Kamis, 08 Desember 2022

Konflik Gajah antara Solusi dan Resolusi ?

Gajah Sumatera, foto: WCS, 2022

Assalamu'alaikum ... 

Salam Rimba Lestari ...

Sobat Jejak Erwinanta dimanapun berada dan apapun keadaannya tetaplah tersenyum, karena senyum itu adalah ibadah..

Bicara konflik memang tidak melulu manusia versus manusia saja, ternyata manusia dengan satwa pun bisa berkonflik.  Seperti halnya di daerah kami di Lampung Barat, peristiwa gajah masuk kampung bukanlah berita hoax, tapi memang benar-benar terjadi.  

Setidaknya sejak tahun 2018 hingga kini, masyarakat di Kecamatan Suoh dan Bandar Negeri Suoh, kerap menjadi langganan kunjungan mamalia bertubuh besar dan berbelalai ini, walau tidak sampai menimbulkan korban dikedua belah pihak, tapi menyisakan traumatik bagi keduanya.  

Gajah tidak lagi seperti "Bona - Gajah Kecil Berbelalai Panjang..." tapi dianggap mahluk menakutkan yang tidak layak untuk hidup berdampingan, mungkin begitu pula pikiran gajah  kepada manusia...  Semoga tidak begitu ya, karena sesama mahluk Allah, dilarang saling menzholimi... hi hi hi.

Berbagai upaya mitigasi sudah dilakukan mulai dari pembentukan satgas, pengusiran, pemasangan GPS, hingga penyiapan pakan gajah, bahkan wacana untuk relokasi gajah pernah dicetuskan.   Namun  semua upaya tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan, dan bahkan pemerintah daerah dianggap kurang responsif dan lambat dalam penangannya.    

Menurut Jejak Erwinanta - wajar jika penanganan konflik satwa memerlukan suatu proses yang panjang, mahal dan rumit - ini adalah buah dari suatu konsekuensi dan resiko, manakala pemanfaatan habitat satwa dilakukan secara tidak bijaksana, seperti itulah fakta yang kemudian akan terjadi.  

Daripada energi habis hanya untuk saling menyalahkan, baiknya semua elemen kembali melakukan islah, duduk dalam satu meja untuk merumuskan "Roadmap" penanganan konflik gajah secara komprehensif, dilandasi dengan kesadaran yang tinggi, komitmen dan rasa tanggung jawab yang kuat untuk berkontribusi secara nyata sesuai kemampuannya masing-masing, dimulai dari tahap penyusunan, perumusan kesepakatan, dan pelaksanaannya. 

Jejak Erwinanta mencoba memberikan sumbangan pemikiran, terkait penanganan konflik gajah dan manusia, - semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat yang besar - dalam rangka melindungi keberlangsungan kehidupan gajah dan manusia.  

"Bayangkan jika gajah di Lampung punah, lantas mau diganti apa maskot Lampung kedepannya ?"  

Ada 5 (lima) tawaran resolusi yang dapat dijabarkan kedalam langkah-langkah solusi penanganan konflik gajah sumatera dengan manusia, melalui "Roadmap" yaitu: 

1. Samakan Visi

Yakinkan bahwa  Allah menciptakan segala sesuatu tidaklah sia-sia

Begitulah kenapa gajah itu ada, artinya keberadaannya pastilah punya peranan penting di dalam sistem biosfer.  Erwinanta tidak mengatakan menyamakan persepsi tapi lebih pada menyamakan visi.  Dengan Visi, penanganan konflik satwa dan manusia tidaklah hanya bersifat kedaruratan, dan antisipatif, tapi berdimensi jangka panjang, simultan dan sistematis serta bertujuan untuk merubah mindset misalnya "dari konflik menjadi berkah".  

Hasil analisa fishbone yang Jejak Erwinanta lakukan, teridentifikasi 5 (lima) tema kerentanan yang dapat diturunkan dan dijabarkan ke dalam misi dan strategi penanganan konflik satwa dan manusia, yaitu:  Kapasitas Ekosistem, Kapasitas Sumber Daya Manusia,  Program dan Inovasi, Political Will, dan Market Share. 

2. Rekayasa Ruang Konflik

Ibarat mengatasi kemacetan lalu lintas, selalu ada upaya yang namanya rekayasa lalu lintas.  Mungkin pendekatan ini dapat dilakukan guna mengurai dan menemukenali pemicu terjadinya gajah keluar dari jalur yang seharusnya. Gajah memerlukan ruang gerak, begitu juga manusia memerlukan ruang untuk hidup, karenanya perlu dirumuskan seperti apa merekayasa ruang gerak dan hidup yang berkeadilan itu, karena bukan berarti  keduanya bisa berjalan dalam garis marka yang sama (Baca: dalam hutan konservasi TNBBS). 

Titik tekan disini adalah bagaimana merevitalisasi koridor satwa, yang merupakan filter terakhir antara habitat manusia dan habitat satwa.  Rencana Pemulihan Ekosistem (RPE) menjadi penting untuk disusun dan dievaluasi.  RPE merupakan salah satu rencana teknis yang dapat dijadikan "guideline" dalam "merekayasa ruang konflik", karenanya pendekatan teknokratik menjadi penting dalam penyusunan dokumen RPE. Baiknya RPE juga dapat disosialisasikan kepada para pemangku kepentingan yang wilayahnya beririsan dengan Taman Nasional.     


Ilustrasi Rekayasa Ruang Konflik Gajah & Manusia, analisa pribadi, 2022 


3. Pengakuan atas Hak Gajah

Gajah memiliki kehidupan yang bersahaja, baginya yang penting cukup makan, cukup minum, dan aman dari ancaman, tidak butuh aktualisasi diri apalagi berebut status dan jabatan.  Status Konservasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) saat ini masuk katagori terancam dengan status IUCN adalah kritis, diperkirakan jumlah gajah sumatera yang ada di TNBBS tahun 2017 sebanyak 122 ekor (Kepadatan: 9 ekor/100 km2) dan mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2002 (kepadatan 18 ekor/100 km2) (Laporan WCS, 2019). 

Gajah merupakan komponen penting dalam piramida ekologi khususnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.  Seandainya gajah sumatera punah, Kita akan kehilangan warisan plasmanutfah paling berharga sedunia, dan ancaman bencana ekologi yang lebih luas, sebagai akibat terputusnya salah satu mata rantai makanan dalam ekosistem. 

4. Pemberdayaan Masyarakat

Idealnya kehidupan masyarakat bukanlah di dalam hutan,  (catatan: bukan dimaksudkan sebagai suku tradisional yang secara norma sosial menempatkan hutan sebagai bagian dari penghidupannya yang tidak dapat dipisahkan). Jika faktanya masih ada dijumpai masyarakat berdomisili di dalam kawasan hutan artinya ada "sesuatu" yang menjadi kekeliruan dan harus diperbaiki. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan, secara kultur adalah masyarakat agraris, dimana lahan dengan budidaya pertanian menjadi properti penting penghidupannya.   Kekeliruan yang perlu diperbaiki adalah menyangkut posisi, luas penguasaan, teknik pengolahan lahan, dan jenis tanaman yang dibudidayakan.  Kopi merupakan salah satu tanaman budidaya yang tidak disukai oleh gajah sumatera.    

Sebagai konsep solusi dari resolusi pemberdayaan masyarakat ini adalah pada penekanan terhadap "Kepedulian" bukan hanya semata penegakan atas "hak azazi manusia"

5. Hubungan Kemitraan yang Harmonis

Keterlibatan banyak pihak diperlukan guna mengatasi ketimpangan pendanaan, inovasi & program, dan personil. Resolusi konflik gajah, dan penyalamatan kehidupan satwa kunci lainnya, sangat tergantung dengan seberapa berperannya lembaga-lembaga terkait dalam memberikan kontribusinya, baik diukur dari waktu, dana, maupun program dan seberapa kuat hubungan kemitraan yang terjalin.  Telah dibentuknya Tim Koordinasi maupun Tim Satgas dari tingkat Propinsi hingga Desa, merupakan peluang strategis sebagai stimulan membangun hubungan kemitraan yang kuat.  

Hubungan kemitraan yang harmonis tidaklah segampang penyebutannya, ada 3 (tiga) prinsip kemitraan, yaitu kesetaraan (equity), transparansi (transparancy), dan saling menguntungkan (mutual benefit), yang kadang justru menjadi celah meruntuhkan bangunan kemitraan yang sudah terbangun.  


Inilah 5 (lima) hal yang coba Jejak Erwinanta tawarkan untuk dapat digodok menjadi peta jalan (Roadmap) tentang resolusi dan solusi penanganan konflik satwa dan manusia, khususnya di Lampung Barat dan Propinsi Lampung pada umumnya  .... Tiada gading yang tak retak ...  Semoga konflik cepat teratasi, dan masyarakat dapat tersenyum kembali ...   Wassalam.


Baca juga: | Wana Wisata dan Kebangkitan Ekonomi Hijau |     

   


2 komentar:

  1. Terimakasih masukannya, semoga konflik gajah di suoh segera teratasi

    BalasHapus
  2. Lambar kan kab konservasi, kok masih berkonflik?

    BalasHapus

Terbaru

Selamat Datang 2024

"Hari ini tanggal 2 Januari 2024, pukul 07.32 WIB, hari pertama masuk kerja! Berdiri di barisan paling depan, acara apel pagi, di lapan...

Populer