Rabu, 06 Desember 2023

Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian III)

Tidak banyak postingan saya sebulan terakhir ini, hanya ada satu postingan, itupun bahan yang memang sudah lama saya siapkan sebelumnya.

Akhir-akhir ini, saya malas sekali untuk memulai berbagi informasi melalui tulisan. Padahal banyak sekali informasi yang bisa dipublikasikan, namun entah kenapa berat sekali untuk memulainya. 

Di November ini saja, seharusnya banyak yang bisa diceritakan, mulai dari hari pahlawan, hari guru, hari cinta puspa, hari gemar makan ikan, hari tataruang, hingga terakhir adalah hari Korpri. Namun semua berlalu tanpa ada satupun konten yang sukses mengulasnya.

“Apakah saya terkena yang namanya Writer’s Block ya?” 

Kini kita sudah memasuki bulan Desember, akhir tahun 2023 tak terasa akan pula berlalu. Jadi teringat ungkapan seorang sahabat, “hari kemarin berlalu tinggal kenangan, hari esok belum tentu kita menjumpainya, akankah hari ini akan berlalu pula dengan sia-sia?” 

Menatap pemandangan dibalik jendela kamar, nampak mendung masih berat menggantung di ufuk timur, menutup cahaya mentari pagi dengan angkuhnya. Suhu udara pagi ini begitu dingin. Kabut tipis yang menyelimuti atap-atap rumah dan tajuk-tajuk pohon seperti tabir putih, menyajikan bentuk-bentuk siluet dengan struktur yang kaku di kedua sisi jalan rabat yang membelahnya. Gerimis pelan-pelan mulai turun, membasahi segalanya dengan kelembutan.

Sudah pukul 08.23 WIB, namun suasana di lingkungan Sukamenanti Liwa layaknya seperti waktu suruk. Alam nampak redup, dan hujanpun sudah mulai mempersiapkan aksinya. Sejak kemarin sore, hujan seolah betah turun di lingkungan kami. Iramanya kadang begitu gaduhnya, manakala butirnya menerpa atap-atap rumah yang sebagian besar berbahan seng.  Suasananya membuat diri ingin selalu berbaring dibungkus selimut yang hangat.

Klon Lokal Robusta Tugu Kuning (Trubus, 2022)

Secangkir panas kopi robusta, menjadi teman saya di pagi ini. Aroma robusta memang begitu menggoda, rasa pahitnya pun begitu kuat terasa di lidah. Uniknya dibalik sirnanya rasa pahit, akan tersembul rasa lain, yang mengusik indera perasa untuk lebih tajam menerkanya.

Seruput robusta sudah cukup ampuh mengusir kantuk yang tersisa semalam dan memulihkan kesadaraan yang masih berselimut khayalan. Robusta artinya “kuat”, nampaknya istilah ini memang cocok disematkan untuk minuman berwarna hitam dari benua Afrika ini.  

Terasa hangatnya kopi merembes mengalir dari sisi-sisi cangkir ke kedua telapak tangan yang menggenggamnya, menghangatkan hingga ke lubuk hati.  Uapnya yang membawa aroma kopi yang harum semerbak, seolah menarik-narik sukma agar segera bangkit tinggalkan sejenak kemalasannya.  

Sensasi robusta, seolah mengajak pikiran saya menerawang menikmati indahnya landskap Lampung Barat, layaknya seperti pesawat drone yang terbang memantau dari ketinggian. 

Robusta dianggap sebagai kopi kelas dua dunia, setelah arabika, namun bagi Lampung Barat, robusta merupakan kopi kelas satu. Lebih dari 59,5% dari luas wilayah kabupaten, merupakan perkebunan rakyat yang didominasi oleh tanaman kopi robusta yang menutupi lahannya. 

Hamparan hijau tanaman kopi robusta membentang dari Kecamatan Sumber Jaya di bagian Timur, hingga ke bagian Barat laut di sempadan danau Ranau Kecamatan Lumbok Seminung. 

Dalam ilmu ekologi, kopi robusta termasuk kelompok vegetasi oportunis, yang muncul pada  fase pioneer dari tiga fase dalam proses suksesi suatu ekosistem hutan. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada kondisi tanah dengan pH rendah, dan tahan terhadap paparan penuh cahaya matahari, serta mampu beradaptasi terhadap kondisi tanah yang marginal. Kondisi seperti ini tersedia luas di Lampung Barat yang didominasi oleh lapukan dari formasi batuan vulkanik sekincau, yang masam, dan kurang subur.   

Bunganya yang harum semerbak bak bunga sedap malam, bercampur dengan udara pegunungan yang sejuk, menyuguhkan aroma therapi yang begitu menyegarkan dan juga mistis. Bunga robusta berwarna putih, biasanya mekar di awal musim penghujan di bulan Oktober dan mulai membentuk buah di saat memasuki musim kemarau.

Bunga robusta berbeda dengan arabika. Bunga kopi arabika memiliki benang sari  dan putik berada dalam satu bunga, sedangkan robusta terpisah.  Hilangnya serangga penyerbuk, dan intensitas hujan diatas normal pada fase pembungaan, beresiko akan gagalnya proses penyerbukan bunga robusta menjadi bakal biji.

Fase bunga dan fase buah yang selalu berada pada siklus iklim, membuat tanaman ini, begitu rentannya terhadap perubahan iklim. Dampak El Nino, kekeringan, dan kenaikan suhu yang terjadi dipertengahan tahun silam, seolah mempertegas rapuhnya kopi terhadap iklim.  

Harga tinggi namun nyaris kopi tak berproduksi, tetap saja berkesan pemberi “harapan palsu” bagi sekitar 35.737 rumah tangga yang hidupnya bergantung dengan tanaman ini. Padahal kopi robusta dari Lampung Barat menyumbang sekitar 43,7% produksi “Kopi Lampung”, yang banyak diminati oleh warga Amerika, Jepang dan Mesir. 

Ada 4 (empat) etnis pembudidaya kopi robusta yang handal di Lampung Barat, yaitu suku Lampung, Semendo, Sunda, dan Jawa.  Keempatnya selalu bersaing untuk menghasilkan buah kopi petik merah kualitas terbaik dengan cita rasa yang spesial. 

Kopi memang sudah sejak lama dibudidayakan di daerah yang dahulunya bernama afdeeling Krui ini, bahkan sejak masa pemerintahan kolonial Inggris menguasai Bengkulu hingga tahun 1824.

Pada tahun 1922, luas ladang kopi mencapai  ± 6.382 Ha, dengan produktivitas  berkisar antara 100 kg – 200 kg per Ha, satu abad kemudian, luasnya bertambah menjadi ± 54.674 Ha dengan produktivitas berkisar 900 kg – 1.100 kg per Ha (2022). Tak heran, kopi robusta menjadi pengungkit perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta daya tarik bagi Kabupaten yang terbentuk sejak tanggal 24 September 1991 ini. 

Baca Juga: Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian II) 

Memang masyarakat disini sudah cukup akrab dengan tanaman kopi. Turun temurun “budaya kopi” diwariskan, hingga ke generasi sekarang. Kopi arabika, dan liberika, merupakan jenis kopi yang awal-awal dikenal dan diusahakan di negeri ini. 

“Namun mengapa robusta lebih mendominasi?  dan apakah riwayat Robusta juga sama dengan saudaranya si Arabika, yang dilakukan dengan mengintimidasi rakyat?”

Setengah cangkir larutan kopi robusta sudah pindah ke lambung saya, dan reaksinya mulai terasa naik hingga ke cerebrum yang tersimpan rapih dalam tempurung kepala. Membuka kembali manuskrip-manuskrip lama yang mengendap di laptop, untuk kembali naik ke layar monitor, agar gampang dipelajari oleh si cerebrum yang hanya bernilai 78 ini. 

Popularitas robusta mulai bangkit setelah separuh produksi arabika dunia yang berasal  dari daratan Asia Barat Daya hingga Asia Tenggara, menurun akibat terserang penyakit karat daun. Penyakit karat daun pertama kali ditemukan di pulau Ceylon (Sri Lanka) pada tahun 1869, dan dengan cepat menyerang kopi arabika yang ditanam dibawah ketinggian 1000 mdpl. Penyakit ini mulai masuk dan menyerang tanaman kopi arabika dan liberika di Indonesia pada tahun 1878.

Kopi robusta merupakan tumbuhan endemik ekosistem hutan tropis dataran rendah Kongo. Tumbuhan ini dijumpai dan menyebar di  daerah aliran sungai Zaire yang membentuk dataran rendah Kongo yang subur dan tinggi keanekaragaman hayatinya. 

Sungai Zaire dikenal juga sebagai sungai Kongo merupakan sungai terpanjang ke dua di Afrika setelah sungai Nil. Panjang sungai ini mencapai ± 4.700 km dengan kedalaman mencapai ± 220 m.  Ada sembilan negara di Afrika yang dilalui sungai ini, yakni Angola, Burundi, Kamerun, Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Rwanda, Tanzania, dan Zambia.

Sebelum menjadi Republik Demokratik Kongo, dataran rendah Kongo merupakan wilayah kolonisasi Kerajaan Belgia. Pada tahun 1885-1908, dataran rendah Kongo menjadi “Negara Bebas Kongo”, yaitu wilayah otorita monarkhi obsolut yang secara pribadi dimiliki oleh Raja Leopold II dari Kerajaan Belgia. Tahun 1908 – 1965, kemudian diambil alih oleh Pemerintah Belgia menjadi Belgian Congo. 

Di dataran rendah inilah, kopi robusta dibudidayakan pertama kalinya oleh masyarakat yang mendiami sungai Lomami, yaitu salah satu dari anak sungai Kongo.  Budidaya kopi robusta oleh masyarakat sungai Lomami dilakukan sejak tahun 1870, mereka menyebut kopi robusta dengan nama “kouillou”, yang lama kelamaan berubah menjadi “conilon”.   

Spesimen kopi robusta pertama kalinya diperkenalkan di Eropa oleh seorang ahli botani Belgia yang bernama Louis Pierre pada tahun 1895. Kemudian diberi nama botani sebagai spesies baru  “Coffea canephora Pierre ex A. Froehner” pada tahun 1897.  Di tahun 1898, pakar botani Belgia bernama Edouard Luja mulai melakukan penelitian lebih lanjut terhadap spesies baru kopi ini.  Sejak saat itu Kongo dan Belgia menjadi Pusat Penangkaran spesies kopi robusta di dunia. 

Kopi robusta masuk ke Indonesia sekitar tahun 1901. Didatangkan oleh Perusahaan Kolonial Belanda bernama Sumber Agung (Jawa Timur). Sebanyak 150 bibit kopi robusta didatangkan langsung dari kebun penelitian hortikultura yang berada di Kebun Raya Brussel (Belgia) yang bernama “Jardin botanique national de Belgique”.  Kopi ini diyakini tahan terhadap serangan penyakit karat daun.

Hingga tahun 1907, seluruh tanaman kopi di pulau Jawa yang rusak akibat karat daun mulai tergantikan oleh kopi robusta. Sekitar tahun 1910, kopi robusta mulai diperkenalkan oleh perusahaan perkebunan Belanda hingga ke pulau Sumatera, khususnya di wilayah sumatera bagian selatan.

Baca Juga: Secangkir Robusta dari Lampung Barat (Bagian I)

Untuk wilayah Lampung Barat sendiri, kemungkinan kopi robusta pertama kalinya diperkenalkan kepada masyarakat oleh perusahaan perkebunan Belanda bernama “Sapatuhu” yang berada di Banding Agung (Kabupaten OKU Selatan), yang diperkirakan antara tahun 1911-1912. 

Sulit sekali mencari literatur tentang perusahaan Belanda “Sapatuhu” ini. Satu-satunya tulisan tentang perusahaan ini, berada dalam laporan Barlage tahun 1934, itupun tentang peranan perusahaan ini dalam menyelamatkan korban gempa bumi di distrik Ranau pada tanggal 25 Juni 1933. 

Tahun 1915, di afdeeling Krui pernah diberitakan tentang kopi yang oleh masyarakat Krui waktu itu dijuluki dengan nama “kopi enak Krui”. Bahkan “kopi enak” ini sampai di ekspor ke Amerika Serikat dengan kapal uap dan dikemas secara khusus, agar cita rasanya tidak rusak selama diperjalanan. 

Cara kemasan khusus ini kemudian menjadi standard baku pengiriman biji kopi yang dikenal pada saat itu dengan nama “Standard Kopi Bengkulu”.  

"Apakah “kopi enak” ini adalah penjelmaan dari  kopi robusta?"

Sayang, literatur yang saya peroleh masih sangatlah minim, pada akhirnya selalu saja menempatkan pada rasa penasaran yang tinggi. Ternyata kisah tentang kopi Lampung Barat  masihlah panjang untuk dituturkan.

Satu abad sudah kopi robusta bersemi di bumi Lampung Barat, hikmahnya adalah bahwa dari bumi Skala Brak ini melahirkan klon unggul lokal atau varietas lokal kopi robusta yang terkenal hingga penjuru nusantara. 

Ada 4 (empat) jenis varietas atau klon robusta asal Lampung Barat yang terkenal hingga daerah Pagar Alam (Sumatera Selatan) dan Temanggung (Jawa Tengah), yaitu klon kopi robusta Tugu Kuning (KOROLLA 1), Tugu Hijau (KOROLLA 2), Lengkong (KOROLLA 3) dan Bodong Jaya (KOROLLA 4).  Kata “KOROLLA” sendiri  merupakan kepanjangan dari KOpi RObusta Liwa Lampung BArat.

Adalah pak Wiyadi, seorang petani kopi asal dusun Bodong Jaya (kecamatan Sumber Jaya) yang memperkenalkan dan mempraktekan pertama kalinya stek “entres” kopi lokal asalan dengan klon kopi robusta unggulan, di tahun 1978. Dari upayanya inilah kemudian melahirkan berbagai varietas unggulan lokal kopi robusta yang kini dikenal dengan nama KOROLLA.   

Walaupun penikmat kopi terus berganti disetiap generasi, namun selalu saja berakhir pada kesimpulan yang tetap sama. 

“Nikmatnya kopi robusta karena sensasi dibalik rasa pahitnya, dan rasa ini selalu ada, karena loyalitas ampas kopi yang mendampinginya”.  

Seruput kopi robusta, harusnya semakin menyadarkan kita, bahwa dibalik kesuksesan seorang pemimpin adalah karena adanya dukungan staff yang handal. 

Hujan desember pun mulai turun dengan lebatnya, mengikis dan menyapu bersih kotoran yang ada, tak terkecuali ampas kopi yang saya buang disela-sela tanaman begonia.  

Semoga diakhir derasnya hujan desember, akan terbentuk ruang baru bagi tunas-tunas muda untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang  lebih baik dari sebelumnya ....   

Salam Lestari


Referensi:

  • Randriani, Enny, dan Dani. 2018. Pengenalan Varietas Unggul Kopi. IAARD PRESS. Jakarta. 
  • Sejarah Kopi Hingga Menjadi Minuman Terpopuler (Link:  https://whitecoathunter.com/sejarah-kopi-hingga-menjadi-minuman-terpopuler/)
  • "Sejarah Penemuan Kopi Robusta", (Link: https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/28/060000579/sejarah-penemuan-kopi-robusta?page=all)
  • Dua Varietas Kopi Baru dengan Produktivitas Tinggi (Link: https://trubus.id/dua-varietas-kopi-baru-dengan-produktivitas-tinggi/)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer