Seminung, mulai dari Tanjung Cumalagi pekon Lumbok hingga Tawan Sukamulya.  

Ragam tinggalan Megalitikum di zona ini antara lain: 

Situs punden berundak Batu Andak Way Kenihang (Tawan Sukamulya). Monolit dan batu datar Situs makam Sipahit Lidah dan si Mata Empat (Sukabanjar).  Situs Lumpang Batu (Sukabanjar). Batu datar dan parit Situs Johor (Lumbok). Punden berundak Situs Way Lumbok (Lumbok). Batu datar Situs Pesiwoan (Lumbok).  Punden berundak Situs Ujung Cumalagi (Lumbok). Batu bergambar (batu bertulis) dan Tumulus  situs Keramat Batin Katung (Sukamaju)

(2) Zona Dataran Tinggi Liwa (Liwa Plateau)

Sebaran situs megalitikum di zona ini, umumnya berada di wilayah sungai Way Warkuk dan Way Robok, hingga lembah Batu Brak. Meliputi Kecamatan Sukau, Balik Bukit dan Batu Brak.  

Situs megalitikum yang berada di Zona ini antara lain: 

Arca figurine Tanjung Raya (Sukau), figurine Buay Nyerupa (Sukau), Batu Monolit Tapak Siring (Sukau), Batu Bergores dan Dolmen Situs Cakar Macan Padang Cahya (Balik Bukit), Situs Batu Tumpat Padang Cahya (Balik Bukit), Umpak Batu dan Figurine situs Sukarami (Balik Bukit), Batu Bergores Canggu (Batu Brak), Batu Bergores Pekon Balak (Batu Brak), Menhir dan Dolmen situs Batu Kenyangan (Batu Brak).

Ragam batu umpak, kearifan lokal bangunan tahan gempa (Rusyanti, 2018)

(3) Zona Pesagi – Way Semaka  

Situs megalitikum pada zona ini tersebar dari hulu sungai Way Semaka (gunung Pesagi) hingga ke dataran rendah Suoh, meliputi Kecamatan Belalau, Batu Ketulis, Bandar Negeri Suoh (BNS) dan Suoh.  

Situs megalitikum yang terdata di wilayah ini antara lain: 

Batu bercabang situs batu Kepappang (Belalau), Tumulus Lamban Batin Hujung (Belalau), Umpak batu Kampung Tuha Hujung (Belalau), Batu tapak gajah Argomulyo (Batu Ketulis), Monolit batu Kebayan (Batu Ketulis), Relief (ukiran) batu Buaya Antatai (BNS), Menhir, batu datar, dolmen, figurine dan batu bergores di Situs Batu Sembilan Rowo Rejo (Suoh).

(4) Zona Dataran rendah Gedung Surian  

Situs megalitikum tersebar  di sekitar wilayah sungai Way Campang dan Way Besai, meliputi kecamatan Way Tenong, Air Hitam, Gedung Surian dan Kebun Tebu. 

Tinggalan megalitikum yang ditemukan di zona ini antara lain: 

Punden Berundak, Menhir dan Dolmen Situs Sukananti (Way Tenong). Batu bergores dan parit Mutar Alam (Way Tenong).   Situs Batu Berak Purawiwitan (Kebun Tebu), Batu Jagur Purajaya (Kebun Tebu), Batu Tameng (Kebun Tebu), Menhir dan dolmen Telaga Mukmin (Gedung Surian), Menhir dan Dolmen Situs Bungin (Gedung Surian), batu bergores Gentong ki Haji (Air Hitam).

Situs-situs tinggalan tradisi megalitikum di Lampung Barat begitu melimpahnya.  Apa yang disajikan di atas, terkadang hanya tersisa namanya saja.  Banyak monumen-monumen batu yang berubah fungsi menjadi material bangunan, gedung pemerintah, pemukiman, dan bahkan diratakan sehingga tak tampak lagi bahwa disitu pernah ada tinggalan prasejarah penting.  

Desakan ekonomi ditambah ketidaktahuan membuat tinggalan-tinggalan tradisi megalitikum semakin cepat hilang. Melenyapkan bukti-bukti historis bahwa di wilayah ini pernah dihuni oleh masyarakat masa lampau yang cerdas dan tangguh. 

“Begitu banyaknya sebaran tradisi megalitikum sebagai suatu ekosistem kebudayaan terpajang di depan mata, namun nampak seperti “barang usang” yang dipandang tak ada harganya sama sekali. Sayang rasanya informasi tentang rekaman kearifan masa lalu yang harusnya dapat diputar kembali untuk membuktikan nilai-nilai luhur budaya bagi generasi kini, terancam punah tanpa menyisakan satupun kebanggaan untuk  jati diri”.

Semoga Geopark Suoh yang tengah digadang-gadang oleh Pemerintah Daerah Lampung Barat, mampu menyelamatkan aset penting kekayaan Cultural Diversity bumi ini, agar identitas dan jati diri tetap berjunjung kokoh layaknya gunung Pesagi.  Tabik Pun.

Salam Literasi dan Lestari

Referensi:

  • Rusyanti, dkk. 2021. Stay or Leave ? Dinamika Landskap Arkeologi di Sesar Semangko Provinsi Lampung. Karya Terpilih Program Akuisisi Pengetahuan Lokal. LIPI Press.
  • Prasetyo, Bagyo. 2015. Megalitik, Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Galang Press. Yogyakarta
  • Laili, Nurul. 2012. Penghunian, Pemanfaatan, dan Interaksi Pendukung Situs-situs di Kawasan Danau Ranau Lampung Barat. Jurnal Purbawidya Vol.1\No.1\Tahun 2012. Halaman 21-40
  • Sukendar, Haris. 1998. Album Tradisi Megalitik  di Indonesia. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Silaban, M. 1997. Sejarah Daerah Lampung. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilal-Nilai Budaya Lampung. Departemen P & K, Kanwil Propinsi Lampung. 


Kamis, 02 Februari 2023

Menolak Lupa: Mengenal Arti dan Makna Tugu Ara Liwa Lampung Barat

Setiap daerah pasti memiliki tugu atau monumen sebagai penanda tentang identitas atau karakteristik dari kawasan dimana tugu atau monumen tersebut berada.  Sebagai penanda, tugu atau monumen  berfungsi sebagai media komunikasi visual suatu peristiwa sejarah, ketokohan atau kepahlawanan, keunikan atau “branding”, tradisi dan adat istiadat (culture).  Sebuah tugu atau monumen tidak hanya dituntut dengan bentuknya yang artistik dan estetik, tapi juga mampu mendeskripsikan nilai-nilai filosofi maupun makna secara jelas, dan tidak multitafsir, agar fungsi dan tujuan pembangunannya dapat diterima publik secara baik dan positip.  Tugu atau monumen dapat menjadi landmark sekaligus “orientasi” dari pertumbuhan suatu kawasan, bahkan bisa menjadi wisata kota yang dikenal dengan nama “city tour”.     

Tugu Ara Liwa
Tugu Ara Liwa,  2018

Begitu pula halnya dengan Tugu Ara Liwa yang terletak di Kelurahan Pasar Liwa, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Tugu setinggi  ± 10 m ini berada di simpang tiga ruas jalan yang  menghubungkan jalan propinsi Liwa – Ranau OKU Selatan, dan jalan nasional yang menghubungkan Liwa – Krui dan Liwa – Bukit Kemuning.  Tugu Liwa seolah-olah menjadi perekat ke-3 arah tujuan ini, bahkan dijadikan semacam kompas jika pengendara kebingungan mencari arah menuju Muara Dua atau ke arah Bengkulu.  

Sebelum bentuknya yang sekarang, Tugu Liwa dikenal dengan nama Tugu Merdeka. Tugu Merdeka ini berbentuk kerucut setinggi ± 4 m, dan bagian atasnya terdapat ornamen berbentuk “siger” dan dibawahnya bertuliskan nama tempat tujuan. Tugu Merdeka selain penanda pusat Kota Liwa merangkap pula fungsinya sebagai rambu penunjuk arah.  

Tugu Merdeka @liwakruiheritage
Tugu Merdeka Liwa 1995,  sumber:  @liwakruiheritage_

Mungkin karena alasan ini, Bupati Lampung Barat I Wayan Dirpha (Periode 1997-2002) menggagas untuk dilakukannya perubahan terhadap bentuk desain dan makna dari Tugu Merdeka, agar lebih mencerminkan karakteristik alam dan budaya Lampung Barat yang unik dan khas.  Hanya saja kapan dimulainya pembangunan fisik Tugu Liwa, masih belum Jejak Erwinanta peroleh secara pasti.  Ada yang menyampaikan bahwa perencanaan teknisnya disusun pada tahun 2000 dimasa Bupati I Wayan Dirpha dan pembangunan fisiknya dimulai pada masa Bupati Erwin Nizar (Periode 2002-2007).  Jika sobat ada yang mengetahui sejarah pembangunan tugu ini, bantu di share di kolom komentar ya.

Kini Tugu Ara Liwa tidak hanya menjadi simbol dari eksistensi  masyarakat Adat Lampung Barat, akan tetapi menjadi ikon dan landmark kota Liwa.  Tidak hanya itu, Tugu Ara Liwa juga digunakan sebagai logo dan merk dagang berbagai produk khas Lampung Barat.  Ibarat sebuah buku, Tugu Ara adalah Sampul dan Mukadimahnya.  

Seorang sahabat pernah bertanya, “Apa makna tugu ini? Bentuknya unik, ikonik, dan tak lazim sebagai tugu pada umumnya, seperti parabola beruas tiga”.  Waktu itu saya jawab sekenanya saja “Mungkin karena ada di simpang tiga”, dan sahabat itupun hanya tersenyum mesem, mungkin dibenaknya berkata “Syukur cuman tiga, jika macam simpang lima Semarang, banyak kali ruasnya ini tugu...”.

Selaku warga Liwa, kadang jadi malu sendiri, karena hampir tiap hari antar jemput anak sekolah dan antar istri ke pasar, selalu melewati tugu ini, tapi belum mengetahui arti dan maknanya.  Nah berikut informasi yang berhasil Jejak Erwinanta himpun dari berbagai sumber terpercaya tentang arti dan makna Tugu Ara Liwa, silahkan disimak ya.


Tugu Ara Liwa dilihat dari atas, 2018

Tugu Liwa yang sekarang, merupakan representatif dari bentuk pohon Ara, kayu Aro, atau pohon Hagha. Pohon Ara dalam ilmu taksonomi tumbuhan dikelompokan kedalam famili Moraceae (suku ara-araan), ada dua genus dari famili ini yang berhubungan erat dengan kebudayaan atau dikenal dengan istilah etnobotani, yaitu genus Ficus (beringin) dan Artocarpus (nangka-nangkaan). Dalam sistem kepercayaan kuno di Nusantara, “pohon ara” yang berasal dari genus Ficus dianggap sebagai “tanaman suci”, yang dimaknai sebagai “pohon kehidupan” atau dalam bahasa sanskerta dinamakan “kalpataru”. Beberapa jenis pohon Ficus spp. yang diabadikan sebagai simbol religi maupun bermakna filsafah antara lain: Beringin (Ficus benjamina), Bodhi atau kalpataru (Ficus religiosa) dan Tin (Ficus carica).  Mungkin karena alasan dan pertimbangan sebagai simbol “Kehidupan” yang juga mengandung makna kelestarian, pengayom, dan kebermanfaatan, maka Pohon Ara inilah yang kemudian dipilih sebagai desain utama bentuk tugu. 

Pada bagian atas tugu yang mirip parabola terbalik dianalogikan sebagai “Tajuk” yang tersusun melingkar berjumlah 12 dengan anak tajuk berjumlah 12 pula. Jika dijumlahkan menjadi 24 yang menandakan sebagai hari jadi Lampung Barat yaitu tanggal 24.  Dibawah tajuk ada “tangkai daun/cabang” sebanyak 9 buah menandakan bulan ke 9 (September) sebagai bulan lahirnya Lampung Barat.  Tinggi tugu ± 9 m dengan dudukan alas setinggi ± 1 m yang menandakan tahun berdirinya Lampung Barat yakni pada tahun 1991. Jika digabungkan tajuk, tangkai daun, dan tinggi tugu menandakan hari jadi diresmikannya Kabupaten Lampung Barat pada tanggal 24 September 1991


Tugu Ara Liwa
Tugu Ara Liwa, 2018

Tangkai daun/cabang sebanyak 9 buah menandakan pula kesepakatan Sembilan Marga Lampung yang memberikan Tanah Ulayatnya sebagai Cagar Alam yang saat ini dikenal sebagai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).  TNBBS ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2004 sebagai warisan dunia hutan hujan tropis Sumatera. 

Dibawah tangkai daun terdapat 4 buah bulatan yang merupakan ikon “buah kopi”. Kopi robusta melambangkan hasil bumi utama dan sokoguru perekonomian Lampung Barat.  Angka 4 juga menggambarkan ekoregion dan geostrategis Lampung Barat yang meliputi Daerah Pesisir (sekarang menjadi Kabupaten Pesisir Barat), Dataran Rendah, Dataran Menengah, dan Dataran Tinggi. 

Terdapat 4 buah Danau yaitu Danau Ranau, dan 3 Danau di Suoh (danau Lebar, danau Asam, dan danau Minyak), 4 buah gunung tertinggi yaitu Gunung Pesagi, Gunung Seminung, Gunung Sekincau, dan Bukit Subhanallah, serta 4 buah sungai besar yang menjadi hulu dari sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu Way Warkuk (DAS Musi), Way Semaka (DAS Semaka), Way Umpu (DAS Mesuji), dan Way Besai (DAS Tulang Bawang). Empat Geostrategis yaitu: konservasi, agriculture (kopi), pariwisata, dan energi baru terbarukan.

Tugu Ara
Tajuk, Cabang, Buah, Tunas, Akar - Tugu Ara Liwa, 2015

Di bagian bawah dari ikon buah kopi, terdapat bentuk yang menyerupai “tunas” yang mirip ornamen paku sura, dan diselingi dengan bentuk ornamen yang menyerupai “akar nafas” dibagian sisi bawahnya.  Baik tunas maupun “akar nafas” masing-masing berjumlah 4 buah.  Tunas melambangkan Kebuwayan, sedangkan “akar nafas” melambangkan Kepaksian.  Empat Kebuwayan dan Kepaksian tersebut yaitu: Umpu Bejalan Di Way (Paksi Buay Bejalan Di Way),  Umpu Belunguh (Paksi Buay Belunguh), Buay Nyerupa (Paksi Buay Nyerupa), dan Umpu Pernong (Paksi Buay Pernong).  

Apa perbedaan Kebuwayan dengan Kepaksian ? Sejujurnya Jejak Erwinanta sendiri belum banyak mengetahuinya.  Adapun yang Jejak Erwinanta ketahui bahwa persekutuan Kepaksian ini membentuk Kerajaan Sekala Brak, yang menjadi cikal bakal suku bangsa Lampung.  Kerajaan Sekala Brak diperkirakan sudah ada sejak abad ke-3 masehi. 

Tugu Ara Liwa, memang bukan peninggalan arkeologis, tapi suatu karya seni modern yang berhasil memadukan sejarah, karakteristik alam, eksistensi dan nilai-nilai luhur budaya kedalam bentuk seni rupa 3 dimensi.  Tugu Ara Liwa mungkin akan mengalami perubahan, tereduksi atau tereliminasi oleh berbagai alasan kepentingan, namun makna dan falsafah yang ditampilkannya saat ini, penting untuk dipertahankan dan terus dikomunikasikan sebagai literasi khususnya kepada generasi muda Lampung Barat. 

Kesan dari Tugu Ara Liwa bagi Jejak Erwinanta bahwa “Lampung Barat eksis, karena keluhuran nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya”, dan “Lampung Barat maju, karena keberagaman dalam persatuan yang menjadi kekuatannya”.  Semoga Tuhan Yang Maha Esa menjaga Kabupaten Lampung Barat tetap lestari, kondusif, makmur dan sejahtera ... aamiin.

Dan semoga apa yang disajikan ini semakin menambah kecintaan dan kebanggan untuk bumi Lampung Barat yang semakin baik.  jika ada beberapa informasi yang kurang pas dan kurang lengkap, bisa Sobat tambahkan dan sempurnakan di kolom komentar ya.

Salam Sehat ... Salam Lestari. 


Terimakasih untuk:

Rekan-rekan di WAG Silaturahmi Bidang Fisik Bappeda Lampung Barat, dan senior-senior di PKBI Lampung Barat, sukses dan sehat selalu untuk kalian.  

Referensi:

Kepaksian Sekala Brak (sumber: http://p2k.unimus.ac.id/id1/3058-2937/Kepaksian-Sekala-Brak_41700_kepaksian-sekala-brak-unimus.html)





Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer